AKAD DALAM PANDANGAN ISLAM

1. Pengertian Akad
Pengertian akad menurut etimologi adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Bisa juga berarti sambungan (العقدة), janji (العهد)
Menurut Ahmad Azhar Basjir dalam Asas –asas Hukum Muamalat, akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang dinginkan, sedang kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Menurut terminology ulama fiqh akad ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus.
Pengertian secara umum tentang akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan dan gadai. Pengertian secara khusus menurut ulama fiqh adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada obyeknya.
Kemudian dari defenisi ini dapat disimpulkan bahwa, perikatan merupakan suatu kesepatan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dilakukan dengan suka rela, dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbal balik. Di dalam hukum kalau perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbutan hukum.
Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban.
2. Tujuan Akad
Kaidah umum dalam ajaran Islam menetukan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dalam keadaan sehat dan bebas menentukan pilihan (tidak dipaksa) pasti mempunyai tujuan tertentu yang mendorongnya melakukan perbuatan. Oleh karena itu, maka tujuan akad memperoleh tempat penting untuk menentukan apakah suatu akad dipandang sah atau tidak, dipandang halal atau haram.
Yang dimaksud dengan tujuan akad adalah maksud utama disyari'atkan akad. Tujuan akad ini harus benar dan sesuai dengan ketentuan syara’. Tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat-akibat hukum diperlukan adanya syarat tujuan sebagai berikut :
a. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan, tujuan hendaknya baru ada pada saat akad diadakan.
b. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
c. Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara'.
Berdasarkan pada pernyataan syarat tujuan akad yang tertera di atas hal itu sudah jelas dan diakui oleh syara’ akan tetapi suatu tujuan erat kaitannya dengan berbagai bentuk aktivitas yang dilakukan contohnya dalam hal jual beli tujuannya untuk memindahkan hak milik penjual kepada pembeli.
3. Rukun dan Syarat Akad
a. Rukun Akad
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat dua orang atau lebih, berdasarkan keridaan masing-masing, maka timbul bagi kedua belah pihak hak dan iltijam yang diwujudkan oleh akad. Adapun rukun-rukun akad adalah sebagai berikut :
1). ‘Aqid ialah orang yang berakad dan terlibat langsung dengan akad, contoh: penjual dan pembeli
2). Ma’qud’alaih yaitu sesuatu yang diakadkan, contoh: harga atau yang dihargakan.
3). Sịgat 'aqad yakni ijab dan qabul.
Menurut ulama Hanafiyah rukun akad hanya satu yaitu, sigat akad yang terdiri dari ijab dan qabul.
Sedangkan unsur–unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan akad. Berikut ini adalah uraian yang lebih rinci dari unsur rukun akad tersebut :
Unsur pertama : Sigat akad
Sigat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Sigat akad dapat dilakukan dengan ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan.
Unsur Kedua : Al-‘aqid (orang yang berakad)
Orang yang berakad disyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan untuk melakukan akad. Menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah orang yang berakad harus berakal, yakni sudah mumayyis. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan orang yang berakad harus balig, berakal dan mampu memelihara agama dan hartanya.
Unsur ketiga : Mahal al-'Aqd atau al-Ma'qud 'alaih
Mahal al-'Aqd atau al-Ma'qud 'alaih adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad. Adapun obyek akad ini fuqaha menetapkan lima syarat yang harus dipenuhi oleh obyek akad.
a) Obyek akad harus ada ketika berlangsung akad
Berdasarkan syarat ini barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan obyek akad. Namun ada perbedaan pendapat tentang akad atas barang yang tidak tampak. Ulama Syafi’iyah dan
Hanafiyah melarang secara mutlak berbagai urusan atau barang yang tidak tampak, kecuali dalam beberapa hal, seperti upah mengupah dan menggarap tanah. Ulama Malikiyah hanya menetapkan pada akad yang sifatnya saling menyerahkan mu’awadah dalam urusan harta, sedang yang bersifat tabarru’ mereka tidak mensyatarkannya.

b) Obyek akad harus sesuai dengan ketentuan syara’
c) Dapat diserah terimakan ketika akad berlangsung.
d) Obyek akad harus diketahui oleh pihak 'aqid
e) Obyek akad harus suci
Pembahasan pada unsur-unsur rukun akad ini bahwa keseluruhan fuqaha sepakat, akan tetapi perbedaannya terletak pada unsur obyek akad yang terdapat pada syarat yang kelima, yaitu pada kesucian obyek akad, ulama Hanafiyah mengatakan hal ini tidak termasuk ke dalam persyaratan obyek akad.
b. Syarat-Syarat Akad
Berdasarkan unsur akad yang telah dibahas sebelumnya ada beberapa konsekuensi hukum dalam macam syarat-syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah, syarat memberikan dan syarat keharusan luzum.
1) Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara', jika tidak memenuhi maka batal, syarat ini ada dua bagian : Pertama, umum yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad. Kedua, khusus yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya.
2) Syarat sah
Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara' yang berkenaan untuk menerbitkan atau tidak adanya akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad. Jika tidak dipenuhi akadnya menjadi fasid (rusak). Ulama Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadaratan dan syarat-syarat jual beli rusak.
3) Syarat pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas untuk beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya dan sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam bertasaruf sesuai dengan ketentuan syarat, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya sendiri maupun sebagai pengganti atau menjadi wakil seseorang.
4) Syarat kepastian hukum luzum
Dasar dalam akad adalah kepastian dan ini suatu syarat yang ditetapkan oleh syara' berkenaan kepastian sebuah akad. Di antaranya syarat luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar 'aib dan lain-lain.
Pada pelaksanaan seperti melakukan suatu transaksi harus berlandaskan pada persyaratan akad, hal ini sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang tertera pada syarat di atas.

Adapun secara umum suatu syarat yang dinyatakan sah adalah sebagai berikut :
a) Tidak menyalahi hukum syari'ah yang disepakati
b) Harus sama rida dan ada pilihan
c) Obyeknya harus jelas
Begitu pula halnya tentang pembatalan perjanjian tidak mungkin dilaksanakan, sebab dasar perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, namun demikian pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila :
a) Jangka waktu perjanjian telah berakhir.
b) Salah satu pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan.
c) Jika ada bukti kelancangan dan bukti penghianatan (penipuan).
4. Macam-Macam Akad
Akad dibagi sesuai dengan segi tinjauan pembagiannya menjadi tiga macam yaitu ditinjau dari sifat dan hukumnya, dari segi wataknya atau hubungan tujuan dengan sigatnya, dan dari segi akibat-akibat hukumnya.
a. Akad dari segi sifat dan hukumnya
Dari segi sifat dan hukumnya akad dibagi menjadi dua macam, yaitu akad yang sah dan akad yang tidak sah.
Suatu akad dinamakan akad sah apabila terjadi pada orang-orang yang berkecakapan, obyeknya dapat menerima hukum akad dan pada akad itu tidak terdapat hal-hal yang menjadikannya dilarang syara’. Dengan kata lain akad sah adalah akad yang dibenarkan syara’ ditinjau dari rukun-rukunnya maupun pelaksanaannya.
Akad sah dibagi menjadi dua yaitu akad yang dapat dilaksanakan tanpa bergantung pada hal-hal lain nafiz, dan akad yang bergantung pada hal-hal lain. Akad yang dapat dilaksanakan tanpa bergantung kepada hal-hal lain mauquf . Akad mauquf dapat dibagi dua yaitu yang mengikat secara pasti, tidak boleh difasakh, dan yang tidak mengikat secara pasti, dapat difasakh oleh dua pihak atau oleh satu pihak.
Akad yang tidak sah dapat dibagi dua, yaitu akad yang rusak dan akad yang batal. Suatu akad disebut akad rusak apabila dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat kecakapan terhadap obyek yang dapat menerima hukum akad, tetapi padanya terdapat hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syara’. Sedangkan akad batal apabila terjadi pada orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat kecakapan atau obyeknya tidak dapat menerima hukum akad.
b. Akad dari segi wataknya
Akad ditinjau dari segi wataknya atau dari hubungan hukum dan sigatnya di bagi menjadi lima, yaitu;
1) Akad munjaz adalah akad yang mempunyai akibat hukum seketika setelah terjadi ijab dan qabul.
2) Akad bersandar pada waktu mendatang yaitu apabila suatu akad tidak dilaksanakan seketika, ada dua kemungkinan; bersandar pada waktu mendatang atau bergantung atas adanya syarat.
3) Akad bersyarat adalah suatu akad yang digantungkan atas adanya syarat tertentu.
4) Akad fauri adalah akad yang dapat segera dapat dilaksanakan setelah terjadinya, dalam arti bahwa tujuan akad tercapai setelah terjadi ijab dan qabul, seperti jual beli barang secara tunai, akad nikah dan sebagainya.
5) Akad adalah akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu panjang setelah terjadinya, dalam arti bahwa tujuan akad baru tercapai setelah melalui waktu tertentu, seperti akad sewa menyewa.
c. Akad ditinjau dari akibat hukumnya
Akibat hukum akad tergantung pada tujuan seseorang melakukan akad tersebut, yaitu:
1) Pemberian hak milik dengan imbalan disebut akad tukar menukar mu’awadah, yang tanpa imbalan disebut akad kebajikan tabarru’.
2) Akad berbentuk melepaskan hak tanpa atau dengan ganti di sebut akad pelepasan hak isqat.
3) Jika akad bertujuan melepaskan kekuasaan untuk melakukan suatu perbuatan kepada orang lain, seperti memberikan kuasa kepada seseorang atas namanya, maka akad ini disebut akad pelepasan itlaq.
4) Jika akad bertujuan yang sebaliknya, yakni mengikat dari wewenang berbuat yang semula dimilikinya, disebut akad pengikatan takyid.
5) Jika akad bertujuan bekerja sama untuk memperoleh suatu hasil/keuntungan disebut akad persekutuan syirkah.
6) Jika akad bertujuan untuk memperkuat akad yang lain, seperti akad gadai untuk memperkuat utang piutang, disebut akad pertanggungan daman.
5. Berakhirnya Akad
Berakhirnya akad karena dua hal, yang pertama akad berakhir apabila telah tercapai tujuannya, misalnya dalam jual beli akad berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Kedua akad berakhir apabila terjadi fasakh atau berakhir waktunya.
Fasakh terjadi karena sebab-sebab sebagai berikut:
a. Difasakh karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang disebutkan dalam akad rusak; misalnya jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
b. Karena adanya khiyar; baik khiyar rukyat, cacat, syarat, atau majlis.
c. Karena salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan, fasakh cara ini disebut iqalah.
d. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak pihak bersangkutan.
e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu.


Daftar Pustaka

Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh. Damsyik: Dar al-Fikr, 1989.
Basyir, Ahmad Azhar. Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1993.
Ibu Abidin. Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladah, 1966.
K. Lubis, Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi. Hukum Perjajian dalam Islam. cet 2, Jakarta : Sinar Grafika, 1996.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Syahe’i, Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.

0 comments:

Post a Comment