PSIKOLOGI DALAM LINTAS SEJARAH

A. Sejarah Perkembangan Psikologi
“Psikologi” berasal dari Yunani “Psyche” artinya jiwa dan “Logos” artinya ilmu pengetahuan. Secara etimologi, psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa serta macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Sebelum berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang definisi dari nyawa maupun jiwa. Nyawa adalah hidup jasmani yang berupa perbuatan dalam proses belajar, sedangkan jiwa adalah daya hidup rohani yang berisifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur perbuatan pribadi.
Jiwa mengalami perubahan disebabkan oleh faktor individual maupun sosial kultural yang melingkupinya. Pada abad sebelum masehi, para ahli fikir Yunani dan Romawi seperti Socrates, Aristoteles, Plato dan Galenus, dan lain-lain, telah berusaha mengetahui kejiwaan manusia dengan cara spekulatif (dugaan saja) dan merupakan berpikir filosof kuno. Pada ke-17 sampai 19, psikologi dipengaruhi oleh ilmu alam. Mereka beranggapan, jiwa tunduk pada hukum-hukum alam biasa, menyelidiki dan menguraikan proses dan penyataan psikis menurut hukum alam, yaitu hukum sebab-akibat (kausal). Psikologi yang terpengaruh perkembangan ilmu kimia menyatakan, sesuatu terjadi dari zat terkecil dari unsur pokok. Ahli-ahli berpendapat, jumlah atau kumpulan unsur-unsur mewujudkan atau kebulatan yang berarti. Dengan demikian jiwa dianggap sebagai benda mati, yang proses berlangsungnya mekanis dan tunduk pada hukum. Manusia hanya djadikan objek, pribadinya tidak dapat mempengaruhi atau mengatur proses dan pernyataan psikisnya sendiri. Perpaduan ini disebut asosiasi, dan unsur-unsur yang terpadu menjadi kebulatan (totalitas) menurut hukum disebut psikologi.

B. Pendapat-Pendapat Para Ahli Psikologi
1. Socrates (469-399 SM)
Karena terpengaruh para Sophis Socrates mengajarkan logika sebagai alat yang terpusat pada diri, bahkan lebih sekedar promosi terhadap gagasan yang relaif, dan itu merupakan kebenaran yang dicintai, diharapkan dan diyakini. Socrates juga berpandangan bahwa setiap manusia memendam jawaban dalam berbagai persoalan yang nyata. Masalahnya mereka tidak menyadarinya, sehingga diperlukan orang lain, misalnya bidan untuk membantu manusia untuk membentuk sebuah ide. Socrates mengembangkan idenya menggunakan metode tanya jawab atau disebut juga “socratic method” atau “maieutics”. Maieutics dihapus oleh R. Rogers (1943) menjadi teknik dalam psikoterapis atau “non direcitive techniques”, yaitu teknik psikologi untuk menggali persoalan-persoalan dalam diri pasien sehingga ia menyadarinya tanpa diarahkan oleh psikolog atau psikoterapinya. Socrates menekankan pengertian “diri sendiri” bagi manusia. Semboyannya adalah “Belajar yang sesungguhnya pada manusia adalah belajar tentang manusia.”

2. Plato (427-347 SM)
Indra manusia tidak dapat dipercaya atau diyakini, karena banyak yang menyesatkan. Kebenaran yang hakiki tidak dapat dicapai indera karena semua yang nampak palsu. Sesuatu yang hakiki dapat berupa ide.
Mengenai jwa, Plato menyebutnya sebagai sifat immaterial yang desebabkan, jiwa sejak dulu sudah ada pada alam sensurik atau dikenal “Pre Eksistensi Jiwa”. Menurutnya jiwa menempati dunia sensoris (penginderaan) dan dunia idea (berfikir). Berbicara tentang jiwa sensoris, Plato membedakan antara kehendak dengan keinginan. Kehendak dikuasai akal sedangkan keinginan bersifat menentang akal. Selain itu Plato menyebutkan tiga aspek pada manusia, yaitu: berfikir, kehendak dan keinginan. Ketiga aspek ini mempunyai lokalisasi sendiri-sendiri berfikir (Logisticon) mempunyai lokalisasi di otak, kehendak (Thumeticon) mempunyai lokalisasi di dada dan keinginan (Abdomen) mempunyai lokalisai di perut. Ketiga istilah tersebut disebut “TRICHUTOMI” yaitu yang mendasari aktivitas-aktivitas kejiwaan manusia. Menurut Plato dunia memilki kebajikan: kebijaksanaan akal, keberanian berkehendak dan penguasaan diri patuh pada akal.

3. Aristoteles (384-322 SM)
Hakikat segala yang berwujud adalah nampak oleh indra. Setiap yang nampak memilki dua pengertian, yaitu “HULE” artinya materi atau bahan yang terbentuk, dan “MORPHE” artinya bentuk benda, kemudian istilah tersebut dengan “HOLE-MORPHEISME”. Dalam teorinya Aristoteles mengklasifikasikan:
a ANIMA VEGETATIVA, jiwa tumbuh-tumbuhan yang terbatas makan dan berkembangbiak saja.
b ANIMA SENSITIVA, jiwa yang fungsinya mengindera dan menggunakan nafsunya untuk bergerak dan bergerak.
c ANIMA INTELEKTIVA, jiwa manusia yang berfungsi untuk berfikir dan berkehendak.
Aristoteles mengindentifikasikan berfikir dan berkehendak dengan istilah “DICHOTOMI”.

4. John Locke (1632-1704 M)
John Locke adalah peletak dasar-dasar aliran environmentalism (empirism). Di kemukakan bahwa pengalaman merupakan faktor utama dalam perkembangan individu. Pengalaman ini dapat diperoleh dari faktor lingkungan. Dua aspek hubungan dengan lingkungan, John Locke membaginya dalam: sensation (pengideraan) dan reflection (refleks). Satu prinsip lagi yang dikemukakan John Locke adalah behaviour modification (modifikasi tingkah laku), yaitu “all behaviour is originally learned” (tingkah laku pada dasarnya dipelajari). Dalam pendidikan, aliran ini dinyatakan suatu faham yang faktor dan keturunan tidak diakui adanya.

C. OBYEK PEMBAHASAN PSIKOLOGI
Psikologi mempunyai obyek, yaitu jiwa. Sekarang ini belum ada seorangpun yang dapat mengetahuinya, karena bersifat abstrak. Menurut Nigel C. Benson dan Simon Grove, bagian-bagian yang dikaji oleh psikologi terdiri atas:
1. Psikologi Perkembangan.
2. Psikologi Sosial.
3. Psikologi Perbandingan.
4. Psikologi Individual.
5. Psikologi Kesehatan, dan lain-lain.
Ditinjau dari obyeknya, psikologi dibagi:
1. Psikologi Metafisika (meta= di balik, di luar; fisika= alam nyata)
Yang menjadi obyeknya adalah hal-hal yang mengenai asal usul jiwa, wujud jiwa, akhir jadinya dan sesuatu yang tidak terwujud yang tidak diselidiki dengan ilmu alam atau fisika.
2. Psikologi Empiris (empiris = pengalaman)
Dipelopori oleh Bacon dan John Locke. Menurut ahli-ahli empiris psikologi, tidak didasarkan dan diuraikan dengan falsafah atau teologi, melainkan pengalaman. Untuk memperoleh bahan, psikologi empiris menggunakan percobaan (eksperimen).

3. Psikologi Behavioursme (behaviour= tingkah laku)
Pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, lahir pada abad 20, dan dipelopori oleh Mac Dougall. Para ahli paham ini mempunyai prinsip-prinsip:
a. Obyek psikologi adalah behaviour yaitu gerak lahir yang nyata, reaksi-reaksi manusia terhadap rangsangan tertentu.
b. Unsur behaviour ialah refleksi, yaitu reaksi tak sadar atas perangsang dari luar tubuh.

0 comments:

Post a Comment