PELANGGARAN PIDANA ANAK-ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kriteria Anak dan Hukuman
1. Pengertian Anak
Pengertian anak dari segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab terdapat berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat perbedaan yang positif di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya sama artinya. Umpamanya “walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh manusia dan binatang yang bersangkutan.
Idealnya dunia anak adalah dunia istimewa tidak ada kekhawatiran dan tidak ada beban yang harus dipikul pada masa itu. Namun terkadang anak harus menanggung beban seperti orang dewasa karena dianggapnya sebagai miniatur orang dewasa terlebih lagi tidak diperlukan karakteristik dan ciri khasnya mereka yang juga punya keinginan, harapan dan dunia mereka sendiri.
Pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-beda dan penulis hanya memaparkan pengertian anak dari segi hukum Islam maupun hukum positif. Hukum Islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan belum balligh, sedang menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap balligh apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun. Kata balligh berasal dari fiil madi balagha, yablughu, bulughan yang berarti sampai, menyampaikan, mendapat, balligh, masak.
Pendapat para ahli fiqh mengenai kedudukan anak berbeda-beda menurut masa yang dilaluinya, yaitu:
1. Masa tidak adanya kemampuan berpikir. Masa ini dimulai sejak lahir sampai usia 7 tahun, perbuatan pidana yang dilakukannya tidak dikenai hukuman.
2. Masa kemampuan berpikir lemah. Masa ini dimulai sejak anak berusia 7 tahun sampai usia 15 tahun. Pada masa tersebut mereka dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya hukuman namun tetap dianggap sebagai hukuman mendidik bukan hukuman pidana.
3. Masa kemampuan berpikir penuh. Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia kecerdasan yang pada umumnya telah mencapai usia 15 tahun atau 18 tahun. Pada masa ini telah dikenakan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Adapun menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan batas anak adalah apabila ia telah bermimpi dengan kata lain sudah balligh. Salah satu tanda balligh itu adalah telah sampai umur 15 tahun seperti riwayat dari Ibnu Umar.
عر ضت على النبى ص.م. يوم احد واناابن اربع عشرة سنة فلم يجزنى وعرضت عليه يوم الخند ق واناابن خمس عشرة سنة فاجازن.
Menurut Abdul Qadir Audah anak di bawah umur dapat ditentukan bahwa laki-laki itu belum keluar sperma dan bagi perempuan belum haid, ikhtilam dan belum pernah hamil. Menurut jumhur fuqaha berpendapat bahwa kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama yakni tentang kedewasaannya yaitu keluarnya sperma dan telah haid serta terlihatnya kecerdasan. Dari dasar ayat al-Qur’an dan Hadiş serta dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa kedewasaan menurut islam adalah dengan ikhtilam namun terjadi perselisihan mengenai batas umurnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan iklim, suhu, temperamen, dan tabiat seseorang serta lingkungan sekitarnya.
Adapun yang menjadi dasar tidak cakapnya seorang anak adalah disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
وابتلوااليتامى حتى اذابلغواالنكاح.فان انستم منهم رشدا فادفعوااليهم اموالهم.
Tersebut sebagai berikut حتى اذا بلغوا النكاحPara ahli tafsir menafsirkan lafaz
قال مجاهد يعنى الحلم: قال جمهورمن العلماء البلوغ فىالغلام تارة يكون بلحلوم وهوان يرى فى منامه ماينزل به الما الدافق الذى يكون منه الولد
Sedangkan dalam tafsir Ruh al-Bayan, lafaz حتى اذا بلغوا النكاحhanya ditafsirkan apabila mereka telah sampai umur balligh atau dewasa ditandai dengan mimpi basah yang menyiapkan mereka untuk kawin dan selanjutnya disebut baligh.
Kemudian kapan seorang anak dapat dikatakan telah mencapai dewasa? Untuk menjawab hal ini dapat dilihat dari pendapat Imam Syafi’i, sebagaimana yang telah dikutip oleh Chairuman dan Suhrawardi dalam bukunya hukum perjanjian dan hukun Islam. Imam Syafi’i mengungkapkan apabila telah sempurna umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, kecuali bagi laki-laki yang sudah ikhtilam atau perempuan yang sudah haid sebelum mencapai umur 15 tahun maka sudah dianggap dewasa.
Seorang anak laki-laki yang mimpi bersetubuh sehingga mengeluarkan air mani walaupun belum berumur 15 tahun sudah dianggap dewasa adalah disebabkan ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an:
واذابلغ الاطفال منكم الحلم فليستأذنواكمااستأذن الذين منقبلهم.
Seperti halnya dalam hukum jual beli oleh anak yang belum dewasa menurut ulama-ulama Islam adalah berbeda-beda. Tetapi sebagian besar ulama berpendapat bahwa jual beli yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa boleh, asalkan ada izin dari wali dan anak tersebut sudah mumayiz (bisa membedakan antara baik dan buruknya sesuatu).
Pada tingkatan pertama, kesepakatan ulama menyatakan bahwa tidak adanya kemampuan menggunakan alam pikirannya, bermula dari anak itu dilahirkan sampai ia berumur 7 tahun.
Dalam tingkatan kedua, kemampuan untuk menggunakan pikirannya akan tetapi masih lemah karena kondisis jiwa yang masih labil. Tingkatan ini bermula dari umur 7 tahun sampai anak tersebut baligh.
Sedangkan untuk tingkatan ketiga, kemampuan dalam mempergunakan alam pikiranya secara sempurna dimulai dari balighnya seorang anak yaitu setelah berumur 15 tahun ( pendapat keumuman ulama fiqih) atau setelah berumur 18 tahun (pendapat Abu Hanifah dan Mashur Malik)
Al-Qur’an memandang tentang anak secara global dapat diformulasikan dengan prinsip: “anak tidak menjadi sebab kesulitan dan kesengsaraan orang tua dan orang tua tidak menjadi penyebab kesulitan dan kesengsaraan anak-anaknya. Sebagaimana firman Allah swt:
...لا تضاروالدة بولدها ولا مولدله بولده.
Ayat di atas dapat dimengerti bahwa antara anak dan orang tua mempunyai hubungan timbal balik saling menguntungkan. Mafhumnya adalah orang tua harus memelihara anak- anaknya dengan baik agar anak dapat tumbuh dan hidup serta tumbuh dengan wajar. Jika anak dapat tumbuh secara wajar baik fisik,jasmani maupun rohaninya niscaya akan menjadi anak baik dan tidak akan menyengsarakan malahan dapat mendo’akan kedua orang tuanya agar selamat dan bahagia di dunia maupun akhirat.
Al-Qur’an secara jelas memberikan gambaran-gambaran tentang keberadaan anak dalam kehidupan, diantaranya:
1. Anak sebagai penyejuk hati, firman Allah SWT:
والذين يقولون ربناهبلنا من ازوجنا وذرياتناقرةاعين واجعلنا للمتقين اماما
2. Anak sebagai perhiasan hidup di dunia,firman Allah SWT:
المال والبنون زينة الحيوة الدنيا....
Ada sebuah riwayat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Ţalib:
المال والبنون حرث الدنيا. والعمل الصالح حرث الاخرة وقد جمعهاالله لا قوام
3. Anak sebagai kabar gembira
يازكرياانانبشرك بغلام اسمه يحى لم نجعل له من قبل سميا.
4. Anak sebagai cobaan
انمااموالكم واولادكم فتنة والله عنده اجرعظيم.
واعلمواانمااموالكم واولا دكم فتنة وان الله عنده اجرعظيم.
Al-Fitnah yaitu cobaan dan ujian, yakni sesuatu yang berat hati untuk melakukan, meninggalkan, menerima, atau menolaknya. Fitnah bisa terjadi pada keyakinan, perkataan, perbuatan dan apa saja. Akan halnya dengan anak-anak memang cinta kita terhadap mereka adalah termasuk hal yang telah Allah SWT titipkan dalam fitrah kita. Oleh karena itu, cinta terhadap anak-anak dapat membawa orang tuanya bersedia untuk mengeluarkan segala yang ada demi anak.
Menurut suatu riwayat dari Abu Said al-Khudri yang diriwayatkan secara marfu’ dari Nabi saw:
المولد ثمرة القلب وانه مجبنة مبخلة محزنة.
Anak itu buah hati, dan sesungguhnya dia adalah penyebab kekecutan hati, kekikiran, dan kesedihan.
Jadi, fitnah yang ditimbulkan oleh anak adalah lebih besar dari pada yang ditimbulkan oleh harta, sehingga orang mau saja mencari harta haram dan mengambil harta orang lain secara batil demi anak.
Maka wajib bagi setiap mukmin untuk memelihara diri dari kedua macam fitnah tersebut. Dari keterulangan dua ayat di atas, menggambarkan betapa pentingnya anak sebagai cobaan dan memerlukan perhatian yang cukup. Sehinga tidak menutup kemungkinan jiwa anak dapat menjadi musuh bagi orang tuanya karena kurangnya pendidikan dari orang tua terutama pendidikan dalam lingkungan keluarga. Firman Allah SWT:
ياايها الذين امنواان من ازواجكم واولادكم عدوالكم فاحذروهم وان تعفوا وتصفحوا وتغفروا فان الله غفوررحيم.
Karena kerap kali terjadi bahwa seseorang berbuat salah terhadap orang lain demi kepentingan isteri atau anak-anaknya, jadi dalam suatu hal, isteri atau anak dapat menjadi musuh. Hendaklah diingat bahwa disini digunakan kata Mim yang artinya hanya kadang-kadang saja seseorang terjerumus dalam jalan kejahatan.
Dari ayat ini dapat ditafsirkan bahwa gara-gara istri dan anaknya, seorang suami akan menjadi binasa, karena keduanya selalu mencela dan mengejeknya, karena kemiskinannya, sehingga ia melaksanakan perbuatan yang jahat (untuk menghilangkannya), hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw:
يأتي زمان على امتي يكون فيه هلاك الرجل على يدزوجته وولده يعيرانه بالفقرفيركب مراكب السؤفيهلك.
Al-Qur’an menempatkan anak pada posisi yang sangat penting ini terbukti bahwa ada sebuah ayat yang mengetengahkan anak dengan statemen sumpah, yaitu :
ووالدوماولد.
Allah swt. tidak menggunakan statemen sumpah kecuali untuk hal-hal yang penting dan harus mendapat perhatian. Secara konseptual al-Qur’an menyikapi anak sebagai sosok yang penting dan harus mendapat perhatian yang serius.
2. Pengertian Hukuman
Dalam suatu peraturan hukum pidana baik yang memuat larangan melakukan maupun perintah untuk melakukan sudah semestinya disertai dengan adanya sanksi atau hukuman supaya bentuk larangan maupun perintah itu diakui oleh segenap anggota masyarakat yang bersangkutan. Kemudian bagaimana cara menghukum pelanggar aturan itu tentunya memerlukan aturan lebih lanjut yang merupakan bagian dari suatu sistem hukuman.
Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam disebut ‘īqāb (bentuk singularnya sedangkan bentuk pluralnya adalah ‘uqūbah) yang memiliki arti siksaan atau balasan terhadap kejahatan.
Abd. al-Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Sedangkan menurut Abu Zahrah, hukuman merupakan siksaan bagi si pelaku kejahatan sebagai balasan baginya dan hukuman itu merupakan suatu ketetapan syara’ di dalam menghilangkan mafsadah, dan menghilangkan mafsadah itu sendiri merupakan kemaslahatan.
Senada dengan yang dikemukakan oleh Abd. al-Qadir Audah tersebut, Ahmad Fathi Bahansi mengemukakan tentang hukuman adalah bahwa hukuman juga merupakan bagian ketetapan dari syar’i sebagai upaya pencegahan terhadap dilakukannya pelanggaran-pelanggaran baik yang berupa melakukan perbuatan yang dilarang maupun melakukan suatu perintah dari syar’i itu, yang dengan upaya pencegahan itu seorang pelaku jarimah tidak lagi melakukan pelanggaran itu atau perbuatan-perbuatan yang pada intinya melanggar aturan. Dalam hal ini hukuman itu lebih bersifat prevensi (pencegahan) khusus yaitu bagi pelaku jarĩmah. Berbeda dengan pemaparan Abd. al-Qadir Audah yang lebih bersifat prevensi umum atau dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa hukuman merupakan balasan atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban dari perbuatannya, dan ditetapkannya hukuman bertujuan untuk kemaslahatan bersama.
Esensi dari hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar-rad ‘u wa al-zajru), dan kedua adalah perbaikan dan pengajaran (al-islah wa at-tahzib). Dengan tujuan tersebut, pelaku jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

B. Perbuatan Anak-anak yang Dianggap Sebagai suatu Pelanggaran
Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan ta’zir.
a. Jarimah Hudud
Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis ancaman dan hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).
Para ulama sepakat bahwa yang termasuk kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu: zina, qazf (menuduh zina), pencurian, perampokan atau penyamunan (hirabah), pemberontakan(al-baghy), minum-minuman keras, dan riddah (murtad).
b. Jarimah Qisas Diyat
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas dan diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah qisas diyat:
1. pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd)
2. pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-amd)
3. pembunuhan keliru (al-qatl khata’)
4. penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd)
5. penganiayaan salah (al-jarh khata’)
c. Jarimah Ta’zir
Yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir yaitu hukuman yang selain had dan qisas diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah ta’zir seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, mengingkari janji, menghianati amanat, dan menghina agama.

C. Ketentuan Pemidanaan
Hukuman atas tindakan pidana dibagi dalam empat kelompok yaitu:
1. Hukuman fisik yang meliputi hukuman mati, potong tangan, cambuk, rajam sampai mati,
2. Membatasi kebebasan yang meliputi hukuman penjara atau mengirim si terhukum ke pengasingan.
3. Membayar denda.
4. Peringatan yang diberikan hakim
Adapun secara rinci suatu hukuman yang diterapkan terhadap pelaku jarimah dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan pertalian satu hukuman dengan hukuman lainnya. Poin ada empat tipologi, yaitu:
a. Hukuman Pokok ( al-‘uqũbah al-asliyah), yaitu hukuman yang telah ditetapkan dan merupakan hokum asal daari suatu jarimah seperti hukuman qişaş dalam pembunuhan, rajam, perzinahan dan potong tangan dalam pencurian.
b. Hukuman Pengganti (al-‘uqũbah al-badaliyah), yaitu hukuman yang mengganti hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena alasan syar’i seperti denda dalam hukuman qişaş dan ta’zir sebagai pengganti hukuman had dan qişaş.
c. Hukuman Tambahan (al-‘uqũbah al-taba’iyah), yaitu yang mengikuti hukuman pokok tanpa mengikuti keputusan secara tersendiri. Seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga dan itu merupakan tambahan dari hukuman qişaş.
d. Hukuman Pelengkap (al-‘uqũbat al-takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim.
2. Berdasarkan kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas. Artinya hukuman itu tidak ada batas tertinggi dan terendahnya. Seperti hukuman had dengan 80 kali cambukan
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendah di mana hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai di antara dua batas tersebut. Seperti penjara atau jilid dalam jarimah ta’zir.
3. Berdasarkan besarnya hukuman yang telah ditentukan
a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya, di mana seorang hakim harus melaksanakannya tanpa dikurangi atau ditambah atau diganti dengan hukuman lain.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’ agar bisa disesuikan dengan keadaan perbuatan dan perbuatannya.
4. Berdasarkan tempat dilakukannya hukuman
a. Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan pada anggota badan manusia. Seperti jilid.
b. Hukuman yang dikenakan pada jiwa, seperti hukuman mati.
c. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia seperti hukuman penjara atau pengasingan.
d. Hukuman harta, seperti hukuman diyat dan perampasan.
5. Berdasarkan macamnya jarimah serta hukumannya
a. Hukuman had, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud. Antara lain: jilid 100 kali, pengasingan, rajam. Tiga macam hukuman tersebut ditetapkan bagi jarimah perzinahan. Jilid 80 kali bagi jarimah Qadaf dan peminum khamr, potong tangan bagi jarimah pencurian dan hukuman mati bagi pembunuhan. Hukuman mati dan salib, pemotongan anggota badan, dan pengasingan. Ketiga hukuman tersebut ditetapkan dalam jarimah hirabah. Hukuman mati dan perampasan harta bagi jarimah murtad dan pemberontakan.
b. Hukuman Qişaş-Diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah: 1) Qisas, yaitu pelaku jarimah dijatuhi hukuman setimpal bagi perbuatannya. 2) Diyat, yaitu hukuman pokok bagi jarimah pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. 3) Pencabutan hak waris dan menerima wasiat merupakan hukuman tambahan dalam jarimah pembunuhan tidak sengaja.
c. Hukuman Ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir seperti penjara kurungan, pengasingan, ancaman, dan denda.
Maksud pokok hukuman dalam Islam adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah. Dengan demikian hukuman yang baik adalah hukuman yang mampu memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Mampu mencegah seseorang dari perbuatan maksiat (preventif) dan mampu menjerakan setelah terjadinya perbuatan (preventif).
b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman disesuaikan dengan kebutuhan kemaslahatan masyarakat.
c. Memberikan hukuman bukanlah untuk membalas dendam namun untuk kemaslahatan.
d. Hukuman merupakan upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh dalam suatu maksiat. Karena seseorang akan terjaga dari perbuatan maksiat apabila memiliki iman yang kokoh, berakhlak mulia dan dengan adanya sanksi duniawi yang diharapkan mencegah seseorang kedalam tindak pidana.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra, disebutkan:
عن عمر بن شعيب عن جده ان رسول الله ص.م.قال مروا اولادكم بالصلاة
وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشروفرقوا بينهم فى المضاجع.
Menurut seruan di atas sanksi pukulan diakui juga oleh Islam, setelah melakukan upaya seperti nasehat atau cara lain sampai pada sanksi yang berat, namun bersifat mendidik.
Macam-macam bentuk atau cara yang dapat dipergunakan dalam rangka mendidik anak dalam situasi kondisi dan obyek didik dapat kita gali dari al-Qur’an. Mengingat obyek didik yang bermacam-macam serta situasi dan kondisi yang berbeda-beda maka tidaklah bijaksana apabila dalam mendidik anak hanya mengandalkan satu metode saja.
Di antara metode-metode dalam rangka memberikan sanksi kepada anak yang nakal antara lain:
1. Metode Ta’lim
وعلم ادم الا سماء كلها ثم عرضهم على الملئكة فقال انبؤنى با سماء هؤلاء ان
كنتم صادقين.
Metode ta’lim secara harfiah artinya memberikan sesuatu kepada seseorang yang belum tahu. Metode ta’lim ini diterapkan terhadap obyek yang sama sekali belum punya gambaran atau pengetahuan tentang apa yang dihadapinya. Oleh karena itu, orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi tuntutan anak terutama kebutuhan rohaninya, baik dalam perintah maupun larangan yang telah ditetapkan dalam agama.

2. Metode Tarhīb
واعدوالهم مااستطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدوالله وعدوكم و
اخرين من دونهم. لا تعلمونهم الله يعلمهم. وما تنفقوا من شئ فى سبيل الله يوف
اليكم وانتم لا تظلمون.
Metode ini artinya menimbulkan perasaan takut yang hebat kepada lawan. Metode tarhib berarti suatu cara yang digunakan dalam mendidik anak dengan cara penyampaian ancaman kekerasan terhadap anak. Anak-anak yang nakal agar tidak meneruskan kebiasaan buruknya.
Metode tarhīb berarti tidak membenarkan secara semena-mena kepada orang tua untuk melakukan kekerasan pada anak-anaknya tanpa pengetahuan yang benar mengenai hal-hal yang telah dilakukan oleh anak.
Metode tarhib digunakan bilamana anak yang melakukan kesalahan sudah diperingatkan dengan cara memberitahu dan ternyata anak tidak mau menghentikan perbuatan buruknya bahkan menimbulkan kecemasan kepada orang lain.
3. Metode Tagrīb
عن عبادة بن الصامت قال:قال رسول الله ص.م.خذواعني خذواعني فقدجعل
الله لهن سبيلا,البكربالبكرجلدمائة ونفي سنة والثيب با لثيب جلدمائة والرجم.
Hadis ini dapat dijadikan dasar bagi kita dalam memilih berbagai metode pendidikan dan pangajaran anak yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan hadis.
Pendidikan dan pengajaran tidak hanya ditujukan untuk memberikan hal-hal yang menyenangkan kepada anak, tetapi juga menjatuhkan hukuman kepada anak bila bersalah.
Anak nakal dalam pengertian yang umum adalah mereka yang melakukan hal-hal negatif sebagai anak yang tidak melanggar ketentuan hukum negara ataupun agama. Misalnya anak suka membuat kotor di rumah.
Adapun pengertian nakal dalam hukum adalah anak-anak yang sudah berani melakukan tindak pidana, sebagaimana yang dilakukan oleh orang dewasa. Misalnya berani mencuri uang baik milik saaudaranya maupun milik orang lain.
Dengan memperhatikan al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, kita menemukan banyak metode yang dapat digunakan dalam upaya mendidik anak. Di antara metode tersebut adalah metode tagrīb, dalam metode tagrīb orang tua diperbolehkan memberikan hukuman kepada anaknya dan mengasingkannya untuk sementara waktu barangkali menitipkannya di rumah penampungan anak-anak nakal.
Penerapan metode tagrīb ini memang dilakukan untuk menghukum anak-anak yang tidak dapat diatasi dengan cara yang halus seperti nasehat, teguran, dan ancaman. Oleh karena itu, orang tua dituntut untuk memberi pertimbangan yang matang dari keluarga dekat lainnya sebelum menerapkan metode tagrīb demi kebaikan anak pada masa datang.


Daftar Pustaka

A. Hanafi. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Ali, Maulana Muhammad. The Holy Qur’anak. alih bahasa H. M. Bachrum, Jakarta : Dar al-Kutubiyah al-Islamiyah, 1979.
Al-Maraghi, Musthafa. Tafsir al-Maraghi. alih bahasa oleh Anwar Rasyidi, Semarang : Toha Putra, 1988.
At-Tabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’anak. Beirut : Libanon, 1995.
I. Doi, Abdurrahman. Tindak Pidana dalam Syari’at Islam. alih bahasa Sulaiman Rasjid, cet. ke-1 Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Ismail. Haqqi, TafsirRūh al-Bayan. Beirut : Dar al-Fikr, t.t.
K. Lubis, Chairumandan Suhrawardi. Hukum Perjanjian dan Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 1996.
M. Fachruddin, Fuad. Masalah Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
M. Thalib. Pendidikan Islami: Metode 30 T. cet. ke-1, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996.
Munajat, Makhrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. cet. ke-1 Yogyakarta: Logung, 2004.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al- Mujtahid. tn.p: Wahriyai al-Kitab al-Arabiyah, t.t.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Semarang : Toha Putra, t.t.
Sudarsono. Kenakalan Remaja. cet. ke-2 Jakarta : Rineka Cipta, 1991.
Ustadz Bey Arifin, dkk. Seruan Abu Dawud. Semarang: Al-Syifa’, 1992.

0 comments:

Post a Comment