TINJAUAN MEDIS MENGENAI MASTURBASI/ONANI

A. Pengertian Masturbasi/ Onani dan Fenomenanya dalam Masyarakat
Masturbasi (Ar.: Istimna' = usaha untuk mengeluarkan mani). Pemenuhan dan pemuasan kebutuhan seksual dengan merangsang alat-alat kelamin sendiri dengan tangan atau alat lain. Istilah lain untuk masturbasi adalah onani. Masturbasi atau onani sering di sebut rancap. Pengertian onani secara istilah, adalah "kebiasaan membangkitkan nafsu seks dan memuaskannya dengan di lakukan sendiri [dengan bantuan tangannya sendiri atau dengan bantuan busa sabun] tanpa jenis kelamin yang lain." Islam memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Sebagai kejelasan pembatasan masalah dalam pembahasan ini, maka masturbasi disini sama juga artinya dengan onani ataupun istimna’ sebagai istilah lainnya.
Mengenai pengertian masturbasi ini, dalam pandangan masyarakat awam atau kalangan umum merupakan suatu perbuatan untuk menimbulkan rangsangan terhadap alat kelamin seseorang oleh dirinya sendiri, baik dengan tangan ataupun alat lain, kemudian orang tersebut akan memperoleh kepuasan biologis atas dirinya tanpa melibatkan kelamin orang lain.
Onani atau disebut juga masturbasi, berasal dari bahasa latin, masturbation yang berarti pemuasan kebutuhan seksual terhadap diri sendiri dengan menggunakan tangan (mastur : tangan, batio : menodai) sehingga masturbasi berarti menodai diri sendiri dengan tangan sendiri (dhalimun linnafsih). Ada juga yang menyebut bahwa onani adalah manipulasi alat kelamin sehingga mendapatkan kepuasan seksual. Nama lain bagi onani selain masturbasi adalah zelfbeulekking (penodaan dengan tangan), auto-stimuli, autoetism, self gratification, dan ipsasi. Bahkan para psikolog sering juga menyebut dengan nama monoseks, yaitu kepuasan seks oleh diri sendiri. Para kalangan ulama di kalangan umat Islam sering menyebut dengan istimna'. Jika istimna' ini dilakukan oleh laki-laki disebut jaldu umrah atau ilthaf.
Dalam pandangan masyarakat Barat masturbasi merupakan bagian yang lazim dari perkembangan seksual, dan tidak menimbulkan dampak fisik walaupun sering dilakukan. Satu-satunya dampak yang mungkin adalah perasaan bersalah. Ada anggapan, masturbasi membuat seseorang menjadi lemah, merusak penglihatan, dan jika berlebihan menyebabkan kelainan otak atau gila. Masturbasi tidak menyebabkan hal-hal ini, tetapi pandangan tersebut masih beredar di antara mereka yang tidak mengetahui. Masturbasi dikatakan menyebabkan pembesaran bibir vulva, pembengkakan testis, dan penyakit. Semua pandangan ini tidak beralasan. Masturbasi dikatakan sebagai bukti dari ketidakmatangan, yang jelas-jelas tidak benar, karena orang yang matang secara seksual dapat mencapai kenikmatan seks melalui masurbasi setelah dia menikah atau semasa lajang. Masturbasi dikatakan menyebabkan frustasi seks dan frigiditas, tetapi peneliti lain menemukan, masturbasi menyebabkan ekses seksual, sehingga jelas anggapan tadi bersifat emosional dan tidak nyata. Dikatakan, seseorang tidak dapat mencapai kepuasan emosional secara penuh melalui masturbasi.
Sebagian besar pria yang onani/ masturbasi cenderung lebih sering melakukannya ketimbang wanita, dan mereka tampaknya sering mengalami atau biasanya mendapatkan orgasme ketika bermasturbasi (80 persen hingga 60 persen). Ini adalah prilaku umum kedua yang paling umum(pertama adalah koitus), bahkan bagi orang-orang mempunyai pasangan seksual. Kebanyakan anak-anak sering semenjak mereka masih bayi menemukan kenikmatan pada rangsangan okasional pada alat kelamin mereka, tetapi tidak mengerti bahwa prilaku ini adalah ’’seksual’’ hingga masa kanak-kanak akhir atau memasuki masa remaja.
Pada masa remaja, kecendrungan untuk masturbasi meningkat baik pada remaja pria maupun remaja putri, dan sebagian orang terus melakukan masturbasi pada masa dewasa, dan banyak juga yang melakukannya sepanjang hidup.
Istilah masturbasi memunculkan banyak mitos bahwa ia memiliki sifat merusak dan membahayakan. Citra negatif ini mungkin dapat ditelusuri hingga asal kata Latin, masturbate, yang merupakan kombinasi dua kata Latin, manus(tangan) dan sturararei (kotor), yang artinya ’’berbuat kotor dengan tangan,’’. Munculnya rasa malu dan kotor yang dicitrakan oleh arti kata ini masih saja ada sampai zaman moderen meskipun para ahli medis sepakat bahwa masturbasi tidak membahayakan fisik ataupun mental. Tidak pula ada bukti bahwa anak-anak yang melakukan rangsangan pada diri sendiri akan membahayakan dirinya.
Barangkali rasa bersalah dan malu muncul karena larangan dari beberapa agama tentang masturbasi. Termasuk pula orangtua yang menghukum anaknya karena melakukan masturbasi. Namun demikian, masturbasi bisa saja membahayakan ketika ia menjadi kompulsif. Masturbasi kompulsif, seperti prilaku kompulsif lainnya, adalah tanda adanya masalah emosial dan membutuhkan perlakuan dari spesialis kesehatan mental.
Sesungguhnya, sebagian ahli menegaskan bahwa mastrubasi memperbaiki kesehatan seksual dengan meningkatkan pemahaman individual tentang tubuhnya sendiri dan tentang penerimaan diri. Pengetahuan ini selanjutnya dimunculkan untuk menciptakan hubungan seksual dengan pasanganya, melalui mansturbasi mutual karena kemampuan untuk memberitahu pasangan mana yang paling menyenangkan.
Sungguh bagus bagi sepasang suami-istri untuk mendiskusikan prilaku mereka mengenai masturbasi dan meredakan rasa tidak aman yang mungkin di miliki salah satu pasangan jika yang lain kadang-kadang menyukai masturbasi mungkin dapat diterima oleh keduanya. Dilakukan sendirian atau dilakukan di hadapan pasangan, tindakan ini dapat menyenangkan dan menambah keintiman sepanjang tidak ada penolakan. Seperti kebanyakan prilaku seksual, tanpa komunikasi yang benar, tindakan masturbasi dapat dipergunakan sebagai tanda sebuah kemarahan, pengasingan atau ketidaknyamanan dengan hubungan yang sedang dibina.
Yang perlu diingat: saat pasangan suami-istri sedang menjaga hubungan seks yang aman, manstrubasi dengan pasangan dapat menyenangkan selain melakukan senggama, sepanjang anda menghindari kontak dengan seperma, atau cairan vagina pasangan anda.
Sementara itu kalangan agamis dalam kehidupan bermasyarakat lebih memandang perbuatan masturbasi ini dari aspek moral si pelaku. Bahwa hal tersebut merupakan cerminan seseorang yang tidak memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, meskipun perbuatan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan orang lain.

B. Pengaruh Masturbasi Dalam Pandangan Medis
Sampai saat ini masih banyak orang yang cemas karena masturbasi. Kecemasan itu tak dapat dilepaskan dari pandangan agama atau nilai moral dan pendapat ilmuwan di masa lalu. Di masyarakat istilah onani lebih dikenal. Sebutan ini, menurut berbagai ulasan yang ditulis Prof. Dr. Dr. Wimpie Pangkahila Sp, And, Ketua Pusat Studi Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, berasal dari nama seorang laki-laki, Onan, seperti dikisahkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Tersebutlah di dalam Kitab Kejadian pasal 38, Onan disuruh ayahnya, Yehuda, mengawini isteri almarhum kakaknya agar kakaknya mempunyai keturunan. Onan keberatan, karena anak yang akan lahir dianggap keturunan kakaknya. Maka Onan menumpahkan spermanya di luar tubuh janda itu setiap berhubungan seksual. Dengan cara yang kini disebut sanggama terputus itu, janda kakaknya tidak hamil. Namun akibatnya mengerikan. Tuhan murka dan Onan mati. Onani atau masturbasi dalam pengertian sekarang bukanlah seperti yang dilakukan Onan. Masturbasi berarti mencari kepuasan seksual dengan rangsangan oleh diri sendiri (autoerotism), dan dapat pula berarti menerima dan memberikan rangsangan seksual pada kelamin untuk saling mencapai kepuasan seksual (mutual masturbation). Yang pasti pada masturbasi tidak terjadi hubungan seksual, tapi dapat dicapai orgasme.
Kemudian bagaimana pula menurut pandangan para dokter mengenai tingkah laku/ perbuatan masturbasi/ onani ini ?
Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal, bahwa banyak pendapat para dokter mengenai perbuatan masturbasi yang setelah diadakan penelitian, mereka lebih banyak membuktikan masturbasi ini, selama dilakukan dengan higienis, artinya dengan tangan yang bersih, masturbasi tidak berbahaya dan berdampak baik untuk kesehatan. Yang seringkali membuat celaka adalah bila perbuatan masturbasi ini dengan menggunakan alat.
Dalam pandangan medis, justeru dampak positif yang akan timbul dari perbuatan masturbasi ini, adalah bahwa perilaku masturbasi ini bisa menjadi obat untuk mengurangi risiko terkena penyakit kanker prostat, di mana penyakit ini banyak dialami para laki-laki yang sudah lanjut usia (lansia). Penyakit tersebut terjadi karena disinyalir tidak pernah/ kurang melakukan masturbasi/ onani tersebut. Sehingga perbuatan masturbasi ini berpengaruh baik bagi kesehatan si pelaku, dengan catatan mediator yang digunakan dalam keadaan bersih/ steril.
Kekhawatiran masturbasi dapat berakibat kebutaan atau menyebabkan berkurangnya sperma dan lain-lain tidaklah tepat. Sebaliknya masturbasi ternyata baik bagi kesehatan karena dapat melindungi dari kanker prostat. Semakin sering melakukan masturbasi semakin lebih baik, demikian menurut para ahli. Hal ini didasari penelitian terhadap pria yang senang menyenangkan diri sendiri secara teratur yang berumur 20 dan 50 memiliki penurunan sangat jauh kemungkinan berkembangnya penyakit kanker prostat. Penemuan mereka didukung teori yang menyatakan ejakulasi secara teratur dapat mencegah tumbuhnya carcinogen (segala sesuatu yang menyebabkan kanker) dalam prostat sebagai kelenjar yang bertanggung jawab bagi menumpuknya cairan dalam semen. Peningkatan carcinogen menyebabkan kanker prostat. Graham Giles bersama timnya yang berbasis di Melbourne, Australia pun meneliti kebiasaan seksual lebih dari 2.000 pria dimana setengahnya memiliki kanker dan sisanya sehat. Pengaruh pencegahan dengan cara masturbasi merupakan cara paling penting pada pria berumur 20-an, demikian menurut Giles pada majalah New Scientist. Mereka yang ejakulasi lebih dari lima kali dalam seminggu, tiga kali kemungkinan lebih kecil berkembangnya kanker prostat dalam hidupnya. Hasil ini sedikit bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan memiliki banyak pasangan atau sering berhubungan intim meningkatkan resiko kanker prostat sampai 40 persen. Penelitian ini memfokuskan pada hubungan intim bukan pada masturbasi.
Seperti dikutip Journal of the American Medical Association, edisi pekan lalu, mereka melakukan studi terhadap 29.342 petugas kesehatan. Relawan pria itu berusia 46-81 tahun. Kepada mereka diajukan beberapa pertanyaan. Satu di antaranya, berapa rata-rata ejakulasi per bulan pada saat menginjak usia 20-29 tahun dan 40-49 tahun. Studi yang dipimpin Michael F. Leitzmann, peneliti dari Lembaga Kanker Nasional Amerika Serikat, ini berlangsungselama delapan tahun. Kuesioner dikumpulkan, dianalisis, dan kesehatan mereka diperiksa. Mereka lalu dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jawaban frekuensi ejakulasi: 13-20 kali per bulan dan di atas 21 kali. Ejakulasi adalah keluarnya sperma dari penis. Hasilnya: hanya 1.449 relawan yang belakangan menderita kanker prostat. Dari jumlah yang terkena, kondisi 147 relawan sangat kritis. Kankernya sudah parah. Lalu Leitzmann dan koleganya membuat persentase risiko terkena kanker prostat. Menurut dia, kelompok yang cuma berejakulasi 13-20 kali sebulan hanya mengurangi risiko kena kanker prostat 14%. Ini lebih kecil dibandingkan dengan yang berejakulasi 21 kali ke atas saban bulan. Persentase terbebas dari serangan kankernya mencapai 33%. "Artinya, makin sering berejakulasi, makin kecil kemungkinan terjangkit kanker prostat," ujarnya. Berkurangnya risiko itu lantaran ejakulasi berperan mengeluarkan bahan-bahan kimia penyebab kanker. Andai kata tak dikeluarkan, bahan-bahan tersebut akan menumpuk di kelenjar prostat dan bisa memicu kanker. Studi ini tentu mengejutkan. Sebelum ini, banyak dugaan, makin kerap berejakulasi, risikonya makin didekati kanker. Sebab, kekerapan ejakulasi menunjukkan banyaknya hormon testosteron. Makin banyak hormon seks bisa memicu pertumbuhan sel-sel kanker. Orang pantas khawatir karena kanker prostat terbilang sangat mengganggu. Bila terkena, air mani tak bisa keluar. Pasien akan terganggu saat kencing. Air yang keluar dari kandung kemih sedikit. Kalau terus dibiarkan, bisa mengakibatkan disfungsi ereksi. Toh, ada juga yang meragukan validitas studi Leitzmann. "Apakah mereka dapat mengingat berapa kali berejakulasi beberapa tahun lalu," kata Michael Naslund, urolog dari University of Maryland Medical Center, Baltimore, Amerika Serikat. Menurut dia, studi ini belum dapat dijadikan petunjuk baru bagi kaum laki-laki yang ingin terhindar dari penyakit itu. Sementara itu, Wimpie Pangkahila, seksolog pada Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, tak mau berkomentar lantaran harus melihat metode penelitiannya. Tapi, katanya, frekuensi hubungan seksual atau masturbasi tak terkait dengan kanker. "Berhubungan seks terlalu sering tak berbahaya sepanjang mampu," ujarnya. Sedangkan risiko kanker lebih terkait dengan faktor-faktor pemicu lain, seperti lingkungan dan gaya hidup.

PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI

A. PENGERTIAN
Pengertian teknologi banyak sekali dijabarkan oleh para ahli, diantaranya teknologi informasi yang dijabarkan oleh Sulistiyo-Basuki (1993:87). Beliau mengatakan teknologi informasi merupakan suatu teknologi yang digunakan untuk menyimpan, mengolah, menghasilkan dan menyebarkan informasi. Pengertian ini dibatasi oleh Pandit (1994: 37). Pandit mengatakan bahwa teknologi informasi adalah teknologi pengadaan, pengolahan, penyimpanan dan penyebaran berbagai jenis informasi dengan memanfaatkan komputer dan telekomunikasi yang lahir karena adanya dorongan-dorongan kuat untuk menciptakan teknologi baru yang dapat mengatasi kelambatan kerja manusia mengolah informasi.
Terminologi teknologi informasi dapat memberikan gambaran yang sangat kompleks yang menyangkut sistem dan pengolahan informasi, sistem telekomunikasi, penyiaran, komputerisasi (Purnamo, Hindar, 2003). Denis Longlay (1989) merumuskan teknologi informasi sebagai akuisisi, pangolahan, penyimpanan dan penyebarluasan informasi dengan menggunakan perangkat elektronik berupa komputer, telekomunikasi dan video. Komputer berkamampuan untuk menyimpan dan mengolah informasi, kemudian video dapat menampilkan image yang berkualitas tinggi. Ketiga komponen teknologi informasi ini terus saja mengalami perkembangan yang sangat pesat yang mengarah pada sistem informasi global yang disebut internet.
Dari terminologi diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti: bisnis, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Perpustakaan sangat membutuhkan teknologi informasi untuk mendukung fungsi utamanya sebagai sumber dan penyalur informasi, khususnya dibidang pengetahuan.
2. Basis utama teknologi informasi adalah komputer. Kinerja layanan perpustakaan dipengaruhi oleh kehandalan perangkat komputer dan kemampuan sumber daya manusia dalam mengolahnya.
3. Teknologi informasi memproduk berbagai jenis kemasan. Perpustakaan dapat menentukan pilihan yang paling tepat dengan pertimbangan kepentingan pengguna dan kemampuan dana.

B. PEMANFATAN TI DI PERPUSTAKAAN
Tujuan penerapan teknologi informasi di perpustakaan adalah untuk memungkinkan ketersediaan informasi yang lebih banyak, lebih berkualitas dan akurat, disamping mempermudah pelayanan. Semua ini dimungkinkan karena akses informasi tidak saja terbatas pada yang terdapat di perpustakaan tetapi juga dapat yang berada diluar perpustakaan. Informasi tidak hanya dikemas dalam bentuk buku tetapi juga dalam bentuk lain yang lebih informatif (Purnomo, Hindar, 2003: 29)
Dengan bantuan komputer pelayanan informasi juga dapat dilakukan dengan mudah menuju sasaran informasi yang diperlukan. Ketersediaan informasi yang lengkap sangatlah penting di lingkungan perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Teknologi informasi yang biasanya dimanfaatkan di perpustakaan menurut Ridwan Siregar adalah:
1. Teknologi Pengadaan
Pengadaan bahan pustaka dapat dilakukan dari jarak yang jauh dan mencakup seluruh dunia melalui teknologi informasi yang ada pada internet. Perpustakaan dapat memesan atau mencari penerbitan untuk mendapatkan informasi sesuai kebutuhan melalui akses internet secara langsung
2. Teknologi Penyiapan Bahan Pustaka
Penyiapan bahan pustaka akan lebih lancar dan terintegrasi dengan memanfaatkan perangkat lunak khusus teknologi informasi, misalnya pemberian label dan katalogisasi.
3. Teknologi Pelayanan
Teknologi pelayanan akan mempermudah proses temu kembali informasi oleh pengguna sehingga pengguna tidak akan kesulitan untuk menemukan informasi sesuai kebutuhan mereka. Teknologi informasi yang dimanfaatkan di perpustakaan seluruhnya adalah untuk keperluan pelayanan kepada pemakai perpustakaan. Teknologi pelayanan mencakup teknologi pengadaan, teknologi peminjaman, teknologi penyiapan bahan pustaka, teknologi penyimpanan dan teknologi jaringan
4. Teknologi Peminjaman
Teknologi peminjaman dapat dimanfaatkan oleh perpustakaan untuk memberikan layanan peminjaman kepada anggotanya, misalnya dengan pembarcodean koleksi. Pembarcodan koleksi akan mempermudah proses sirkulasi buku sehingga layanan peminjaman mudah dilakukan.
Dengan jaringan komunikasi sebuah perpustakaan dapat menjalin kerja sama dengan perpustakaan atau badan lain sehingga informasi yang ada dalam sebuah perpustakaan dapat dipinjam oleh perpustakaan lain dan sebaliknya sehingga terjadi tukar menukar informasi (Interlibrary Loan)
5. Teknologi Penyimpanan
Teknologi penyimpanan dapat dimanfaatkan oleh perpustakaan untuk mengatasi kendala kekurangan ruangan akibat terlalu banyaknya koleksi yang disediakan. Informasi dapat disimpan dalam bentuk yang lebih simple sehingga akan mempermudah pencarian oleh pengguna. Teknologi penyimpanan ini bisa berupa CD-ROM, Kliping On Line dan Thesis On Line
6. Teknologi Jaringan
Perkembangan yang pesat dalam teknologi jaringan dan telekomunikasi selama lebih dari 30 tahun terakhir merupakan komponen dasar dalam sistem perpustakaan berbasis komputer. Koleksi data bibliografis yang terdapat dalam di berbagai sistem komputer seluruh dunia dapat diakses dengan mudah dan murah dari workstation di suatu perpustakaan atau unit informasi lain. Teknologi jaringan yang sering dimanfaatkan oleh perpustakaan adalah LAN, MAN dan WAN. LAN merupakan jaringan kerja yang dapat menghubungkan komputer satu dengan komputer lainnya sebanyak 24 komputer dalam suatu gedung sehingga informasi yang ada dalam suatu gedung dapat diakses oleh seluruh orang yang berada dalam gedung tersebut. MAN memungkinkan seseorang dapat mengakses informasi dari seluruh gedung, misalnya seorang dosen dapat menelusur OPAC dari meja mereka atau berkomunikasi dengan rekan kerja mereka dari gedung yang berbeda. Sedangkan WAN merupakan jaringan informasi yang mencakup seluruh dunia. WAN disebut juga internet.
Manfaat penerapan teknologi informasi di perpustakaan yakni:
1. Mengatur informasi serta mengusahakan agar informasi dapat ditemukan kembali.
Dengan teknologi informasi penyimpanan informasi dapat ditata sedemikian rupa sehingga proses temu kembali informasi dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
2. Membentuk jaringan kerja perpustakaan
Jaringan kerja perpustakaan yang ada dapat tersebar ke berbagai komputer, sehingga informasi yang terdapat di perpustakaan dapat ditelusur oleh karyawan, dosen atau siapapun dari luar ruangan perpustakaan
3. Mengatasi jaringan informasi yang sangat cepat
Di era globalisasi ini informasi berkembang semakin cepat, sehingga apabila kita tidak kita tidak bisa mengikutinya kita akan ketinggalan. Teknologi informasi sangat membantu dalam proses pencarian informasi sesuai yang kita butuhkan.
4. Menghemat waktu dan tenaga staf sehingga dapat menekan biaya operasional.
Teknologi informasi yang digunakan dalam perpustakaan akan mempermudah dan meringankan pekerjaan, sehingga akan mempermudah dan meringankan pekerjaan. Pekerjaan yang jika dilakukan dengan sistem manual memakan waktu dan biaya yang banyak, dengan teknologi informasi dapat dilakukan dengan cepat dan lebih murah. Misalnya proses pengatalogan.
5. Mempermudah kerja sama dengan instansi atau perpustakaan lain
Interlibrary Loan akan memberikan kesempatan kepada suatu perpustakaan untuk mengembangkan diri dengan cara menjalin kerja sama dengan perpustakaan atau badan lain. Dengan kerjasama informasi yang ada di perpustakaan dapat bertambah tanpa menambah biaya pengadaan.
6. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas layanan perpustakaan
Dengan teknologi informasi pelayanan dapat dilakukan seefisien dan seefektif mungkin sehingga mempermudah pengguna dalam menemukan informasi sesuai yang mereka butuhkan.
7. Tugas pustakawan menjadi lebih ringan
Teknologi informasi memberikan kemudahan dalam hal apapun: pengadaan, pengolahan, peminjaman dan sebagainya, sehingga tugas pustakawan menjadi lebih ringan.
8. Meningkatkan status perpustakaan
Status sebuah perpustakaan akan lebih diakui oleh masyarakat apabila sebuah perpustakaan mampu menyediakan informasi sesuai permintaan pengguna. Dengan bantuan teknologi informasi hal tersebut dapat terwujud.
(Sumardiah, Tatik, 2000: 8-11)
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan penerapan teknologi informasi adalah untuk:
1. Meringankan pekerjaan
2. Memudahkan tugas-tugas kepustakawanan
3. Mempercepat proses temu kembali informasi
4. Memperlancar kerjasama informasi
5. Meningkatkan pelayanan informasi


C. JENIS TEKNOLOGI INFORMASI
Menurut Sulistiyo-Basuki yang termasuk teknologi informasi adalah:
1. Telekomunikasi
Telekomunikasi adalah sebuah jaringan tang memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain dalam jarak yang jauh (Croucher, Phil, 1992). Telekomunikasi memudahkan pustakawan untuk berhubungan dengan siapapun untuk keperluan pengembangan perpustakaannya. Telekomunikasi misalnya Telepon dan internet.
2. Sistem pita video
Merupakan sistem penyimpanan informasi dalam sebuah pita yang dapat dimunculkan ke dalam layar. Sistem ini digunakan untuk merekam sumber informasi secara langsung, masalnya Handicam
3. Cakram video
Cakram video adalah kepingan yang dimanfaatkan dengan sinar laser untuk menyimpan data digital seperti artikel dan naskah kuno (Watters, Carolyn, 1992:22). Cakram video sangat penting untuk membantu pelestarian bahan pustaka sehingga informasinya dapat dipertahankan. Contoh cakram video adalah CD-ROM
4. Komputer
Menurut ejaan aslinya komputer berarti alat hitung. Kata komputer berasal dari bahasa latin “Computere” yang berarti hitungan. Komputer merupakan suatu mesin yang dapat memanipulasi data dengan sendiri dan digunakan sebagai alat bantu dalam pemrosesan data (Sudiono, Theresa,1996:13). Komputer merupakan basis utama teknologi informasi kerena sebagian besar teknologi informasi memanfaatkan komputer untuk menjalankan prosesnya. Komputer terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras meliputi: peralatan pemasukan data (Keyboard, Scanning), Peralatan pengolah kata (CPU), Peralatan penampilan keluaran data (Layar/monitor, printer), Penyimpanan data (disket, harddisk, CD). Piranti lunak meliputi: perangkat lunak pengolah angka, perangkat lunak pengolah data, perangkat lunak pengolah kata, perangkat lunak pengolah gambar dan perangkat lunak presentasi multimedia.
5. Bentuk Mikro
Bentuk mikro merupakan fasilitas untuk menyimpan informasi dalam bentuk mikro yang berisi tulisan, gambar maupun grafis yang diatur dalam selembar film secara berbanjar horisontal/vertikal (Watters, Carolyn, 1992: 132). Mikro bentuk biasanya digunakan untuk merekam naskah-naskah kuno dan untuk membacanya dibutuhkan alat baca khusus yaitu micro reider
6. Komunikasi suara dengan bantuan komputer
Merupakan sebuah komunikasi dengan memanfaatkan komputer sebagai perantaranya
7. Jaringan kerja (Networking)
Jaringan kerja merupakan sistem yang dapat mengirim dan menerima baik data maupun pesan melalui seutas kabel (Widodo, Dian, 1996:190). Network memungkinkan group komputer bisa berhubungan satu sama lain dalam satu lokasi atau seluruh dunia.
8. Surat elektronik
Surat elektronik merupakan suatu metode untuk file transfer dan mengirim pesan antar workstation (Widodo, Dian,1996: 92).Surat elektronik memungkinkan seorang user komputer dapat saling bertukar pesan dengan user lain melalui jaringan komunikasi.
9. Video teks dan teleteks
Video teks merupakan transmisi dari informasi yang dikodekan secara digital sebagai bagian dari sinyal TV untuk mengirimkan pesan berupa suara, gambar dan teks. Sedangkan teleteks merupakan bagian dari video teks yang hanya mengirimkan pesan dalam bentuk teks (Widodo, Dian, 1996: 122).

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Pendidikan Islam
Istilah pendidikan dalam konteks Islam lebih banyak dikenal dengan term At-Tarbiyah, At-Ta’lim, At-Ta’dib, dimana term tersebut mempunyai makna yang berbeda. Dari ketiga istilah tersebut telah banyak menimbulkan perdebatan diantara para ahli mengenai istilah mana yang paling tepat untuk menunjuk kegiatan “pendidikan”.
Dalam bukunya Abu Tauhid yang berjudul “Beberapa Aspek Pendidikan Islam” memberikan pemahaman tentang ketiga istilah di atas yaitu : kata At-Ta’lim yang lebih tepat ditujukan untuk istilah “pengajaran” yang hanya terbatas pada kegiatan menyampaikan atau memasukkan ilmu pengetahuan ke otak seseorang. Jadi lebih sempit dari istilah “pendidikan” yang dimaksud, dengan kata lain At-Ta’lim hanya sebagai bagian dari pendidikan. Dan kata At-Ta’dib lebih tepat ditujukan untuk istilah “pendidikan ahlak” semata, jadi sasarannya hanyalah pada hati dan tingkah laku (budi pekerti.) sedangkan kata At-Tarbiyah mempunyai pengertian yang lebih luas dari At-Ta’lim dan At-Ta’dib bahkan mencakup kedua istilah tersebut.
Untuk itu ditijau dari segi asal bahasanya, sebagaimana diutarakan Abdur Rahman An-Nahlawi, kata At-Tarbiyah memiliki tiga asal yaitu :
1. Kata At-Tarbiyah berasal dari kata رَبَا يَرْبُوْ Yang mempunyai arti زَادَ وَنَمَا (bertambah dan tumbuh )
2. Kata At-Tarbiyah berasal dari kata رَبِيَ- يَرْبَي yang mempunyai arti تَرَعْرَعَ نَشَأَ وَ ( tumbuh dan berkembang menjadi dewasa )
3. Kata At-Tarbiyah berasal dari kata ر ب – ير ب yang mempunyai arti اَصْلَحَهُ: وَتَوَلَّى اَمْرَهُ : وَسَاسَهُ وَقَامَ عَلَيْهِ وَرَعَاهُ ( memperbaiki, mengurusnya, memimpinnya dan mengawasi serta menjaganya.)
Dari pengertian di atas istilah At-Tarbiyah mengandung berbagai kegiatan yang berupa menumbuhkan, mengembangkan, memperbaiki, mengurus, maupun mengawasi serta menjaga anak didik. Dengan berbagai kegiatan ini maka potensi-potensi yang ada dalam diri anak didik akan mengalami perkembangan ke arah kemajuan.
Sedangkan pengertian pendidikan secara terminologi telah banyak para pakar yang mencoba merumuskannya berdasarkan hasil ijtihad sehingga tak mengherankan jika sampai saat ini banyak definisi pendidikan Islam yang masing-masing mengandung persamaan dan perbedaan. Berikut ini dikemukkan tiga definisi pendidikan Islam yang telah dirumuskan oleh beberapa ahli diantaranya :
1. Sayid Sabiq, merumuskan bahwa pendidikan Islam ialah mempersiapkan anak baik dari segi jasmani, segi akal, dan segi rohaniyah sehingga dia menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi umatnya.
2. Athiyah Al-Abrasy, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah mempersiapkan individu agar ia dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.
3. Anwar Jundi, mengatakan pendidikan Islam yaitu menumbuhkan manusia dengan pertumbuhan yang terus menerus sejak ia lahir sampai ia meninggal dunia.
Dari ketiga definisi di atas mengandung perbedaan, yaitu terletak pada penekanannya, sehingga ketiganya dapat saling melengkapi. Dan apabila ketiga definisi itu dipadukan maka akan tersusun sebuah rumusan pendidikan Islam yang lebih sempurna dan lebih lengkap. Adapun rumusan pendidikan Islam yaitu suatu usaha untuk menyiapkan anak atau individu dan menumbuhkannya baik dari sisi jasmani, akal fikiran dan rohaninya dengan pertumbuhan yang terus menerus agar ia dapat hidup dan berpenghidupan sempurna dan ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan umatnya.
Jadi pendidikan Islam merupakan pengembangan potensi yang dimiliki anak sesuai dengan bakat dan minatnya, disamping itu pendidikan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai dan aspek pengembangan akal pikiran sehingga potensi dasar anak dikembangkan secara leluasa, sehingga kemampuan yang dimiliki anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan jasmani dan rohani sehingga menjadi manusia yang berguna.
H..M Arifin berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya ajaran semua Islam.
Pengertian di atas jelas bahwa pendidikan Islam berupaya menanamkan takwa dan ahlak kepada anak didik agar membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi pekerti luhur menurut ajaran Islam.
Prof. Dr. Muhammad Athiyah Al-Abrosy menyatakan bahwa prinsip umum pendidikan Islam adalah mengembangkan berfikir bebas dan mandiri serta demokratis dengan memperhatikan kecenderungan peserta didik secara individu yang menyangkut aspek kecerdasan akal, dan bakat dengan dititik beratkan pada pengembangan ahlak.
Pengertian pendidikan Islam di atas berupaya mengembangkan anak sesuai dengan akal dan bakat dengan bimbingan dan dengan dorongan yang dititik beratkan pada pengembangan ahlak.
Sedangkan menurut Muhammad Fadil Al-Jamaly pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia lebih maju berlandaskan nilai-nilia yang tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang sempurna baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.
Pengertian di atas menjelaskan bahwa pendidikan Islam berupaya mengembangkan potensi manusia baik dari sisi kognitif, afektif maupun psikomotorik sebagai satu kesatuan yang utuh dengan berlandaskan nilai-nilai Islam sehingga diharapkan manusia bisa menghadapi masa depan yang akan dihadapi dengan kemampuan yang telah dimiliki.
Berbagai pengertian di atas menunjukkan beragamnya pendapat para ahli. Namun memiliki kesamaan yang mendasar sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa untuk mengarahkan, membimbing dan mengembangkan seluruh potensi anak didik agar berkembang lebih maju demi tercapainya pribadi yang dewasa, mandiri da lebih sempurna dengan berlandaskan nilai-nilai yang bersumber dari Al-Quran dan Sunah untuk mencapai kebahagiaan yang akan datang.

B. Dasar dan tujuan Pendidikan Islam
1. Dasar Pendidikan Islam
Dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam harus merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada aktivitas yang dicita-citakan. Nilai yang terkandung harus mencerminkan nilai yang universal yang dapat dikonsumsikan untuk seluruh aspek kehidupan manusia serta merupakan standar nilai yang dapat mengevaluasi kegiatan selama ini berjalan.
Dasar pendidikan Islam pada garis besarnya ada dua yaitu Al-Quran dan As-Sunah yang dapat dikembangkan dengan ijtihad.
Dr. Said Ismail berpendapat bahwa dasar ideal pendidikan Islam terdiri atas enam macam yaitu ; (1) Al-Quran, (2) Sunah Nabi, (3) Kata-kata sahabat, (4) Kemasyarakatan umat (sosial), (5) Nilai-nilai dan adat kebiasaan masyarakat dan (6) Hasil pemikiran para pemikir Islam.
Menurut Prof. Hasan Langgulung dasar operasional pendidikan terbagi menjadi enam macam :
a. Dasar historis, yaitu dasar yang memberikan persiapan kepada anak didik dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, undang-undang dan peraturannya, batas-batas dan kekurangannya.
b. Dasar sosial, yaitu dasar yang memberikan kerangka budaya pendidikannya itu bertolak dan bergerak seperti memindah budaya, memilih dan mengembangkannya.
c. Dasar ekonomi, yaitu dasra yang memberi perspektif tentang potensi-potensi manusia dan keuangan materi dan persiapan yang mengatur sumber-sumbernya dan tanggung jawabnya terhadap pembelanjaan.
d. Dasar politik dan administrasi, yaitu dasar yang memberi bingkai ideologi dasar yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.
e. Dasar psikologis, yaitu dasar yang memberi informasi tentang watak pelajar-pelajar, guru-guru cara-cara terbaik dalam praktek pencapaian dan penilaian dan pengukuran secara bimbingan.
f. dasar filosofis, yaitu dasar yang memberi kemampua memilih yang terbaik memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.
Dasar- dasar pendidikan di atas menjadikan pendidikan Islam tetap mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik, dan dasar ini pula yang menjadi salah satu acuan dalam penentuan tujuan pendidikan Islam.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan merupakan salah satu faktor yang harus selalu ada dalam setiap aktifitas pendidikan, termasuk pendidikan Islam, disamping itu tujuan juga merupakan pedoman bagi suatu kegiatan yang akan dikerjakannya. Dengan tujuan yang jelas kegiatan pendidikan akan efektif dan efisien dan akan terfokus dengan apa yang kita citi-citakan. Hal di atas menunjukkan pentingnya tujuan pendidikan Islam.
Adapun akan penulis paparkan berbagai rumusan tujuan pendidikan Islam:
Menurut DR. Moh. Fadhil Al-Jamaly tujuan pendidikan Islam ialah menenemkan kesadaran dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakatnya serta menanamkan kemampuan manusia untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadahnya kepada khalik pencipta alam itu sendiri.
M. Fadhil Al-Jamaly dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam di atas menggambarkan bahwa pendidikan Islam berusaha mengembangkan potensi yang ada pada manusia, hal ini terlihat dengan mengajak manusia mengenal dan mempelajari lingkungan baik dirinya, masyarakat maupun alam sehingga diperlukan kemampuan agar dapat mengelola dan menguasainya untuk mencapai kebahagiaan hidup dengan maksud beribadah kepada Allah SWT.
Sedangkan menurut hasil rumusan konferensi dunia pertama tentang pendidikan Islam yang diadakan di Makkah tahun 1977 : “ Penididikan seharusnya mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan semangat, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan rasa tubuh. Karena itu, pendidikan seharusnya memberikan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya secara spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik baik secara individual maupun secara kolektif disamping memotivasi semua aspek tersebut ke arah kebaikan dan kesempurnaan.
Rumusan di atas menggambarkan bahwa tujuan pendidikan Islam berusaha menumbuhkan berbagai aspek yang ada pada manusia dengan potensi yang dimiliki agar mencapai pertumbuhan yang seimbang dan sempurna.
Ali Ashraf menawarkan tujuan pendidikan Islam dengan terwujudnya penyerahan mutlak kepada Allah SWT pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.
Sedangkan tujuan khusus pendidikan Islam menurut Ali Ashraf adalah :
1. Mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam, serta mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern.
2. Membekali anak muda dengan berbagai pengetahuan dan kebajikan baik pengetahuan praktis, kekuasaan, kesejahteraan, lingkungan sosial dan pembangunan nasional.
3. Mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk menghargai dan membenarkan superioritas komparatif kebudayaan dan peradaban Islami di atas semua kebudayaan lain.
4. Memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman imajinatif sehingga kemampuan kretif dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah.
5. Membantu anak yang sedang tumbuh dan belajar berfikir secara logis dan membimbing proses pemikiran dengan berpijak pada hipoteses dan konsep-konsep tentanag pengetahuan yang dituntut.
6. Mengembangkan wawasan relational dan lingkungan sebagaimana yang dicita-citakan dalam Islam, dengan melatih kebiasaan yang baik.
7. Mengembangkan, menghaluskan dan memperdalam kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa lisan.
Dari tujuan yang ditawarkan Ali Ashraf di atas pendidikan Islam tidak lain bertujuan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan yang ada dalam diri si anak didik baik spiritual, emosi, komunikasi, kecerdasan, sosial dan kepercayaan dirinya sehingga terwujud penyerahan mutlak pada Allah SWT.
Jadi tujuan pendidikan dari berbagai rumusan di atas bahwa potensi kecerdasan merupakan kemampuan yang perlu diperhatikan disamping kemampuan yang lain. Oleh karena itu dibutuhkan suatu langkah dan strategi yang melibatkan banyak faktor.

C. Faktor-faktor Pendidikan Islam
Pencapaian tujuan pendidikan Islam dibutuhkan suatu langkah dan strategi yang melibatkan banyak faktor. Dimana faktor ini merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat terpisahkan dalam suatu sistem pendidikan Islam. Faktor-faktor pendidikan itu berupa tujuan, pendidik, anak didik, lingkungan dan faktor alat.
Penulis berpendapat bahwayang termasuk faktor-faktor pendidikan Islam tidak berbeda dengan faktor secara umum, karena yang membedakan antara pendidikan Islam dan pendidikan secara umum hanyalah terletak pada sumber-sumber yang mendasarinya. Sebagaimana Sutari Imam Barnadib dalam bukunya “Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis” menetapkan faktor-faktor dalam lima macam, yaitu :
1. Faktor Tujuan
Tujuan merupakan sasaran yang hendak dicapai dan sekaligus merupakan pedoman yang memberi arah bagi segala aktivitas yang dilaksanakan. Tujuan bisa menjadi motivasi yaitu pendorong dalam suatu proses yang menjadi terget tercapainya akan sesuatu.
2. Faktor Pendidik
Pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan seluruh potensi afektif, kognitif, dan psikomotorik.
Pendidik yang penulis maksud sesuai dengan penegasan istilah didepan yaitu orangtua. Orang tua adalah orang dewasa pertama yang memikul tanggung jawabpendidikan, karena orangtualah yang mengetahui karakteristik anak sejak usia awal.
3. Faktor Anak Didik
Anak didik ialah seorang anak yang selalu mengalami perkembangan sejak terciptanya sampai meninggal dan mengalami perubahan-perubahan yang terjadi secara wajar.
Anak yang penulis maksud adalah usia 6-12 tahun, pada masa ini anak sudah bersosialisasi dengan lingkungan. Pada masa ini orang tua perlu memperhatikan pendidikannya yang akan mempengaruhi di masa yang akan datang.
4. Faktor Alat
Alat pendidikan adalah segala sesuatu yang secara langsung membantu terlaksananya tujuan pendidikan. Alat pendidikan dapat berujud benda konkrit dan non konkrit. Benda konkrit seperti buku, papan tulis, dan lain-lain, sedangkan non konkrit seperti nasehat, hukuman dan sebagainya
5. Faktor Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar anak didik baik berupa benda-benda, peristiwa-peristiwa yangterjadi maupun kondisi masyarakat terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada anak yaitu lingkungan dimana proses pendidikan berlangsung dan lingkungan dimana anak-anak bergaul sehari-harinya.
Beberapa ahli membagi lingkungan menjadi tida bagian yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga lingkungan ini merupakan satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan, hal ini karena ketiganya berpengaruh terhadap perkembangan anak didik menuju ke arah kedewasaan jasmani dan rohani.
Pengaruh lingkungan terhadap anak didik dapat positip dapat pula negatif. Positif apabila dapat memberikan dorongan terhadap keberhasilan proses pendidikan, sedangkan pengaruh negatif apabila lingkungan menghambat keberhasilan proses keberhasilan.

SEWA-MENYEWA

1. Pengertian Sewa Menyewa
Sewa menyewa berasal dari kata dasar sewa. Menurut kamus umum Bahasa Indonesia sewa adalah pemakaian (peminjaman) sesuatu dengan membayar uang. Dalam hukum Islam sewa menyewa diistilahkan dengan ijarah, menurut etimologi adalah nama bagi suatu upah atau bayar, sedang arti terminologinya suatu bentuk akad atas memanfaatan yang telah dimaklumi, disengaja, dan menerima penyerahan serta diperbolehkannya dengan penggantian yang jelas.
Menurut as-Sayyid Sabiq, secara bahasa al- ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwad (ganti) sedang arti terminologinya adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Menurut ulama Asy-Syafi’iyah ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah ijarah adalah menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.

2. Dasar Hukum Sewa
Al-Qur’an
… وان اردتم ان تسترضعوا اولادكم فلا جناح عليكم اذا سلمتم ما اتيتم با لمعروف بصير واتقوا الله واعلموا ان الله بما تعملون
Al-Hadis
عن ابن عباس قال احتجم االنبي ص.م. واعطى الذى حجمه ولوكان حراما لم يعطه

3. Rukun dan Sarat Ijarah
a. Rukun
Sewa menyewa menjadi sah jika dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya. Menurut as-Sayyid Sabiq ijarah menjadi sah dengan ijab qabul lafaz sewa dan yang berhubungan dengannya, serta lafaz atau ungkapan apa saja yang dapat nenunjukkan hal tersebut.
Adapun menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat yaitu :
1) ‘Aqid (orang yang berakad)
2) Sigat akad
3) Ujrah (upah)
4) Manfaat
b. Syarat ijarah
Menurut as-Sayyid Sabiq orang yang berakad disyaratkan berkemampuan, yaitu keduanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang belum dapat membedakan maka akad menjadi tidak sah. Sedangkan syarat sahnya yaitu:
1) kerelaan kedua pihak yang melakukan akad.
2) Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisihan.
3) Barang yang menjadi obyek transaksi akad dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, realita dan syara’.
4) Dapat diserahkannya sesuatu yang disewakan berikut kegunaanya (manfaatnya).
5) Bahwa manfaat adalah hal yang mubah bukan yang diharamkam.
Dalam Fiqh Muamalah karya Rachmat Syafe’i persyaratan ijarah terdiri dari empat macam yaitu syarat al-inqad terjadinya akad, syarat an-nafaz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
1) Syarat terjadinya akad berkaitan dengan aqid, zat akad dan tempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah aqid harus berakal dan mumayyiz. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli sedangkan balig adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya. Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang beraqad harus mukallaf, yaitu balig dan berakal, sedang anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli aqad .
2) Syarat pelaksanaan an-nafaz
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad.
3) Syarat sah ijarah
a) Adanya keridaan dari kedua pihak yang berakad
b) Ma’qud ‘alaih (barang) bermanfaat dengan jelas.
Kejelasan barang menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid, contohnya: menjelaskan manfaatnya ,pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang .
c) Ma’kud ‘alaih, barang harus dapat memenuhi secara syara’.
Tidak sah menyewa hewan untuk berbicara dengan anaknya, sebab hal itu mustahil.
d) Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’.
e) Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya .
Tidak sah menyewa orang untuk mengerjakan sholat fardhu, puasa, dan kewajiban lain .
f) Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
g) Manfaat barang sesuai dengan keadaan umum.
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaatnya .
4) Syarat lazim
Syarat kelaziman ijarah terdiri dari dua hal, yaitu barang sewaan terhindar dari cacat dan tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad .yaitu sesuatu yang dapat menyebabkan kemadaran bagi yang berakad.

4. Macam-Macam Sewa
a. Ijarah a’yan yaitu sewa menyewa dalam bentuk benda atau binatang, dimana pemilik benda tersebut menyewakan dengan mendapat imbalan dari penyewa.
b. Ijarah a’mal yaitu perikatan tentang pekerjaan atau buruh manusia dimana pihak penyewa memberikan upah kepada pihak yang menyewakan.

5. Berakhirnya Sewa Menyewa
Ijarah adalah akad lazim, yang salah satu pihak yang berakad tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali didapati hal yang mewajibkan fasakh. Ijarah tidak menjadi fasakh dengan matinya salah satu yang berakad sedangkan yang diakadkan selamat.
Ijarah menjadi fasakh (batal) dengan hal sebagai berikut:
a. Terjadi aib pada barang sewaan yang kejadiannya ditangan penyewa atau terlihat aib lama padanya.
b. Rusaknya barang yang disewakan.
c. Rusaknya barang yang diupahkan, seperti rusaknya baju yang diupahkan untuk dijahit.
d. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, atau selesainya pekerjaan, atau berakhirnya masa, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah fasakh.
e. Penganut mazhab Hanafi membolehkan menfasakh ijarah karena adanya uzur sekalipun dari salah satu pihak.

Daftar Pustaka

Al-Bukhari, Sahih al-Bukhar, Beirut: Dar al-Fikr,1981
As-Syafi’I, Syeh al-Imam al-‘Alim al-‘Amanah Syamsudin Abu Abdillah Muhammad Bin Qosim. Fathul Qarib. Terjemahan, Imron Abu Amar, Kudus: Menara Kudus, 1982.
As-Syarbini, Muhammad. Mugni al-Muhtaj. Mesir: Musthofa al-Babi al-Halabi wa awladuh, 1958.
Sabiq, as-Sayyid. Fiqh as-Sunnah Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Sudarsono. Pokok-pokok Hukum Islam. ttp. Rineka Cipta, tt.
Syafe’I, Rachmat. Fiqh Muamalah Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Hukum Islam
Kata “hukum” berasal dari bahasa Arab “al-Hukum” yang secara etimo logi berarti ketetapan, keputusan, penyelesaian suatu masalah. Kata hukum merupakan bentuk masdar dari kata “hakama-yakumu”, hakama artinya memutuskan, menyelesaikan masalah.
Dari akar kata al-hukum muncul kata al-hikmah yang berarti kebijaksanaan orang yang mengetahui hukum dan mengamalkannya dianggap sebagai orang yang bijaksana. Dari akar kata ini pula muncul al-hukumah yang berarti kendali. Hal ini mengingat bahwa hukum dapat mengendalkan dan mengekang terhadap seseorang dari hal-hal yang dilarang agama. Ibn Abbas mengartikan hikmah dengan fiqh dan syari’ah yang tiada lain adalah hukum Islam itu sendiri. Selama terminologis hukum Islam didefinisikan sebagai firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik yang berupa tuntutan maupun pilihan.

B. Sejarah Perkembangan Hukum Islam
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia di bagi menjadi dua periode yakni:
1. Periode Pra Kemerdekaan
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersama dengan masuknya Islam ke Indonesia pada abad 1 hujriah.
Hukumm barat baru diperkenalkan oleh VOC awal abad 17 hijriah. Sebelum hukum Islam masuk Indonesia rakyat Indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan sangat majemuk sifatnya ini, karena dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha yang sangat kuat pengaruhnya terhadap hukum adat rakyat Indonesia. Pada waktu VOC sebagai pedagang dan badan pemerintah, hukum Belanda mulai diperkenalkan kepada bangsa Indonesia. Badan peradilan dibentuk dengan maksud berlaku pula pada bangsa Indonesia, tetapi usaha VOC tidak berhasil.
Setelah VOC berakhir dan pemerintah kolonial Belanda benar-benar mengusai seluruh nusantara, hukum mengalami pergeseran secara berangsur-angsur kedudukan hukum Islam diperlemah. Pada masa Dandles (1808-1811) kedudukan hukum Islam belum mengalami pergeseran, bahkan Thomas Raffles (1811-1816) masih mengeukuhkan hukum Islam sebagai hukum rakyat Jawa. Tetapi setelah Inggris menyerahkan kembali kekuatan pemerintahan kepada Belanda, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang kebijakansanaan pemerintahan serta susunan pengadilan, maka hukum mengalami pergeseran yang pada akhirnya merugikan eksistensi hukum Islam.
2. Periode Kemerdekaan
Penampilan hukum Islam untuk pertaqma kalinya pada zaman kemerdekaan ialah dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dalam dasar ke-Tuhan-anak diikuti dengan pernyataan dengan kewajiban menjalankan syari’atau Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Tetapi dengan pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, yang rumusan sila pertamanya menjadi Ke-Tuhan-anak Yang Maha Esa. Namun mnurut penjelasan Muhammat Htta, perubahan rumusan tersebut tidak mengubah jiwa semula. Sejak diproklamirkan kemerdekaan NKRI, dengan pncasila sebagai dasar falsafahnya, hukum agama yang diyakini para penganutnya memperoleh legalitas secara konstional yuridis, atas dasar sila Ke-Tuhan-anak Yang Maha Esa, yang dijabarkan dalam UUD 1945 pasal 29. menurut Notonegoro dengan sila Ke-Tuhan-anak Yang Maha Esa, tata hukum Indonesia mengenal hukum Tuhan, hukum kodrat dan asusila.
Dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan, hukum Islam benar-benar telah memperoleh tempat yang wajar secara konstitusional yuridis. Diantaranya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, tentang peradilan agama yang memberikan nlandasan Peradilan Agama dan membuat kedudukannya sejajar dengan peradilan umum serta menetapkan aparatnya.
PERLINDUNGAN ANAK
MENURUT UU No. 23 TAHUN 2002

A. Pengertian Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Anak adalah amanat yang diberikan Allah kepada kedua orang tua untuk dijaga, dididik dan dilindungi. Perlindungan terhadap anak tidak hanya diberikan setelah ia lahir tapi bayi yang masih di dalam kandunganpun juga wajib dilindungi. Oleh karena itu, orang tua sebagai orang terdekat dari anak maka wajib melindungi bayi sampai ia dewasa nanti.
Pengertian anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tercantum dalam Pasal I butir I UU No. 23/2002 berbunyi: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:
Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin atau tidak.
Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi, UU No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.
Menurut Nur Hasyim yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan ibunya, yang merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, memiliki harkat, martabat serta hak-hak sebagai manusia yang harus dihormati. Anak merupakan tunas, potensi serta generasi penerus cita-cita bangsa. Anak yang merupakan potensi dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional, memerlukan pembinaan dan perlindungan.
Anak merupakan investasi unggul untuk melanjutkan kelestarian peradaban sebagai penerus bangsa, maka haruslah diperhatikan pendidikan dan hak-haknya. Orang tua memiliki tugas yang amat penting dalam menjaga dan memperhatikan hak-hak anak.
Jika hak anak terpenuhi, maka anak akan tumbuh dengan sempurna, sehat jasmani dan rohani sehingga dapat menjadi generasi penerus bangsa.


B. Perlindungan Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berprestasi secara optimal sesuai dengan harkat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Suatu Undang-Undang pasti mempunyai prinsip yaitu sesuatu yang dijadikan acuan, begitu juga dengan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Prinsip perlindungan anak menurut UU No.23/2002 tercantum dalam pasal 2 UU No. 23/2002 yang berbunyi: Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Jadi, prinsip-prinsip perlindungan anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengadopsi prinsip-prinsip dasar dari KHA (Konvensi Hak-Hak Anak) dan berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian tercantum dalam pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Telah disebutkan dalam undang-undang tersebut bahwa terdapat 4 prinsip perlindungan anak yaitu:
1. Non diskriminasi
Alinea pertama Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental Negara paserta (fundamental obligation of state parties) yang mengikatkan diri dengan Konvensi Hak Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.
Prinsip non diskriminasi ini diartikulasikan pada umumnya konvensi dan atau instrument internasional HAM, seperti Universal Declaration of Human Right, International Convenant on Civil and Political Right, and Convenant on Economic, Social and Cultural Right, Convention on Elimination of All Form Discrimination Againt Women (CEDAW).
Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan (distinction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other opinion), asal-usul social atau nasionalitas, kemiskinan (poverty), kelahiran atau status lain.
Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat dilihat dalam pasal I butir 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut:
“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, social, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
Dalam hal peradilan anak, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of juvenile justice yang dikenal dengan “Beijing Rules” juga memuat prinsip non diskriminasi dalam peradilan anak. Berdasarkan Peraturan Nomor 2 ayat I Beijing Rules disebutkan bahwa standar peraturan minimum diterapkan pada anak-anak pelanggar hukum (juvenile offenders) secara tidak memihak (impartially), tidak dengan pembedaan dalam segala bentuknya, misalnya ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, politik, dan pendapat lain, asal kebangsaan, atau kewarganegaraan, harta benda kekayaan (property), kelahiran, atau status lainnya.
Bahkan, dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2, dirumuskan secara eksplisit hak anak dari diskriminasi, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Dengan adanya prinsip ini, seorang anak akan terhindar dari perlakuan yang tidak adil dari orang lain karena dalam Undang-Undang tersebut setiap anak mempunyai hak sama.
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak
Yang dimaksud dengan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Jadi, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan bagi anak diusahakan harus sesuatu yang baik untuk kelangsungan hidup anak.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (The Best Interest of The Child) diadopsi dari Pasal 3 ayat I KHA, yang meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka. Tentunya menjamin bahwa prinsip The Best Interest of The Child menjadi pertimbangan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society).
Guna menjamin prinsip The Best Interest of The Child ini, dalam rumusan Pasal 3 ayat 2 KHA ditegaskan bahwa Negara peserta menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil peran untuk memungkinkan orang tua bertanggungjawab terhadap anaknya, demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya.
Pasal 3 ayat 3 KHA menyebutkan negara mesti menjamin institusi-institusi, pelayanan, dan fasilitas yang diberikan tanggung jawab untuk kepedulian pada anak atau perlindungan anak yang sesuai dengan standar yang dibangun oleh lembaga yang berkompeten. Negara mesti membuat standar pelayanan sosial anak, dan memastikan bahwa semua intitusi yang bertanggung jawab mematuhi standar dimaksud dengan mengadakan monitoring atas pelaksanaannya.
Sejalan dengan Pasal 3 ayat I KHA yang diulas dimuka, dalam Beijing Rules juga dikandung prinsip The Best Interest of The Child. Menurut Beijing Rules, negara anggota (state member) berusaha mendorong kesejahteraan anak beserta keluarganya (vide Peraturan I ayat I), dan menentukan bahwa sistem peradilan anak harus menekankan kesejahteraan anak (vide Peraturan 5 ayat I), dan prosedur peradilan yang kondusif terhadap kepentingan terbaik anak (the best interest of the juvenile) (vide Peraturan 14 ayat 2), serta kesejahteraan anak harus menjadi faktor penentu arah dalam memberikan pertimbangan dalam kasus anak (vide Peraturan 17 ayat I, d).
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.
Yang dimaksud dengan prinsip untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
Prinsip ini merupakan implementasi dari pasal 6 KHA, yang kemudian secara eksplisit dianut sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 23/2002. Selanjutnya, prinsip ini dituangkan dalam norma hukum Pasal 4 UU No. 23/2002. Jika dibandingkan, norma hukum Pasal 4 UU No. 23/2002 mengacu dan bersumber kepada Pasal 28 B ayat I dan ayat 2 UUD 1945.
Sementara itu, ketentuan perundang-undangan lainnya seperti UU No. 39/1999 juga mengatur hak hidup ini yang merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9 UU No. 39/1999. Hak hidup ini, dalam wacana instrument/konvensi internasional merupakan hak asasi yang paling universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right).
Sebelum disahkannya KHA, beberapa instrument/konvensi internasional juga sudah menjamin hak hidup sebagai hak dasar seperti Universal Declaration of Human Right (pasal 2), International Covenant on Civil and Political Right- ICCPR (pasal 6).
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Yang dimaksud dengan prinsip penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Prinsip ini merupakan wujud dari hak partisipasi anak yang diserap dari Pasal 12 KHA. Mengacu kepada Pasal 12 ayat I KHA, diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas (capable of forming his or her own views the rights to express those views freely). Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan anak.
Sejalan dengan itu, Negara peserta wajib menjamin bahwa anak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya pada setiap proses peradilan ataupun administrasi yang mempengaruhi hak anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Jadi, setiap anak berhak mengemukakan pendapatnya jika hak-haknya tidak terpenuhi baik secara lisan maupun tulisan.

C. Hak Dan Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
1. Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan /atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerassan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya.
2. Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Kewajiban berasal dari kata dasar “wajib” yang artinya harus melakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Mendapat awalan ke- dan akhiran -an, menjadi kewajiban yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 adalah:
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

D. Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya. Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kewajiban orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang berbunyi:
(1) Orang tua berkewajiban dan berytanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PIDANA ANAK-ANAK DALAM HUKUM DAN PIDANA POSITIF

A. Beberapa Kriteria Anak dan Hukuman
1. Pengertian Anak
Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. Pengertian tersebut juga terdapat dalam Pasal 45 KUHP disebutkan bahwa ”Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan, supaya si tersalah supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah itu.” Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana adalah seseorang sebelum umur enam belas tahun. Namun dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa” Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (Delapan belas) tahun dan belum pernah kawin dan dikenal dengan sebutan anak nakal. Sebagaimana kutipan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) berbunyi:
1. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Anak nakal adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dengan diundangkannya Undang-undang ini, maka Pasal 45 KUHP tidak berlaku lagi. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 67 Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang berbunyi ”pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.”
Batasan umur untuk anak sebagai korban pidana diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak dirumuskan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang berhak mendapat perlindungan hukum tidak memiliki batasan minimal umur. Dari sejak masih dalam kandungan, ia berhak mendapatkan perlindungan.
Dalam Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang disebut Anak adalah:”seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”
Sedangkan dalam hukum perdata dijelaskan dalam Pasal 370 Bab Kelima Belas Bagian kesatu tentang Kebelumdewasaan Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi lengkap pasalnya adalah sebagai berikut: ”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin”. Jadi anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Seandainya seorang anak telah menikah sebelum 21 tahun kemudian ia bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum ia genap 21 tahun, maka ia tetap dianggap sebagai orang yang telah dewasa bukan anak-anak. pengertian anak menurut ketentuan Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mempunyai dua syarat, yaitu :
a. Orang atau anak itu ketika dituntut haruslah belum dewasa, yang dimaksud belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. Jika seorang kawin dan bercerai sebelum berumur 21 tahun, maka ia dianggap sudah dewasa.
b. Tuntutan itu mengenai perbuatan pidana pada waktu ia belum berumur 16 tahun.
Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Mengetahui batasan umur anak-anak, terjadi keberagaman diberbagai negara yang mengatur tentang usia anak yang dapat dihukum. Di negara Swiss batas usia anak yang dapat dihukum bila telah mencapai usia 6 tahun, di Jerman 14 tahun sehingga dikenal dengan istilah ist muchtstraf bar atau can be guilty of any affence yang berarti di atas umur tersebut relatif dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya seperti orang dewasa yang mendapat putusan berupa tindakan maupun pidana yang bersifat khusus.
Bismar Siregar, dalam bukunya menyatakan bahwa dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis diterapkan batasan umur yaitu 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi termasuk atau tergolong anak tetapi sudah dewasa.
Membicarakan sampai batas usia berapa seseorang dapat dikatakan tergolong anak, ternyata banyak Undang-undang yang tidak seragam batasannya, karena dilatarbelakangi dari maksud dan tujuan masing-masing Undang-undang itu sendiri. Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang disebut anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir 2). Kemudian dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa membatasi usia anak di bawah kekuasaan orang tua dan di bawah perwalian sebelum mencapai umur 18 tahun (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1)). Dalam Undang-undang Pemilihan Umum yang dikatakan anak adalah belum mencapai umur 17 tahun (Pasal 9 ayat (1)). Sedangkan dalam Undang-undang Peradilan Anak ditentukan batas minimal dan maksimal usia anak nakal yaitu sekurang-kurangnya 8 tahun dan maksimal umur 21 tahun serta belum pernah kawin (Pasal 1 ayat (1) dan (2)).
Tentang pengertian anak, selain menurut batasan umur, anak digolongkan berdasarkan hubungan dengan orang tua yaitu:
1. Anak kandung adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat ikatan perkawinan yang sah.
2. Anak tiri adalah anak yang bukan terlahir dari kedua orang tua yang sama misalnya si istri tergolong janda dan ia membawa anak dari suami pertama, atau sebaliknya si pria adalah duda yang membawa anak dari istri pertama. Kedudukan anak seperti demikian pada umumnya tidak sama di mata kedua orang tua, baik dalam curahan kasih sayang maupun dalam berbagi harta warisan dikemudian hari.
3. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkanadari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 9 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang secara wajar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2. Pengertian Hukuman
Berbicara tentang hukum maka hukum terbagi menjadi yaitu hukum privat dan hukum publik yang mana hukum pidana termasuk di dalam hukum publik. Hal ini berlaku dewasa ini. Dahulu di Eropa yang juga di Indonesia, tidaklah dipisah-pisahkan antara kedua hukum itu, sehingga gugatan baik yang termasuk di dalam hukum publik sekarang ini maupun yang termasuk hukum privat dijatuhkan oleh pihak-pihak yang dirugikan.
Istilah hukuman ini berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang merupakan umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Yang dimaksud dengan pidana (hukuman) ialah, perasaan tidak enak (penderitaan sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan fonis pada orang yang melanggar undang-undang hukum pidana. Dalam hal yang demikian digunakan istilah hukuman dalam arti sempit yaitu hukuman dalam perkara pidana dan bukan dalam perkara-perkara lain seperti hukuman yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara perdata dan juga bukan hukuman terhadap pelanggar di luar Undang-undang.
Sebagai gambaran pengertian hukuman, perlulah kiranya diperhatikan definisi-definisi yang dipaparkan oleh para ahli maupun sarjana hukum, yang di antaranya selain menjelaskan tentang hukuman juga menjelaskan perbedaannya dengan pengertian pidana dan yang berhubungan dengannya.
Penghukuman sering kali sinonim dengan pemidanaan yang mana hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Sudarto, yaitu :
Penghukuman berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman di sini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.

Dari pandangan Sudarto tersebut bahwa penghukuman merupakan sinonim dari pemidanaan maka, juga berdasarkan atas uraian dalam kamus bahasa Indonesia, disini digunakan istilah hukuman dalam arti yang khusus yaitu penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang melanggar undang-undang, yang dijatuhkan oleh hakim. Hal ini disebabkan tidak adanya atau belum ada kesepakatan terhadap masalah hukuman ini, yang mana sering ditemukan kata-kata hukuman 10 tahun penjara dan kadang didapati kata-kata dipidana 10 tahun penjara, juga tidak bisa dikatakan bahwa tidak ada sarjana yang tidak membedakan arti dari hukuman dengan pidana.
Sedangkan menurut Andi Hamzah, bahwa hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau penderitaan atau suatu nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang.
Lebih jauh lagi penuturan Tirtaamidjaja, bahwa hukuman adalah suatu penderitaan, yang dikenakan oleh hakim kepada si terhukum karena melanggar suatu norma hukum. Dan bahwa hukuman sebagai sanksi dari suatu norma hukum tertentu adalah tanda dari hukum pidana itu, yang membedakannya dari bagian-bagian hukum yang lain.
Hukuman adalah siksa dan sebagainya yang diletakkan pada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya; keputusan yang dijatuhkan hakim.
Demikianlah pendapat para sarjana dan para ahli hukum positif memberikan pendapatnya mengenai pengertian dari hukum itu, yang meskipun didapati dari berbagai pandangan itu berbeda satu sama lain, namun pada dasarnya sama dalam hal pemberian suatu derita dari hukum pidana.
Adapun yang dimaksud dengan hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum, yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu, meliputi: sidang pengadilan anak, Anak sebagai pelaku tindak pidana, Anak sebagai korban tindak pidana, Kesejahteraan Anak, Hak-hak Anak, Pengangkatan Anak, Anak Terlantar, Kedudukan Anak, Perwalian, Anak Nakal, dan lain sebagainya.

B. Perbuatan Anak yang Dianggap sebagai Suatu Pelanggaran
Secara umum, perbuatan-perbuatan anak yang secara yuridis dikategorikan melawan hukum dapat diidentifikasi dari rumusan pengertian tentang kenakalan anak.
Ada beberapa pasal yang menggariskan tentang kenakalan anak ahli hukum dan mantan Hakim Agung Republik Indonesia 1968, Sri Widoyati Lokito, memberikan definisi kenakalan remaja dengan semua perbuatan yang dirumuskan dalam perundang-undangan dan perbuatan lainnya yang pada hakekatnya merugikan masyarakat yang harus dirumuskan secara terperinci dalam undang-undang Peradilan Anak.
Dalam Undang-undang Peradilan Anak Pasal 1 ayat (2) menggunakan istilah anak nakal, sedang pengertian anak adalah anak yang melakukan tindak pidana atas anak yang menurut peraturan baik perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain menyimpang dari aturan yang ditetapkan dan peraturan tersebut hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pemaparan tersebut melahirkan kesimpulan bahwa unsur dari perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah:
a. Perbuatan dilakukan oleh anak-anak
b. Perbuatan itu melanggar aturan atau norma
c. Perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.
Ketiga unsur di atas harus dipenuhi untuk dapat diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak.
Bentuk-bentuk kenakalan anak yang didasarkan pada berbagai pengertian tentang kenakalan anak yang dikemukakan oleh para pakar, misalnya oleh Moedikdo, setidaknya terdapat tiga kategori perbuatan yang masuk dalam klasifikasi kenakalan anak atau Juvenile Delinquency, yaitu sebagaimana dikutip B. Simanjuntak:
1. Semua perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa sementara perbuatan itu menurut ketentuan hukum normatif adalah perbuatan pidana, seperti mencuri, menganiaya dan lain sebagainya.
2. Semua perbuatan atau perilaku yang menyimpang dari norma tertentu atau kelompok tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dalam masyarakat.
3. Semua aktifitas yang pada dasarnya membutuhkan perlindungan sosial, semisal gelandangan, mengemis dan lain sebagainya.
Lebih jelas lagi, bentuk-bentuk kenakalan anak dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan diri sendiri serta orang lain.
2. Perilaku ugal-ugalan yang mengacaukan ketenteraman masyarakat sekitar.
3. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku, dan kadang-kadang membawa korban jiwa.
4. Membolos sekolah lalu bergelandang di sepanjang jalan.
5. Kriminalitas seperti; mengancam, memeras, mencuri, mencopet, membunuh dan lain sebagainya.
6. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan.
7. Pemerkosaan, agresifitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual.
8. kecanduan bahan-bahan narkotika.
9. Tindakan-tindakan imoral, seksual secara terang-terangan dan kasar
10. Homo seksualitas, erotisme, anal dan oral.
11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan
12. Komersialisasi seks, pengguguran janin dan pembunuhan bayi
13. Tindakan radikal dan ekstrim.
14. Perbuatan asosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan
15. Tindakan kejahatan disebabkan karena penyakit tidur atau karena luka pada otak.
16. Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan karena organ-organ yang inferior.
Sementara bila ditinjau dari sudut pandang normatif, yaitu berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana positif, maka bentuk-bentuk kenakalan anak dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Kejahatan-kejahatan kekerasan berupa pembunuhan dan penganiayaan.
2. Pencurian, berupa pencurian biasa dan pencurian penggelapan.
3. Penggelapan.
4. Penipuan.
5. Perampasan.
6. Gelandangan.
7. Anak sipil.
8. Penyalahgunaan obat terlarang (narkoba)
Keseluruhan bentuk kenakalan anak baik yang diklasifikasikan berdasarkan definisi maupun berdasarkan rujukan normatif (ketentuan hukum pidana) tersebut selanjutnya dapat dibagi dalam 4 jenis, yaitu:
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan sebagainya.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian, pencopetan dan sebagainya.
3. Kenkalan sosial yang tidak menimbulkan korban pihak orang lain, seperti pelacuran dan penyalahgunaan obat terlarang (narkoba)
4. Kenakalan yang melawan status, seperti mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau tidak taat atau membantah perintah dan sebagainya.

C. Ketentuan Pemidanaan
Menurut Sri Widoyati Lokito, banyak yang mempengaruhi pemidanaan yang terdapat dalam Undang-undang, yaitu:
a. Hal-hal yang memberatkan pemidanaan
Hal-hal yang memberatkan pemidanaan dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu:
1) Kedudukan sebagai pejabat
Menurut Pasal 52 KUHP, apabila seorang pejabat karena melakukan tindak pidana dari jabatannya, maka kesempatan atau sarana yang diberikan padanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiganya . misalnya seorang agen polisi diperintah untuk menjaga uang Bank Negara Indonesia, jangan sampai dicuri orang tetapi ia sendiri yang melakukan pencurian atas uang itu, di sini dia melanggar kewajiban yang istimewa dalam jabatannya, maka pidananya dapat ditambah sepertiganya.
2) Pengulangan tindak pidana (Recidive)
Barangsiapa yang melakukan tindak pidana dan dikenakan pidana, kemudian dalam waktu tertentu diketahui melakukan tindak pidana lagi, dapat dikatakan pelakunya mempunyai watak yang buruk. Oleh karena itu, undang-undang memberikan kelonggaran kepada hakim untuk mengenakan pidana yang lebih berat. Menurut hukum pidana modern, recidive itu dibedakan menjadi dua, yaitu : recidive kebetulan atau pelaku kejahatan yang mengulangi kejahatannya karena terpaksa seperti karena tuntutan ekonomi dan ada istilah recidive biasa yaitu pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya karena merupakan suatu kebiasaan recidive biasa inilah yang harus diperberat pemidanaannya.
b. Hal-hal yang meringankan pemidanaan
1) Percobaan (poging)
Dalam Pasal 53 KUHP terdapat unsur-unsur dari delik percobaan, yaitu:
a. Harus ada niat
b. Harus ada permulaan pelaksanaan
c. Pelaksanaan itu tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak sendiri
d. Ancaman pidana itu hanya ditujukan terhadap percobaan kejahatan, sedangkan untuk percobaan pelanggaran tidak bisa dikenakan pidana.
2) Pembantuan (medepllichtige)
Menurut Pasal 56 KUHP, barangsiapa yang sengaja membantu melakukan kejahatan dan memberi kesempatan dengan upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan dalam hal pembantuan maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga. Dan bila diancam dengan penjara seumur hidup, maka maksimum hukumannya 15 tahun.
3) Belum cukup umur (Minderjarig)
Belum cukup umur (minderjarig) merupakan hal yang meringankan pemidanaan karena usia yang masih muda belia itu kemungkinan sangat besar dapat memperbaiki kelakuannya dan diharapkan kelak bisa menjadi warga yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa.
Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana timbul pertanyaan, apakah setiap anak yang bersalah melakukan suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan? pada mulanya, sistem pertanggungjawaban bagi anak-anak didasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab, sistem yang mendasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab dan batas usia tertentu bagi seseorang anak, tidak dianut lagi dalam hukum pidana di Indonesia dewasa ini. Namun yang dianut sekarang adalah sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua anak asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggung jawab dan dapat dituntut.
Bagi anak yang mampu bertanggung jawab masih tetap dimungkinkan untuk tidak dipidana, terutama bagi anak yang masih sangat muda. Namun tidak harus diartikan bahwa Undang-undang masih membedakan antara yang mampu dan tidak mampu bertanggung jawab.
Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Dengan menyimak Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal.

1. Pidana Pokok
Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu:
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda, atau
d. Pidana pengawasan.
2. Pidana Tambahan
Pidana tambahan terdiri dari:
a. Perampasan barang-barang tertentu
b. Pembayaran ganti rugi.
3. Tindakan
Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah:
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja,
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Selain tindakan tersebut, hakim dapat memberi teguran dan menetapkan syarat tambahan. Penjatuhan tindakan oleh hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain.
Dalam segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur di atas 12 (dua belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal itu mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
Sedang rumusan pengenaan tindakan terhadap anak menurut Pasal 132 rancangan KUHP adalah:
1. Pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya,
2. Penyerahan kepada pemerintah atau seseorang,
3. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau suatu badan swasta,
4. Pencabutan surat izin mengemudi,
5. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
6. Perbaikan akibat tindak pidana,
7. Rehabilitasi dan atau
8. Perawatan di dalam suatu lembaga.
4. Pidana Penjara
Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya ½ (satu perdua) dari ancaman pidana orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun. Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup. Dan sebagai gantinya adalah dijatuhkan salah satu tindakan.
5. Pidana Kurungan
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal maksimal setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi dewasa. Mengenai apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa, adalah maksimum ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau Undang-undang lainnya (penjelasan Pasal 27).
6. Pidana Denda
Seperti pidana penjara dan pidana kurungan maka penjatuhan pidana denda juga dijatuhkan setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Bila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan latihan kerja selama 90 hari dengan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak boleh dilakukan di malam hari. Tentunya hal demikian mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak serta perlindungan anak.
7. Pidana Bersyarat
Garis besar ketentuan pidana bersyarat bagi anak nakal sesuai dengan rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah:
1. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, sedangkan jangka waktu masa pidana bersyarat adalah paling lama 3 (tiga) tahun.
2. Dalam putusan pidana bersyarat diberlakukan ketentuan berikut.
a. Syarat umum, yaitu anak nakal tersebut tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.
b. Syarat khusus, yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
3. Pengawasan dan bimbingan
a. Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan pengawasan dan bimbingan kemasyarakatan melakukan bimbingan agar anak nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.
b. Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh balai pemasyarakatan berstatus sebagai klien pemasyarakatan.
c. Selama anak nakal berstaus sebagai klien pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah.
8. Pidana Pengawasan
Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
Anak nakal yang diputus oleh hakim untuk diserahkan kepada negara di tempatkan di lembaga pemasyarakatan anak sebagai anak negara, dengan maksud untuk menyelamatkan masa depan anak atau bila anak menghendaki anak dapat diserahkan kepada orang tua asuh yang memenuhi syarat.


Daftar Pustaka

Aji, S. Sapto. UU RI. No. 1 Tahun 1995 tentang Pemilihan Umum. cet. ke-3, Semarang: Aneka Ilmu, 1986.
B. Simanjuntak. Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Alumni, 1973.
Bambang Purnomo. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, Indonesia, 1982.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali, 1992.
Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan. Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.
R. Sugandhi. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, t. t.
Redaksi Bumi Aksara. Undang-undang Pokok Perkawinan. cet. ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Redaksi Citra Umbara. Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bandung: Citra Umbara, 2003.
Redaksi Sinar Grafika. Undang-undang Peradilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Redaksi Sinar Grafika. UU Kesejahteraan Anak. Jakarta: Sinar Grafika, 1997.
Siregar, Bismar. Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali, 1986.
Siregar, Bismar. Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986.
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. cet. ke-2, Bandung: Penerbit Alumni, 1986.
Suparni, Niniek. Existensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan cet. ke-1, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fusco, 1955.
Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

PELANGGARAN PIDANA ANAK-ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kriteria Anak dan Hukuman
1. Pengertian Anak
Pengertian anak dari segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab terdapat berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat perbedaan yang positif di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya sama artinya. Umpamanya “walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh manusia dan binatang yang bersangkutan.
Idealnya dunia anak adalah dunia istimewa tidak ada kekhawatiran dan tidak ada beban yang harus dipikul pada masa itu. Namun terkadang anak harus menanggung beban seperti orang dewasa karena dianggapnya sebagai miniatur orang dewasa terlebih lagi tidak diperlukan karakteristik dan ciri khasnya mereka yang juga punya keinginan, harapan dan dunia mereka sendiri.
Pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-beda dan penulis hanya memaparkan pengertian anak dari segi hukum Islam maupun hukum positif. Hukum Islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan belum balligh, sedang menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap balligh apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun. Kata balligh berasal dari fiil madi balagha, yablughu, bulughan yang berarti sampai, menyampaikan, mendapat, balligh, masak.
Pendapat para ahli fiqh mengenai kedudukan anak berbeda-beda menurut masa yang dilaluinya, yaitu:
1. Masa tidak adanya kemampuan berpikir. Masa ini dimulai sejak lahir sampai usia 7 tahun, perbuatan pidana yang dilakukannya tidak dikenai hukuman.
2. Masa kemampuan berpikir lemah. Masa ini dimulai sejak anak berusia 7 tahun sampai usia 15 tahun. Pada masa tersebut mereka dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya hukuman namun tetap dianggap sebagai hukuman mendidik bukan hukuman pidana.
3. Masa kemampuan berpikir penuh. Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia kecerdasan yang pada umumnya telah mencapai usia 15 tahun atau 18 tahun. Pada masa ini telah dikenakan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Adapun menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan batas anak adalah apabila ia telah bermimpi dengan kata lain sudah balligh. Salah satu tanda balligh itu adalah telah sampai umur 15 tahun seperti riwayat dari Ibnu Umar.
عر ضت على النبى ص.م. يوم احد واناابن اربع عشرة سنة فلم يجزنى وعرضت عليه يوم الخند ق واناابن خمس عشرة سنة فاجازن.
Menurut Abdul Qadir Audah anak di bawah umur dapat ditentukan bahwa laki-laki itu belum keluar sperma dan bagi perempuan belum haid, ikhtilam dan belum pernah hamil. Menurut jumhur fuqaha berpendapat bahwa kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama yakni tentang kedewasaannya yaitu keluarnya sperma dan telah haid serta terlihatnya kecerdasan. Dari dasar ayat al-Qur’an dan Hadiş serta dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa kedewasaan menurut islam adalah dengan ikhtilam namun terjadi perselisihan mengenai batas umurnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan iklim, suhu, temperamen, dan tabiat seseorang serta lingkungan sekitarnya.
Adapun yang menjadi dasar tidak cakapnya seorang anak adalah disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
وابتلوااليتامى حتى اذابلغواالنكاح.فان انستم منهم رشدا فادفعوااليهم اموالهم.
Tersebut sebagai berikut حتى اذا بلغوا النكاحPara ahli tafsir menafsirkan lafaz
قال مجاهد يعنى الحلم: قال جمهورمن العلماء البلوغ فىالغلام تارة يكون بلحلوم وهوان يرى فى منامه ماينزل به الما الدافق الذى يكون منه الولد
Sedangkan dalam tafsir Ruh al-Bayan, lafaz حتى اذا بلغوا النكاحhanya ditafsirkan apabila mereka telah sampai umur balligh atau dewasa ditandai dengan mimpi basah yang menyiapkan mereka untuk kawin dan selanjutnya disebut baligh.
Kemudian kapan seorang anak dapat dikatakan telah mencapai dewasa? Untuk menjawab hal ini dapat dilihat dari pendapat Imam Syafi’i, sebagaimana yang telah dikutip oleh Chairuman dan Suhrawardi dalam bukunya hukum perjanjian dan hukun Islam. Imam Syafi’i mengungkapkan apabila telah sempurna umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, kecuali bagi laki-laki yang sudah ikhtilam atau perempuan yang sudah haid sebelum mencapai umur 15 tahun maka sudah dianggap dewasa.
Seorang anak laki-laki yang mimpi bersetubuh sehingga mengeluarkan air mani walaupun belum berumur 15 tahun sudah dianggap dewasa adalah disebabkan ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an:
واذابلغ الاطفال منكم الحلم فليستأذنواكمااستأذن الذين منقبلهم.
Seperti halnya dalam hukum jual beli oleh anak yang belum dewasa menurut ulama-ulama Islam adalah berbeda-beda. Tetapi sebagian besar ulama berpendapat bahwa jual beli yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa boleh, asalkan ada izin dari wali dan anak tersebut sudah mumayiz (bisa membedakan antara baik dan buruknya sesuatu).
Pada tingkatan pertama, kesepakatan ulama menyatakan bahwa tidak adanya kemampuan menggunakan alam pikirannya, bermula dari anak itu dilahirkan sampai ia berumur 7 tahun.
Dalam tingkatan kedua, kemampuan untuk menggunakan pikirannya akan tetapi masih lemah karena kondisis jiwa yang masih labil. Tingkatan ini bermula dari umur 7 tahun sampai anak tersebut baligh.
Sedangkan untuk tingkatan ketiga, kemampuan dalam mempergunakan alam pikiranya secara sempurna dimulai dari balighnya seorang anak yaitu setelah berumur 15 tahun ( pendapat keumuman ulama fiqih) atau setelah berumur 18 tahun (pendapat Abu Hanifah dan Mashur Malik)
Al-Qur’an memandang tentang anak secara global dapat diformulasikan dengan prinsip: “anak tidak menjadi sebab kesulitan dan kesengsaraan orang tua dan orang tua tidak menjadi penyebab kesulitan dan kesengsaraan anak-anaknya. Sebagaimana firman Allah swt:
...لا تضاروالدة بولدها ولا مولدله بولده.
Ayat di atas dapat dimengerti bahwa antara anak dan orang tua mempunyai hubungan timbal balik saling menguntungkan. Mafhumnya adalah orang tua harus memelihara anak- anaknya dengan baik agar anak dapat tumbuh dan hidup serta tumbuh dengan wajar. Jika anak dapat tumbuh secara wajar baik fisik,jasmani maupun rohaninya niscaya akan menjadi anak baik dan tidak akan menyengsarakan malahan dapat mendo’akan kedua orang tuanya agar selamat dan bahagia di dunia maupun akhirat.
Al-Qur’an secara jelas memberikan gambaran-gambaran tentang keberadaan anak dalam kehidupan, diantaranya:
1. Anak sebagai penyejuk hati, firman Allah SWT:
والذين يقولون ربناهبلنا من ازوجنا وذرياتناقرةاعين واجعلنا للمتقين اماما
2. Anak sebagai perhiasan hidup di dunia,firman Allah SWT:
المال والبنون زينة الحيوة الدنيا....
Ada sebuah riwayat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Ţalib:
المال والبنون حرث الدنيا. والعمل الصالح حرث الاخرة وقد جمعهاالله لا قوام
3. Anak sebagai kabar gembira
يازكرياانانبشرك بغلام اسمه يحى لم نجعل له من قبل سميا.
4. Anak sebagai cobaan
انمااموالكم واولادكم فتنة والله عنده اجرعظيم.
واعلمواانمااموالكم واولا دكم فتنة وان الله عنده اجرعظيم.
Al-Fitnah yaitu cobaan dan ujian, yakni sesuatu yang berat hati untuk melakukan, meninggalkan, menerima, atau menolaknya. Fitnah bisa terjadi pada keyakinan, perkataan, perbuatan dan apa saja. Akan halnya dengan anak-anak memang cinta kita terhadap mereka adalah termasuk hal yang telah Allah SWT titipkan dalam fitrah kita. Oleh karena itu, cinta terhadap anak-anak dapat membawa orang tuanya bersedia untuk mengeluarkan segala yang ada demi anak.
Menurut suatu riwayat dari Abu Said al-Khudri yang diriwayatkan secara marfu’ dari Nabi saw:
المولد ثمرة القلب وانه مجبنة مبخلة محزنة.
Anak itu buah hati, dan sesungguhnya dia adalah penyebab kekecutan hati, kekikiran, dan kesedihan.
Jadi, fitnah yang ditimbulkan oleh anak adalah lebih besar dari pada yang ditimbulkan oleh harta, sehingga orang mau saja mencari harta haram dan mengambil harta orang lain secara batil demi anak.
Maka wajib bagi setiap mukmin untuk memelihara diri dari kedua macam fitnah tersebut. Dari keterulangan dua ayat di atas, menggambarkan betapa pentingnya anak sebagai cobaan dan memerlukan perhatian yang cukup. Sehinga tidak menutup kemungkinan jiwa anak dapat menjadi musuh bagi orang tuanya karena kurangnya pendidikan dari orang tua terutama pendidikan dalam lingkungan keluarga. Firman Allah SWT:
ياايها الذين امنواان من ازواجكم واولادكم عدوالكم فاحذروهم وان تعفوا وتصفحوا وتغفروا فان الله غفوررحيم.
Karena kerap kali terjadi bahwa seseorang berbuat salah terhadap orang lain demi kepentingan isteri atau anak-anaknya, jadi dalam suatu hal, isteri atau anak dapat menjadi musuh. Hendaklah diingat bahwa disini digunakan kata Mim yang artinya hanya kadang-kadang saja seseorang terjerumus dalam jalan kejahatan.
Dari ayat ini dapat ditafsirkan bahwa gara-gara istri dan anaknya, seorang suami akan menjadi binasa, karena keduanya selalu mencela dan mengejeknya, karena kemiskinannya, sehingga ia melaksanakan perbuatan yang jahat (untuk menghilangkannya), hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw:
يأتي زمان على امتي يكون فيه هلاك الرجل على يدزوجته وولده يعيرانه بالفقرفيركب مراكب السؤفيهلك.
Al-Qur’an menempatkan anak pada posisi yang sangat penting ini terbukti bahwa ada sebuah ayat yang mengetengahkan anak dengan statemen sumpah, yaitu :
ووالدوماولد.
Allah swt. tidak menggunakan statemen sumpah kecuali untuk hal-hal yang penting dan harus mendapat perhatian. Secara konseptual al-Qur’an menyikapi anak sebagai sosok yang penting dan harus mendapat perhatian yang serius.
2. Pengertian Hukuman
Dalam suatu peraturan hukum pidana baik yang memuat larangan melakukan maupun perintah untuk melakukan sudah semestinya disertai dengan adanya sanksi atau hukuman supaya bentuk larangan maupun perintah itu diakui oleh segenap anggota masyarakat yang bersangkutan. Kemudian bagaimana cara menghukum pelanggar aturan itu tentunya memerlukan aturan lebih lanjut yang merupakan bagian dari suatu sistem hukuman.
Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam disebut ‘īqāb (bentuk singularnya sedangkan bentuk pluralnya adalah ‘uqūbah) yang memiliki arti siksaan atau balasan terhadap kejahatan.
Abd. al-Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Sedangkan menurut Abu Zahrah, hukuman merupakan siksaan bagi si pelaku kejahatan sebagai balasan baginya dan hukuman itu merupakan suatu ketetapan syara’ di dalam menghilangkan mafsadah, dan menghilangkan mafsadah itu sendiri merupakan kemaslahatan.
Senada dengan yang dikemukakan oleh Abd. al-Qadir Audah tersebut, Ahmad Fathi Bahansi mengemukakan tentang hukuman adalah bahwa hukuman juga merupakan bagian ketetapan dari syar’i sebagai upaya pencegahan terhadap dilakukannya pelanggaran-pelanggaran baik yang berupa melakukan perbuatan yang dilarang maupun melakukan suatu perintah dari syar’i itu, yang dengan upaya pencegahan itu seorang pelaku jarimah tidak lagi melakukan pelanggaran itu atau perbuatan-perbuatan yang pada intinya melanggar aturan. Dalam hal ini hukuman itu lebih bersifat prevensi (pencegahan) khusus yaitu bagi pelaku jarĩmah. Berbeda dengan pemaparan Abd. al-Qadir Audah yang lebih bersifat prevensi umum atau dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa hukuman merupakan balasan atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban dari perbuatannya, dan ditetapkannya hukuman bertujuan untuk kemaslahatan bersama.
Esensi dari hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar-rad ‘u wa al-zajru), dan kedua adalah perbaikan dan pengajaran (al-islah wa at-tahzib). Dengan tujuan tersebut, pelaku jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

B. Perbuatan Anak-anak yang Dianggap Sebagai suatu Pelanggaran
Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan ta’zir.
a. Jarimah Hudud
Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis ancaman dan hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).
Para ulama sepakat bahwa yang termasuk kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu: zina, qazf (menuduh zina), pencurian, perampokan atau penyamunan (hirabah), pemberontakan(al-baghy), minum-minuman keras, dan riddah (murtad).
b. Jarimah Qisas Diyat
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas dan diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah qisas diyat:
1. pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd)
2. pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-amd)
3. pembunuhan keliru (al-qatl khata’)
4. penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd)
5. penganiayaan salah (al-jarh khata’)
c. Jarimah Ta’zir
Yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir yaitu hukuman yang selain had dan qisas diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah ta’zir seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, mengingkari janji, menghianati amanat, dan menghina agama.

C. Ketentuan Pemidanaan
Hukuman atas tindakan pidana dibagi dalam empat kelompok yaitu:
1. Hukuman fisik yang meliputi hukuman mati, potong tangan, cambuk, rajam sampai mati,
2. Membatasi kebebasan yang meliputi hukuman penjara atau mengirim si terhukum ke pengasingan.
3. Membayar denda.
4. Peringatan yang diberikan hakim
Adapun secara rinci suatu hukuman yang diterapkan terhadap pelaku jarimah dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan pertalian satu hukuman dengan hukuman lainnya. Poin ada empat tipologi, yaitu:
a. Hukuman Pokok ( al-‘uqũbah al-asliyah), yaitu hukuman yang telah ditetapkan dan merupakan hokum asal daari suatu jarimah seperti hukuman qişaş dalam pembunuhan, rajam, perzinahan dan potong tangan dalam pencurian.
b. Hukuman Pengganti (al-‘uqũbah al-badaliyah), yaitu hukuman yang mengganti hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena alasan syar’i seperti denda dalam hukuman qişaş dan ta’zir sebagai pengganti hukuman had dan qişaş.
c. Hukuman Tambahan (al-‘uqũbah al-taba’iyah), yaitu yang mengikuti hukuman pokok tanpa mengikuti keputusan secara tersendiri. Seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga dan itu merupakan tambahan dari hukuman qişaş.
d. Hukuman Pelengkap (al-‘uqũbat al-takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim.
2. Berdasarkan kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas. Artinya hukuman itu tidak ada batas tertinggi dan terendahnya. Seperti hukuman had dengan 80 kali cambukan
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendah di mana hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai di antara dua batas tersebut. Seperti penjara atau jilid dalam jarimah ta’zir.
3. Berdasarkan besarnya hukuman yang telah ditentukan
a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya, di mana seorang hakim harus melaksanakannya tanpa dikurangi atau ditambah atau diganti dengan hukuman lain.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’ agar bisa disesuikan dengan keadaan perbuatan dan perbuatannya.
4. Berdasarkan tempat dilakukannya hukuman
a. Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan pada anggota badan manusia. Seperti jilid.
b. Hukuman yang dikenakan pada jiwa, seperti hukuman mati.
c. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia seperti hukuman penjara atau pengasingan.
d. Hukuman harta, seperti hukuman diyat dan perampasan.
5. Berdasarkan macamnya jarimah serta hukumannya
a. Hukuman had, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud. Antara lain: jilid 100 kali, pengasingan, rajam. Tiga macam hukuman tersebut ditetapkan bagi jarimah perzinahan. Jilid 80 kali bagi jarimah Qadaf dan peminum khamr, potong tangan bagi jarimah pencurian dan hukuman mati bagi pembunuhan. Hukuman mati dan salib, pemotongan anggota badan, dan pengasingan. Ketiga hukuman tersebut ditetapkan dalam jarimah hirabah. Hukuman mati dan perampasan harta bagi jarimah murtad dan pemberontakan.
b. Hukuman Qişaş-Diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah: 1) Qisas, yaitu pelaku jarimah dijatuhi hukuman setimpal bagi perbuatannya. 2) Diyat, yaitu hukuman pokok bagi jarimah pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. 3) Pencabutan hak waris dan menerima wasiat merupakan hukuman tambahan dalam jarimah pembunuhan tidak sengaja.
c. Hukuman Ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir seperti penjara kurungan, pengasingan, ancaman, dan denda.
Maksud pokok hukuman dalam Islam adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah. Dengan demikian hukuman yang baik adalah hukuman yang mampu memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Mampu mencegah seseorang dari perbuatan maksiat (preventif) dan mampu menjerakan setelah terjadinya perbuatan (preventif).
b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman disesuaikan dengan kebutuhan kemaslahatan masyarakat.
c. Memberikan hukuman bukanlah untuk membalas dendam namun untuk kemaslahatan.
d. Hukuman merupakan upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh dalam suatu maksiat. Karena seseorang akan terjaga dari perbuatan maksiat apabila memiliki iman yang kokoh, berakhlak mulia dan dengan adanya sanksi duniawi yang diharapkan mencegah seseorang kedalam tindak pidana.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra, disebutkan:
عن عمر بن شعيب عن جده ان رسول الله ص.م.قال مروا اولادكم بالصلاة
وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشروفرقوا بينهم فى المضاجع.
Menurut seruan di atas sanksi pukulan diakui juga oleh Islam, setelah melakukan upaya seperti nasehat atau cara lain sampai pada sanksi yang berat, namun bersifat mendidik.
Macam-macam bentuk atau cara yang dapat dipergunakan dalam rangka mendidik anak dalam situasi kondisi dan obyek didik dapat kita gali dari al-Qur’an. Mengingat obyek didik yang bermacam-macam serta situasi dan kondisi yang berbeda-beda maka tidaklah bijaksana apabila dalam mendidik anak hanya mengandalkan satu metode saja.
Di antara metode-metode dalam rangka memberikan sanksi kepada anak yang nakal antara lain:
1. Metode Ta’lim
وعلم ادم الا سماء كلها ثم عرضهم على الملئكة فقال انبؤنى با سماء هؤلاء ان
كنتم صادقين.
Metode ta’lim secara harfiah artinya memberikan sesuatu kepada seseorang yang belum tahu. Metode ta’lim ini diterapkan terhadap obyek yang sama sekali belum punya gambaran atau pengetahuan tentang apa yang dihadapinya. Oleh karena itu, orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi tuntutan anak terutama kebutuhan rohaninya, baik dalam perintah maupun larangan yang telah ditetapkan dalam agama.

2. Metode Tarhīb
واعدوالهم مااستطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدوالله وعدوكم و
اخرين من دونهم. لا تعلمونهم الله يعلمهم. وما تنفقوا من شئ فى سبيل الله يوف
اليكم وانتم لا تظلمون.
Metode ini artinya menimbulkan perasaan takut yang hebat kepada lawan. Metode tarhib berarti suatu cara yang digunakan dalam mendidik anak dengan cara penyampaian ancaman kekerasan terhadap anak. Anak-anak yang nakal agar tidak meneruskan kebiasaan buruknya.
Metode tarhīb berarti tidak membenarkan secara semena-mena kepada orang tua untuk melakukan kekerasan pada anak-anaknya tanpa pengetahuan yang benar mengenai hal-hal yang telah dilakukan oleh anak.
Metode tarhib digunakan bilamana anak yang melakukan kesalahan sudah diperingatkan dengan cara memberitahu dan ternyata anak tidak mau menghentikan perbuatan buruknya bahkan menimbulkan kecemasan kepada orang lain.
3. Metode Tagrīb
عن عبادة بن الصامت قال:قال رسول الله ص.م.خذواعني خذواعني فقدجعل
الله لهن سبيلا,البكربالبكرجلدمائة ونفي سنة والثيب با لثيب جلدمائة والرجم.
Hadis ini dapat dijadikan dasar bagi kita dalam memilih berbagai metode pendidikan dan pangajaran anak yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan hadis.
Pendidikan dan pengajaran tidak hanya ditujukan untuk memberikan hal-hal yang menyenangkan kepada anak, tetapi juga menjatuhkan hukuman kepada anak bila bersalah.
Anak nakal dalam pengertian yang umum adalah mereka yang melakukan hal-hal negatif sebagai anak yang tidak melanggar ketentuan hukum negara ataupun agama. Misalnya anak suka membuat kotor di rumah.
Adapun pengertian nakal dalam hukum adalah anak-anak yang sudah berani melakukan tindak pidana, sebagaimana yang dilakukan oleh orang dewasa. Misalnya berani mencuri uang baik milik saaudaranya maupun milik orang lain.
Dengan memperhatikan al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, kita menemukan banyak metode yang dapat digunakan dalam upaya mendidik anak. Di antara metode tersebut adalah metode tagrīb, dalam metode tagrīb orang tua diperbolehkan memberikan hukuman kepada anaknya dan mengasingkannya untuk sementara waktu barangkali menitipkannya di rumah penampungan anak-anak nakal.
Penerapan metode tagrīb ini memang dilakukan untuk menghukum anak-anak yang tidak dapat diatasi dengan cara yang halus seperti nasehat, teguran, dan ancaman. Oleh karena itu, orang tua dituntut untuk memberi pertimbangan yang matang dari keluarga dekat lainnya sebelum menerapkan metode tagrīb demi kebaikan anak pada masa datang.


Daftar Pustaka

A. Hanafi. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Ali, Maulana Muhammad. The Holy Qur’anak. alih bahasa H. M. Bachrum, Jakarta : Dar al-Kutubiyah al-Islamiyah, 1979.
Al-Maraghi, Musthafa. Tafsir al-Maraghi. alih bahasa oleh Anwar Rasyidi, Semarang : Toha Putra, 1988.
At-Tabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’anak. Beirut : Libanon, 1995.
I. Doi, Abdurrahman. Tindak Pidana dalam Syari’at Islam. alih bahasa Sulaiman Rasjid, cet. ke-1 Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Ismail. Haqqi, TafsirRūh al-Bayan. Beirut : Dar al-Fikr, t.t.
K. Lubis, Chairumandan Suhrawardi. Hukum Perjanjian dan Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 1996.
M. Fachruddin, Fuad. Masalah Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
M. Thalib. Pendidikan Islami: Metode 30 T. cet. ke-1, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996.
Munajat, Makhrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. cet. ke-1 Yogyakarta: Logung, 2004.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al- Mujtahid. tn.p: Wahriyai al-Kitab al-Arabiyah, t.t.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Semarang : Toha Putra, t.t.
Sudarsono. Kenakalan Remaja. cet. ke-2 Jakarta : Rineka Cipta, 1991.
Ustadz Bey Arifin, dkk. Seruan Abu Dawud. Semarang: Al-Syifa’, 1992.