In:
Makalah Syari'ah
JUAL BELI DAN PENETAPAN HARGA MENURUT HUKUM ISLAM
A. JUAL BELI
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa (etimologi) ialah menukar atau menyerahkan sesuatu barang, dengan barang lain dalam bentuk akad (perjanjian).
Secara istilah (terminologi) yang dimaksud jual beli adalah sebagai berikut:
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar merelakan.
b. تَمْلِيْكُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ بِمُعَاوَضَةٍ بِاذْنٍ شَرْعِيٍّ
Artinya: "Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan syara’.”
c. مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عَلَى سَبِيْلِ التَّرَاضِى أَوْنَقْلُ مِلْكٍ بَعَوْضٍ عَلَى
الْوَجْهِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ المَأُذُوْنِ فِيْهِ
Artinya: “Pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.”
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat penulis pahami bahwa inti jual beli ialah sesuatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, dengan alat pengganti yang dibenarkan oleh hukum Islam. Yang dimaksud alat pengganti adalah alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya. Misalnya uang rupiah.
2. Dasar Hukum Jual Beli
Adapun yang menjadi dasar hukum kebolehan jual beli didasarkan pada:
a. Ketentuan al-Qur’ân
Dalam al-Qur’ân Surat al-Baqarah: 275
• •
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Dalam al-Qur’ân Surat al-Nisa’: 29
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka .”
b. Ketentuan Al-Hadits
Adapun keterangan al-Hadits mengenai jual beli adalah sebagai berikut:
حَدَثَنَا الْعَبَّاسُ اِبْنُ اْلوَلِيْدِ الْدَمَشْقِيُّ, حَدَثَنَا مَرْوَانَ اِبْنُ مُحَمَّدٍ. حَدَثَنَا عَبْدُ الْعَزِيْزِ اِبْنُ مُحَمَّدٍ, عَنْ دَاوُدَ اِبْنُ صَا لِحٍ الْمَدَنِيْ, عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَاسَعِيْدٍ الْخُذْرِيَّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ الله ص.م ((إِنَّمَاالبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ)) (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Menawarkan kepada kami al-‘Abas ibn al-Walîd al-Dmasqiy; mewartakan kepada kami Marwân ibn Muhammad; mewartakan kepada kami ‘Abd al-Aziz dari ayahnya, dia berkata: Rasûllâh Saw bersabda: sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka.” (HR. Ibn Mâjjah).
Sabda Rasullulah SAW:
عَنْ رَفِاعَةَ بِنْ رَافِعِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ سُئِلَ اَيُّ الْكَسْبِ اَطْيَبُ ؟ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُ بَيْعٍ مَبْرُوْرٌ (رواه البزر وصحه الحاكم)
Artinya: “Dari Rifa’ah putera Rafi’, ra. Ia berkata: Bawasannya Rasullulah SAW pernah ditanya: Usaha apakah yang paling halal itu (ya Rasullulah)? Jawab beliau: Yaitu kerjanya seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrûr (HR. Bazzar dan dinilai shahih oleh Hakim).”
Yang dimaksud mabrûr dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
c. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Dari pemaparan di atas dapat penulis pahami bahwa, prinsip utama dalam jual beli adalah suka sama suka yang tidak mengandung unsur riba dan bathil, sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan baik penjual maupun pembeli. Selain itu, dalam melakukan jual beli juga harus diperhatikan mencari yang halal dengan jalan yang halal pula. Maksudnya halal yang diperbolehkan oleh agama untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan dengan cara yang sejujur-jujurnya dengan tetap mengindahkan peraturan-peraturan jual beli.
Firman Allah dalam al-Qur’ân Surat al-A’raf ayat 157
Artinya: “.........dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.........”
3. Rukun Jual Beli
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat yaitu:
a. Bây’ (penjual).
b. Musytari (pembeli)
c. Syighat (îjâb dan kabûl)
d. Ma’qûd ‘alayh (benda atau barang)
Dalam melakukan jual beli harus memenuhi rukun-rukunnya. Bila rukun tersebut salah satu saja tidak terpenuhi maka, jual beli tersebut tidak dapat dilangsungkan.
4. Syarat jual beli
Akad atau perjanjian dalam kegiatan jual beli menempati posisi yang sangat penting. Karena akad atau perjanjian ini yang membatasi hubungan atara dua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan mu’amalah tersebut baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Karena dasar dari hubungan itu adalah perbuatan atau pelaksanaan dari dua belah pihak yang melakukan akad.
Kedua belah pihak harus menghormati dan menjujung tinggi terhadap apa yang mereka akadkan atau perjanjiankan. Karena hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam al-Qur’ân Surat al-Maidah ayat 1, yang berbunyi:
…………….
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Dalam jual beli haruslah memenuhi syarat baik tentang subjeknya, tentang lafalnya, dan objeknya.
a. Syarat âqid (penjual dan pembeli)
Penjual dan pembeli selaku subjek hukum dari perjanjian jual beli harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1). Berakal sehat.
2). Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil.
3). Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa).
4). Baligh.
Setelah syarat ini terpenuhi, maka perjanjian jual beli dapat dibuat dan harus selalu didasarkan pada kesepakatan antara penjual dengan pembeli. Terkait dengan syarat kesepakatan ini, al-Qur’ân Surat al-Nisa’ ayat 29 menyatakan bahwa:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama suka”
Dalam al-Qurân Surat al-Baqarah ayat 275 juga dinyatakan bahwa:
……..وَاَحَلَ اللهُ اْلبَيْعَ جْهِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ المَأُذُ وْ نِ فِيْهِ وَحَرَمَ الرِّ بَوا......
Artinya: “……Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…..”
Jadi berdasarkan pada ketentuan ayat ini, Allah melarang adanya kesepakatan yang mengandung unsur ribawi. Karena apabila unsur riba masuk berarti di situ terjadi eksploitasi terhadap sesama. Salah satu hikmah diharamkannya riba adalah untuk mencegah penganiayaan atau perlakuan zalim pihak kreditur (pemilik uang) terhadap debitur (peminjam).
b. Syarat syighat
1). Berhadap hadapan.
Pembeli atau penjual harus menunjukkan syighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai dengan orang yang dituju. Dengan demikian, tidak syah berkata, “Saya menjual kepadamu!” Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada Ahmad,” padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2). Ditujukan pada seluruh badan yang akad.
Tidak syah mengatakan, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu.”
3). Kabûl diucapkan oleh orang yang dituju dalam îjâb.
Orang yang mengucapkan kabûl haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan îjâb, kecuali jika diwakilkan.
4). Harus menyebutkan barang atau harga.
5). Ketika mengucapkan syighat harus disertai niat (maksud).
6). Pengucapan îjâb dan kabûl harus sempurna.
7). Îjâb kabûl tidak terpisah.
Antara îjâb dan kabûl tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
8). Antara îjâb dan kabûl tidak terpisah dengan pernyataan lain.
9). Tidak berubah lafaz.
Lafaz îjâb tidak boleh berubah, seperti perkataan, “Saya jual dengan lima ribu, kemudian berkata lagi, Saya menjualnya dengan sepuluh ribu,” padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang pertama dan sebelum ada kabûl.
10). Bersesuaian dengan îjâb dan kabûl secara sempurna.
11). Tidak dikaitkan dengan sesuatu.
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad.
12). Tidak dikaitkan dengan waktu.
Adapun menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Azas-Azas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) syighat akad dapat dilakukan dengan secara lisan, tulisan, dan isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya îjâb dan kabûl, dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasan dalam îjâb dan kabûl. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
………………..
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dari Surat al-Baqarah ayat 282 dan kaidah hukum Islam di atas dapat penulis pahami bahwa pencatatan (penulisan) sangat penting dilakukan karena salah satu hikmahnya adalah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan atau perselisihan dikemudian hari sehingga perselisihan dapat dihindari sekecil mungkin dan tidak ada pihak yang dirugikan. Karena manfaat pencatatan ini sangat besar dalam bermu’amalah di bandingkan kemadharatannya.
c. Syarat ma’qûd ‘alayh (barang)
1) Suci atau bersih barangnya.
Dalam ajaran Islam dilarang melakukan jual beli barang-barang yang mengandung unsur najis ataupun barang-barang yang nyata-nyata diharamkan oleh ajaran agama. Firman Allah dalam al-Qur’ân Surat al-A’raf ayat 157
Artinya: “.........dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.........”
2) Dapat dimanfaatkan.
Pengertian manfaat ini, tentu saja bersifat relatif. Karena pada dasarnya setiap barang mempunyai manfaat, sehingga untuk mengukur kriteria kemanfaatan ini hendaknya memakai kriteria agama. Pemanfaatan barang jangan sampai bertentangan dengan agama, peraturan perundang-undangan, maupun ketertiban umum yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.
3) Milik orang melakukan akad atau yang diberi izin pemilik.
Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus benar-benar milik penjual secara syah. Dengan demikian jual beli yang dilakukan terhadap barang yang bukan miliknya atau tanpa izin pemiliknya adalah batal.
4) Mampu menyerahkan.
Dalam artian barang harus sudah ada dan diketahui baik wujud, jumlah atau kriteria barang pada saat perjanjian jual beli tersebut diadakan.
5) Mengetahui.
Artinya, bahwa terhadap barang yang menjadi objek jual beli, harus secara jelas diketahui spesifikasinya, jumlahnya, timbangannya, dan kualitasnya.
Secara umum syarat sah akad adalah syarat-syarat yang berhubungan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu: ketidak jelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemadaratan, dan persaratan yang merusak lainnya.
Dari pemaparan di atas dapat penulis pahami bahwa, dalam praktek jual beli selain rukun juga harus dipenuhinya syarat-syaratnya. Bila rukun dan syarat-syaratnya sudah terpenuhi maka jual beli tersebut termasuk jual beli yang mabrûr yaitu jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
5. Tsaman (Harga) dan Mabi’ (Barang atau Objek Jual Beli)
a. Pengertian tsaman (harga) dan Mabi’
Secara umum, mabi’ adalah مَا يَتَعَيَّنُ بِالتَّعْيِيْنِ (perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan). Sedangkan pengertian harga secara umum, adalah مَا لاَ يَتَعَيَّنُ بِالتَّعْيِيْنِ (perkara yang tidak tentu dengan ditentukan).
Definisi di atas, sangat umum sebab sangat bergantung pada bentuk dan barang yang diperjualbelikan, adakalanya mabi’ tidak memerlukan penentuan. Sebaliknya, harga memerlukan penentuan, seperti penentuan uang muka.
Imam Hanafiyah membedakan objek jual beli menjadi dua: pertama mabi’, yakni barang yang dijual, kedua tsaman atau harga. Menurut mereka mabi’ adalah sesuatu yang dapat dikenali (dapat dibedakan) melalui sejumlah kriteria tertentu. Sedangkan harga adalah sesuatu yang tidak dapat dikenali (dibedakan dari lainya) melalui kriteria tertentu. Harga lazimnya berupa mata uang atau sesuatu yang dapat menggantikan fungsinya, seperti gandum, minyak atau benda-benda lain yang dapat ditakar atau ditimbang. Harga juga dapat berupa barang dengan kriteria tertentu yang ditangguhkan pembayarannya. Misalnya, jual beli setakar gula dengan harga Rp 1000,- atau dengan setakar kedelai secara tempo. Maka setakar gula adalah mabi’ sedangkan uang Rp 1000,- dan setakar kedelai adalah tsaman atau harga.
Menurut Imam Syafií dan Jafar berbendapat bahwa, harga dan mabi’ termasuk dua nama yang berbeda bentuknya, tetapi memiliki arti sama, perbedaan di antara keduanya dalam hukum adalah penggunaan huruf ba’(dengan).
b. Perbedaan tsaman (harga), Nilai, dan Utang.
1) Harga
Harga hanya terjadi pada akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya, harga dijadikan penukar barang yang diridhai oleh kedua pihak yang akad.
2) Nilai sesuatu
Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia
3) Utang
Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam urusan harta, yang keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam, yakni keharusan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu untuk orang lain, seperti berhutang dan lain-lain.
c. Perbedaan antara mabi’dan tsaman (harga)
Dalam kaidah umum tentang mabi’dan harga yaitu:
اِنْ كُلُّ مَا أَمْكَنَ أَنْيَكُوْنَ مَبِيْعًا أَمْكَنَ أَنَيَكُوْنَ ثَمَنًا وَلاَ عَكْسً
Artinya: “Segala sesuatu yang dapat berfungsi sebagai mabi’ dapat pula difungsikan sebagi tsaman, namun tidak berlaku yang sebaliknya”
Di antara perbedaan antara mabi’ dan tsaman adalah:
1) Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah mabi’.
2) Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi’dan pertukarannya adalah harga.
d. Ketetapan mabi’ dan tsaman
Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ dan tsaman antara lain adalah:
1) Mabi’ disyaratkan harus harta yang bermanfaat, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.
2) Mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.
3) Dalam hal bai’ al-salam tidak boleh mendahulukan (ta’jil) tsaman, melainkan wajib mendahulukan mabi’.
4) Orang yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli (konsumen), sedangkan yang bertanggung jawab atas mabi’ adalah penjual.
5) Menurut ulama Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid dan akad tanpa menyebutkan mabi’adalah batal.
6) Mabi’ rusak sebelum serah terima adalah batal, sedangkan bila harga rusak sebelum serah terima tidak batal.
7) Tidak boleh mentasarufkan atas barang yang belum diterimanya, tetapi dibolehkan bagi penjual untuk mentasarufkan sebelum menerima.
e. Tasharruf atas mabi’ dan tsaman sebelum memegang.
1) Tasharruf mabi’ (barang)
Menurut ulama Hanafiah, mabi’ yang dapat dipindahkan tidak boleh digunakan sebelum diterima atau dipegang oleh pembeli.
2) Tasharruf tsaman (harga)
Dibolehkan tasharuf atas harga sebelum memgang sebab termasuk utang. Begitu juga dibolehkan tasharuf atas uatng-utang lainnya, seperti: mahar, upah, pengganti barang yang rusak, dan lain-lain.
Penyerahan atau pemegangan menurut ulama Hanafiah adalah penyerahan atau pembebasan antara mabi’ dan pembeli sehingga tidak ada lagi penghalang di antara keduanya. Pembeli dibolehkan tasharruf atas barang yang tadinya milik penjual.
6. Macam-Macam Jual Beli
a Jual beli yang diperbolehkan
Jual beli berdasarkan harga, dibagi menjadi empat macam:
1). Jual beli yang menguntungkan (al-Murabahah).
Yakni jual beli barang dengan harga pokok ditambah dengan sejumlah keuntungan yang disepakati dalam perjanjian.
2). Jual beli yang tidak menguntungkan (at-Tauliyah).
Yakni jual beli dengan harga aslinya.
3). Jual beli rugi (al-Khasarah).
Yakni jual beli barang di bawah harga pokok.
4). Jual beli al-Musawah.
Yakni penjual menyembunyikan harga pokoknya, tetapi kedua orang yang beraqad saling meridhai.
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat:
1) Jual beli salam (pesanan).
Yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
2) Jual beli barter (muqayadhah).
Yakni jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan celana.
3) Jual beli mutlaq.
Yakni jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
4) Jual beli alat penukar dengan alat penukar.
Yakni jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.
b Jual beli yang dilarang
Jual beli terlarang sebab syara’
1). Orang kota yang menjualkan barang orang dusun. Yang dimaksud adalah orang kota yang menjadi calo bagi orang dusun.
2). Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain atau menawar barang yang masih ditawar orang lain.
3). Berjualan ketika dikumandangkan azan Jum’at. Firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jum’ah: 9).
Yang dimaksud jual beli di sini adalah apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.
Adapun penyebab terlarangnya sebuah transaksi, menurut Adiwarman A. Karim, adalah disebabkan beberapa faktor:
1) Haram zatnya (haram li-dzatihi)
Transaksi dilarang karena objek (barang atau jasa) yang ditransaksikan haram. Misalkan: minuman keras, bangkai dan sebagainya.
2) Haram selain zatnya (haram li ghoirihi)
a). Melanggar prisip antaraddim minkum tadlis
Yaitu transaksi yang sebagian informasinya tidak diketahui oleh salah satu pihak, karena disembunyikannya informasi buruk dari pihak lainnya.
b). Melanggar prisip jangan menzalimi dan jangan dizalimi
Praktik-praktik yang melanggar prinsip ini antara lain:
(1) Rekayasa pasar.
(a) Ikhtikar yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
(b) Bai’ najasy yaitu penjual menyuruh orang lain untuk memuji barang-barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
(2) Gharar.
Merupakan jenis benda yang ditransaksikan tanpa ada kejelasan ukuran dan sifatnya ketika trasaksi berlangsung. Seperti menjual binatang yang masih dalam kandungan induknya.
(3) Riba.
Ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
3) Tidak sah atau tidak lengkap akadnya.
Karena sebuah transaksi jual beli harus terpenuhi syarat dan rukunnya. Bila syarat dan rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak syah jual beli yang dilakukan.
7. Resiko Jual Beli
Resiko dalam jual beli adalah suatu peristiwa yang mengakibatkan barang tersebut (yang dijadikan objek perjanjian jual beli) mengalami kerusakan, dan peristiwa itu memang tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak, misalnya: bencana alam (gempa bumi, banjir, gunung meletus).
Dalam ajaran Islam, hal itu merupakan sesuatu yang wajar, sebab segala sesuatu dapat terjadi sesui dengan kehendak Allah. Tidak ada daya dan upaya bagi umat manusia jika Allah SWT menghendakinya.
Sehingga adanya resiko menimbulkan konsekuensi siapa yang harus bertanggung jawab, dalam kontek jual beli mungkin menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Solusi atas keadaaan ini harus dilihat satu persatu yakni kapan kerusakan barang (objek) perjanjian jual beli itu terjadi. Untuk itu ada dua kemungkinanan, yaitu kerusakan barang sebelum serah terima atau kerusakan barang sesudah serah terima.
a. Kerusakan barang sebelum serah terima
Tentang kerusakan barang sebelum serah terima dilakukan antara penjual dan pembeli, yaitu:
1) Jika barang rusak sebagian atau seluruhnya sebelum diserahterimakan akibat dari perbuatan pembeli, maka jual beli tidak menjadi fasak (batal), akad berlangsung sediakala dan pembeli berkewajiban membayar seluruh bayaran (penuh). Karena ia penyebab kerusakan.
2) Jika kerusakan terjadi akibat perbuatan orang lain, maka pembeli boleh menentukan pilihan antara menuntut orang lain tersebut atau membatalkan akad.
3) Jual beli menjadi fasak (batal) jika barang rusak sebelum serah terima akibat perbuatan penjual atau ada bencana alam.
4) Jika sebagian rusak lantaran perbuatan penjual, pembeli tidak berkewajiban membayar terhadap kerusakan tersebut, sedangkan untuk barang yang masih utuh, dia boleh menentukan pilihan pengambilannya dengan potongan harga.
5) Jika kerusakan barang akibat ulah pembeli, pembeli tetap berkewajiban membayar. Penjual boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad atau mengambil sisa dengan membayar kekurangannya.
6) Jika kerusakan terjadi akibat bencana alam dan Tuhan yang membuat kurangnya kadar barang sehingga harga barang berkurang sesuai dengan yang rusak. Dalam keadaan seperti ini pembeli boleh menentukan pilihan, antara membatalkan akad dengan mengambil sisa atau dengan pengurangan pembayaran.
Dalam rusaknya barang sebelum serah terima Imam mazhab berbeda pendapat. Menurut Abu Hanifah dan Syafi’i: Jika barang belian rusak sebelum diserahterimakan, maka batal transaksi jual belinya. Pembeli tidak harus memberikan uangnya karena tidak adanya barang yang dibeli. Sedang menurut Imam Malik dan Ahmad: Jika barang rusak sendiri, karena cuaca misalnya, sebelum diserah terimakan tapi setelah transaksi, maka itu menjaadi tanggung jawab si pembeli. Sebab, dengan selesainya transaksi, barang belian sudah menjadi hak dan penjagaan pembeli, meski belum diserah terimakan.
b. Kerusakan barang sesudah serah terima
Menyangkut resiko barang yang terjadi sesudah serah terima barang antara penjual dan pembeli, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli. Pembeli wajib membayar seluruh harga sesua dengan yang telah diperjanjikan. Namun demikian, apabila ada alternatif lain dari penjual, misalnya: dalam bentuk penjaminan atau garansi, penjual wajib menggantikannya dengan hal yang serupa.
B. PENETAPAN HARGA
Islam memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan, nanun tidak boleh melakukan ikhtikar. Ikhtikar yaitu: mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
Dalam hal praktik tidak terpuji tersebut, maka Islam yang sifatnya rahmatan lil a’alamin mengajarkan intervensi otoritas resmi dan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan pengendalian harga (price fixing). Bila ada kenaikan harga barang diatas batas kemampuan masyarakat, maka pemerintah melakukan pengaturan dengan operasi pasar. Sedangkan, bila harga terlalu turun sehingga merugikan produsen, maka pemerintah meningkatkan pembelian atas produk tersebut dari pasar.
Dalam fiqih Islam dikenal dua istilah berbeda mengenai harga suatu barang, yaitu ats-tsaman dan ats-si’r. as-saman adalah patokan harga satuan barang, sedangkan as-si’r adalah harga yang berlaku secara aktual di pasar.
1. Al-Tsaman
Mencari keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan syara’. Dalam al-Qu’an dan hadits tidak ditemukan berapa persen keuntungan atau laba (patokan harga satuan barang) yang diperbolehkan. Tingkat laba atau keuntungan berapa pun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa kali lipat. Firma Allah Firman Allah swt. Dalam al-Qur’ân Surat al-Nisa’ ayat 29:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka.”
2. Al-tsi’r
Ulama fiqih membagi as-si’r menjadi dua macam:
a. Harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan pemerintah. Dua dari empat mazhab terkenal, Hambali dan Syafi’i, menyatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga.
b. Harga suatu komoditas yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan modal dan keuntungan wajar bagi pedagang ataupun produsen serta melihat keadaan ekonomi riil dan daya beli masyarakat. Mekanisme ini lazim al-Tas’ir al-Jabari.
Islam menghargai hak penjual dan pembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi hak keduanya. Dalam rangka melindungi hak penjual dan pembeli, Islam membolehkan bahkan mewajibkan pemerintah melakukan penetapan harag bila kenaikan harga disebabkan adanya penyimpangan antara permintaan dan penawaran.
Konsep harga yang adil telah dikenal oleh rasullulah, yang kemudian banyak menjadi pembahasan dari para ulama di masa kemudian. Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang Islami. Secara umum harga yang adil adalah : harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan (kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Penentuan harga dalam Islam ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan yang terjadi secara alami.
Dari uraian di atas dapat penulis pahami bahwa diperbolehkan bagi siapapun untuk mencari keuntungan tanpa ada batasan keuntungan tertentu selama mematuhi hukum-hukum Islam. Serta menentukan standar harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat. Namun bila terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan harga dengan merugikan pihak konsumen, tidak ada halangan bagi pihak penguasa, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, untuk membatasi keuntungan pedagang atau mematok harga. Tindakan ini dilakukan harus melalui konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait agar tidak ada yang dilangkahi maupun dirugikan hak-haknya.
Daftar Pustaka
Ash-Shawi, Abdullah al-Mushlih dan Shalah. Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluh., terj. Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004.
Anshori, Abdul Ghofur. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Citra Media, 2006.
At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam Prinsip, Dasar, dan Tujuan. terj. M. Irfan Syofwani, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004.
Shonhaji, Abdullah. Terjemahan Sunan Ibn Mâjja., Vol.3 Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993.
A Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Karim, Adiwarman Azwar. Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan. Jakarta: IIIT Indonesia, 2003.
Basyir, Ahmad Azhar. Azas-Azas Hukum Muamalat Hukum Perdata Islam. Yogyakarta: UII Press, 2000.
Ibn Hajar, Al-Hafid. Bulûgh al-Marâm. Semarang: Toha Putra, tt.
A. Mas’adi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia,2003.
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta: CV. Adipura, 2002.
Syafi’I, Racmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunah. Jilid XII, terj. Kamaludin, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1987.
Utomo, Setiawan Budi. Fiqih Aktual. Jakarta: Gema Insani, 2003.
K. Lubis, Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Abdillah, Syamsuddin Abu. Fathul Qarib Al Mujib. terj. Abu H.F. Ramadhan, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami Wa’adilatuh. Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa (etimologi) ialah menukar atau menyerahkan sesuatu barang, dengan barang lain dalam bentuk akad (perjanjian).
Secara istilah (terminologi) yang dimaksud jual beli adalah sebagai berikut:
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar merelakan.
b. تَمْلِيْكُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ بِمُعَاوَضَةٍ بِاذْنٍ شَرْعِيٍّ
Artinya: "Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan syara’.”
c. مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عَلَى سَبِيْلِ التَّرَاضِى أَوْنَقْلُ مِلْكٍ بَعَوْضٍ عَلَى
الْوَجْهِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ المَأُذُوْنِ فِيْهِ
Artinya: “Pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.”
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat penulis pahami bahwa inti jual beli ialah sesuatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, dengan alat pengganti yang dibenarkan oleh hukum Islam. Yang dimaksud alat pengganti adalah alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya. Misalnya uang rupiah.
2. Dasar Hukum Jual Beli
Adapun yang menjadi dasar hukum kebolehan jual beli didasarkan pada:
a. Ketentuan al-Qur’ân
Dalam al-Qur’ân Surat al-Baqarah: 275
• •
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Dalam al-Qur’ân Surat al-Nisa’: 29
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka .”
b. Ketentuan Al-Hadits
Adapun keterangan al-Hadits mengenai jual beli adalah sebagai berikut:
حَدَثَنَا الْعَبَّاسُ اِبْنُ اْلوَلِيْدِ الْدَمَشْقِيُّ, حَدَثَنَا مَرْوَانَ اِبْنُ مُحَمَّدٍ. حَدَثَنَا عَبْدُ الْعَزِيْزِ اِبْنُ مُحَمَّدٍ, عَنْ دَاوُدَ اِبْنُ صَا لِحٍ الْمَدَنِيْ, عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَاسَعِيْدٍ الْخُذْرِيَّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ الله ص.م ((إِنَّمَاالبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ)) (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Menawarkan kepada kami al-‘Abas ibn al-Walîd al-Dmasqiy; mewartakan kepada kami Marwân ibn Muhammad; mewartakan kepada kami ‘Abd al-Aziz dari ayahnya, dia berkata: Rasûllâh Saw bersabda: sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka.” (HR. Ibn Mâjjah).
Sabda Rasullulah SAW:
عَنْ رَفِاعَةَ بِنْ رَافِعِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ سُئِلَ اَيُّ الْكَسْبِ اَطْيَبُ ؟ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُ بَيْعٍ مَبْرُوْرٌ (رواه البزر وصحه الحاكم)
Artinya: “Dari Rifa’ah putera Rafi’, ra. Ia berkata: Bawasannya Rasullulah SAW pernah ditanya: Usaha apakah yang paling halal itu (ya Rasullulah)? Jawab beliau: Yaitu kerjanya seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrûr (HR. Bazzar dan dinilai shahih oleh Hakim).”
Yang dimaksud mabrûr dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
c. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Dari pemaparan di atas dapat penulis pahami bahwa, prinsip utama dalam jual beli adalah suka sama suka yang tidak mengandung unsur riba dan bathil, sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan baik penjual maupun pembeli. Selain itu, dalam melakukan jual beli juga harus diperhatikan mencari yang halal dengan jalan yang halal pula. Maksudnya halal yang diperbolehkan oleh agama untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan dengan cara yang sejujur-jujurnya dengan tetap mengindahkan peraturan-peraturan jual beli.
Firman Allah dalam al-Qur’ân Surat al-A’raf ayat 157
Artinya: “.........dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.........”
3. Rukun Jual Beli
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat yaitu:
a. Bây’ (penjual).
b. Musytari (pembeli)
c. Syighat (îjâb dan kabûl)
d. Ma’qûd ‘alayh (benda atau barang)
Dalam melakukan jual beli harus memenuhi rukun-rukunnya. Bila rukun tersebut salah satu saja tidak terpenuhi maka, jual beli tersebut tidak dapat dilangsungkan.
4. Syarat jual beli
Akad atau perjanjian dalam kegiatan jual beli menempati posisi yang sangat penting. Karena akad atau perjanjian ini yang membatasi hubungan atara dua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan mu’amalah tersebut baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Karena dasar dari hubungan itu adalah perbuatan atau pelaksanaan dari dua belah pihak yang melakukan akad.
Kedua belah pihak harus menghormati dan menjujung tinggi terhadap apa yang mereka akadkan atau perjanjiankan. Karena hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam al-Qur’ân Surat al-Maidah ayat 1, yang berbunyi:
…………….
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Dalam jual beli haruslah memenuhi syarat baik tentang subjeknya, tentang lafalnya, dan objeknya.
a. Syarat âqid (penjual dan pembeli)
Penjual dan pembeli selaku subjek hukum dari perjanjian jual beli harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1). Berakal sehat.
2). Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil.
3). Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa).
4). Baligh.
Setelah syarat ini terpenuhi, maka perjanjian jual beli dapat dibuat dan harus selalu didasarkan pada kesepakatan antara penjual dengan pembeli. Terkait dengan syarat kesepakatan ini, al-Qur’ân Surat al-Nisa’ ayat 29 menyatakan bahwa:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama suka”
Dalam al-Qurân Surat al-Baqarah ayat 275 juga dinyatakan bahwa:
……..وَاَحَلَ اللهُ اْلبَيْعَ جْهِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ المَأُذُ وْ نِ فِيْهِ وَحَرَمَ الرِّ بَوا......
Artinya: “……Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…..”
Jadi berdasarkan pada ketentuan ayat ini, Allah melarang adanya kesepakatan yang mengandung unsur ribawi. Karena apabila unsur riba masuk berarti di situ terjadi eksploitasi terhadap sesama. Salah satu hikmah diharamkannya riba adalah untuk mencegah penganiayaan atau perlakuan zalim pihak kreditur (pemilik uang) terhadap debitur (peminjam).
b. Syarat syighat
1). Berhadap hadapan.
Pembeli atau penjual harus menunjukkan syighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai dengan orang yang dituju. Dengan demikian, tidak syah berkata, “Saya menjual kepadamu!” Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada Ahmad,” padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2). Ditujukan pada seluruh badan yang akad.
Tidak syah mengatakan, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu.”
3). Kabûl diucapkan oleh orang yang dituju dalam îjâb.
Orang yang mengucapkan kabûl haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan îjâb, kecuali jika diwakilkan.
4). Harus menyebutkan barang atau harga.
5). Ketika mengucapkan syighat harus disertai niat (maksud).
6). Pengucapan îjâb dan kabûl harus sempurna.
7). Îjâb kabûl tidak terpisah.
Antara îjâb dan kabûl tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
8). Antara îjâb dan kabûl tidak terpisah dengan pernyataan lain.
9). Tidak berubah lafaz.
Lafaz îjâb tidak boleh berubah, seperti perkataan, “Saya jual dengan lima ribu, kemudian berkata lagi, Saya menjualnya dengan sepuluh ribu,” padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang pertama dan sebelum ada kabûl.
10). Bersesuaian dengan îjâb dan kabûl secara sempurna.
11). Tidak dikaitkan dengan sesuatu.
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad.
12). Tidak dikaitkan dengan waktu.
Adapun menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Azas-Azas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) syighat akad dapat dilakukan dengan secara lisan, tulisan, dan isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya îjâb dan kabûl, dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasan dalam îjâb dan kabûl. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
………………..
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dari Surat al-Baqarah ayat 282 dan kaidah hukum Islam di atas dapat penulis pahami bahwa pencatatan (penulisan) sangat penting dilakukan karena salah satu hikmahnya adalah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan atau perselisihan dikemudian hari sehingga perselisihan dapat dihindari sekecil mungkin dan tidak ada pihak yang dirugikan. Karena manfaat pencatatan ini sangat besar dalam bermu’amalah di bandingkan kemadharatannya.
c. Syarat ma’qûd ‘alayh (barang)
1) Suci atau bersih barangnya.
Dalam ajaran Islam dilarang melakukan jual beli barang-barang yang mengandung unsur najis ataupun barang-barang yang nyata-nyata diharamkan oleh ajaran agama. Firman Allah dalam al-Qur’ân Surat al-A’raf ayat 157
Artinya: “.........dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.........”
2) Dapat dimanfaatkan.
Pengertian manfaat ini, tentu saja bersifat relatif. Karena pada dasarnya setiap barang mempunyai manfaat, sehingga untuk mengukur kriteria kemanfaatan ini hendaknya memakai kriteria agama. Pemanfaatan barang jangan sampai bertentangan dengan agama, peraturan perundang-undangan, maupun ketertiban umum yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.
3) Milik orang melakukan akad atau yang diberi izin pemilik.
Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus benar-benar milik penjual secara syah. Dengan demikian jual beli yang dilakukan terhadap barang yang bukan miliknya atau tanpa izin pemiliknya adalah batal.
4) Mampu menyerahkan.
Dalam artian barang harus sudah ada dan diketahui baik wujud, jumlah atau kriteria barang pada saat perjanjian jual beli tersebut diadakan.
5) Mengetahui.
Artinya, bahwa terhadap barang yang menjadi objek jual beli, harus secara jelas diketahui spesifikasinya, jumlahnya, timbangannya, dan kualitasnya.
Secara umum syarat sah akad adalah syarat-syarat yang berhubungan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu: ketidak jelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemadaratan, dan persaratan yang merusak lainnya.
Dari pemaparan di atas dapat penulis pahami bahwa, dalam praktek jual beli selain rukun juga harus dipenuhinya syarat-syaratnya. Bila rukun dan syarat-syaratnya sudah terpenuhi maka jual beli tersebut termasuk jual beli yang mabrûr yaitu jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
5. Tsaman (Harga) dan Mabi’ (Barang atau Objek Jual Beli)
a. Pengertian tsaman (harga) dan Mabi’
Secara umum, mabi’ adalah مَا يَتَعَيَّنُ بِالتَّعْيِيْنِ (perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan). Sedangkan pengertian harga secara umum, adalah مَا لاَ يَتَعَيَّنُ بِالتَّعْيِيْنِ (perkara yang tidak tentu dengan ditentukan).
Definisi di atas, sangat umum sebab sangat bergantung pada bentuk dan barang yang diperjualbelikan, adakalanya mabi’ tidak memerlukan penentuan. Sebaliknya, harga memerlukan penentuan, seperti penentuan uang muka.
Imam Hanafiyah membedakan objek jual beli menjadi dua: pertama mabi’, yakni barang yang dijual, kedua tsaman atau harga. Menurut mereka mabi’ adalah sesuatu yang dapat dikenali (dapat dibedakan) melalui sejumlah kriteria tertentu. Sedangkan harga adalah sesuatu yang tidak dapat dikenali (dibedakan dari lainya) melalui kriteria tertentu. Harga lazimnya berupa mata uang atau sesuatu yang dapat menggantikan fungsinya, seperti gandum, minyak atau benda-benda lain yang dapat ditakar atau ditimbang. Harga juga dapat berupa barang dengan kriteria tertentu yang ditangguhkan pembayarannya. Misalnya, jual beli setakar gula dengan harga Rp 1000,- atau dengan setakar kedelai secara tempo. Maka setakar gula adalah mabi’ sedangkan uang Rp 1000,- dan setakar kedelai adalah tsaman atau harga.
Menurut Imam Syafií dan Jafar berbendapat bahwa, harga dan mabi’ termasuk dua nama yang berbeda bentuknya, tetapi memiliki arti sama, perbedaan di antara keduanya dalam hukum adalah penggunaan huruf ba’(dengan).
b. Perbedaan tsaman (harga), Nilai, dan Utang.
1) Harga
Harga hanya terjadi pada akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya, harga dijadikan penukar barang yang diridhai oleh kedua pihak yang akad.
2) Nilai sesuatu
Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia
3) Utang
Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam urusan harta, yang keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam, yakni keharusan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu untuk orang lain, seperti berhutang dan lain-lain.
c. Perbedaan antara mabi’dan tsaman (harga)
Dalam kaidah umum tentang mabi’dan harga yaitu:
اِنْ كُلُّ مَا أَمْكَنَ أَنْيَكُوْنَ مَبِيْعًا أَمْكَنَ أَنَيَكُوْنَ ثَمَنًا وَلاَ عَكْسً
Artinya: “Segala sesuatu yang dapat berfungsi sebagai mabi’ dapat pula difungsikan sebagi tsaman, namun tidak berlaku yang sebaliknya”
Di antara perbedaan antara mabi’ dan tsaman adalah:
1) Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah mabi’.
2) Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi’dan pertukarannya adalah harga.
d. Ketetapan mabi’ dan tsaman
Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ dan tsaman antara lain adalah:
1) Mabi’ disyaratkan harus harta yang bermanfaat, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.
2) Mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.
3) Dalam hal bai’ al-salam tidak boleh mendahulukan (ta’jil) tsaman, melainkan wajib mendahulukan mabi’.
4) Orang yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli (konsumen), sedangkan yang bertanggung jawab atas mabi’ adalah penjual.
5) Menurut ulama Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid dan akad tanpa menyebutkan mabi’adalah batal.
6) Mabi’ rusak sebelum serah terima adalah batal, sedangkan bila harga rusak sebelum serah terima tidak batal.
7) Tidak boleh mentasarufkan atas barang yang belum diterimanya, tetapi dibolehkan bagi penjual untuk mentasarufkan sebelum menerima.
e. Tasharruf atas mabi’ dan tsaman sebelum memegang.
1) Tasharruf mabi’ (barang)
Menurut ulama Hanafiah, mabi’ yang dapat dipindahkan tidak boleh digunakan sebelum diterima atau dipegang oleh pembeli.
2) Tasharruf tsaman (harga)
Dibolehkan tasharuf atas harga sebelum memgang sebab termasuk utang. Begitu juga dibolehkan tasharuf atas uatng-utang lainnya, seperti: mahar, upah, pengganti barang yang rusak, dan lain-lain.
Penyerahan atau pemegangan menurut ulama Hanafiah adalah penyerahan atau pembebasan antara mabi’ dan pembeli sehingga tidak ada lagi penghalang di antara keduanya. Pembeli dibolehkan tasharruf atas barang yang tadinya milik penjual.
6. Macam-Macam Jual Beli
a Jual beli yang diperbolehkan
Jual beli berdasarkan harga, dibagi menjadi empat macam:
1). Jual beli yang menguntungkan (al-Murabahah).
Yakni jual beli barang dengan harga pokok ditambah dengan sejumlah keuntungan yang disepakati dalam perjanjian.
2). Jual beli yang tidak menguntungkan (at-Tauliyah).
Yakni jual beli dengan harga aslinya.
3). Jual beli rugi (al-Khasarah).
Yakni jual beli barang di bawah harga pokok.
4). Jual beli al-Musawah.
Yakni penjual menyembunyikan harga pokoknya, tetapi kedua orang yang beraqad saling meridhai.
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat:
1) Jual beli salam (pesanan).
Yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
2) Jual beli barter (muqayadhah).
Yakni jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan celana.
3) Jual beli mutlaq.
Yakni jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
4) Jual beli alat penukar dengan alat penukar.
Yakni jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.
b Jual beli yang dilarang
Jual beli terlarang sebab syara’
1). Orang kota yang menjualkan barang orang dusun. Yang dimaksud adalah orang kota yang menjadi calo bagi orang dusun.
2). Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain atau menawar barang yang masih ditawar orang lain.
3). Berjualan ketika dikumandangkan azan Jum’at. Firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jum’ah: 9).
Yang dimaksud jual beli di sini adalah apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.
Adapun penyebab terlarangnya sebuah transaksi, menurut Adiwarman A. Karim, adalah disebabkan beberapa faktor:
1) Haram zatnya (haram li-dzatihi)
Transaksi dilarang karena objek (barang atau jasa) yang ditransaksikan haram. Misalkan: minuman keras, bangkai dan sebagainya.
2) Haram selain zatnya (haram li ghoirihi)
a). Melanggar prisip antaraddim minkum tadlis
Yaitu transaksi yang sebagian informasinya tidak diketahui oleh salah satu pihak, karena disembunyikannya informasi buruk dari pihak lainnya.
b). Melanggar prisip jangan menzalimi dan jangan dizalimi
Praktik-praktik yang melanggar prinsip ini antara lain:
(1) Rekayasa pasar.
(a) Ikhtikar yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
(b) Bai’ najasy yaitu penjual menyuruh orang lain untuk memuji barang-barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
(2) Gharar.
Merupakan jenis benda yang ditransaksikan tanpa ada kejelasan ukuran dan sifatnya ketika trasaksi berlangsung. Seperti menjual binatang yang masih dalam kandungan induknya.
(3) Riba.
Ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
3) Tidak sah atau tidak lengkap akadnya.
Karena sebuah transaksi jual beli harus terpenuhi syarat dan rukunnya. Bila syarat dan rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak syah jual beli yang dilakukan.
7. Resiko Jual Beli
Resiko dalam jual beli adalah suatu peristiwa yang mengakibatkan barang tersebut (yang dijadikan objek perjanjian jual beli) mengalami kerusakan, dan peristiwa itu memang tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak, misalnya: bencana alam (gempa bumi, banjir, gunung meletus).
Dalam ajaran Islam, hal itu merupakan sesuatu yang wajar, sebab segala sesuatu dapat terjadi sesui dengan kehendak Allah. Tidak ada daya dan upaya bagi umat manusia jika Allah SWT menghendakinya.
Sehingga adanya resiko menimbulkan konsekuensi siapa yang harus bertanggung jawab, dalam kontek jual beli mungkin menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Solusi atas keadaaan ini harus dilihat satu persatu yakni kapan kerusakan barang (objek) perjanjian jual beli itu terjadi. Untuk itu ada dua kemungkinanan, yaitu kerusakan barang sebelum serah terima atau kerusakan barang sesudah serah terima.
a. Kerusakan barang sebelum serah terima
Tentang kerusakan barang sebelum serah terima dilakukan antara penjual dan pembeli, yaitu:
1) Jika barang rusak sebagian atau seluruhnya sebelum diserahterimakan akibat dari perbuatan pembeli, maka jual beli tidak menjadi fasak (batal), akad berlangsung sediakala dan pembeli berkewajiban membayar seluruh bayaran (penuh). Karena ia penyebab kerusakan.
2) Jika kerusakan terjadi akibat perbuatan orang lain, maka pembeli boleh menentukan pilihan antara menuntut orang lain tersebut atau membatalkan akad.
3) Jual beli menjadi fasak (batal) jika barang rusak sebelum serah terima akibat perbuatan penjual atau ada bencana alam.
4) Jika sebagian rusak lantaran perbuatan penjual, pembeli tidak berkewajiban membayar terhadap kerusakan tersebut, sedangkan untuk barang yang masih utuh, dia boleh menentukan pilihan pengambilannya dengan potongan harga.
5) Jika kerusakan barang akibat ulah pembeli, pembeli tetap berkewajiban membayar. Penjual boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad atau mengambil sisa dengan membayar kekurangannya.
6) Jika kerusakan terjadi akibat bencana alam dan Tuhan yang membuat kurangnya kadar barang sehingga harga barang berkurang sesuai dengan yang rusak. Dalam keadaan seperti ini pembeli boleh menentukan pilihan, antara membatalkan akad dengan mengambil sisa atau dengan pengurangan pembayaran.
Dalam rusaknya barang sebelum serah terima Imam mazhab berbeda pendapat. Menurut Abu Hanifah dan Syafi’i: Jika barang belian rusak sebelum diserahterimakan, maka batal transaksi jual belinya. Pembeli tidak harus memberikan uangnya karena tidak adanya barang yang dibeli. Sedang menurut Imam Malik dan Ahmad: Jika barang rusak sendiri, karena cuaca misalnya, sebelum diserah terimakan tapi setelah transaksi, maka itu menjaadi tanggung jawab si pembeli. Sebab, dengan selesainya transaksi, barang belian sudah menjadi hak dan penjagaan pembeli, meski belum diserah terimakan.
b. Kerusakan barang sesudah serah terima
Menyangkut resiko barang yang terjadi sesudah serah terima barang antara penjual dan pembeli, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli. Pembeli wajib membayar seluruh harga sesua dengan yang telah diperjanjikan. Namun demikian, apabila ada alternatif lain dari penjual, misalnya: dalam bentuk penjaminan atau garansi, penjual wajib menggantikannya dengan hal yang serupa.
B. PENETAPAN HARGA
Islam memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan, nanun tidak boleh melakukan ikhtikar. Ikhtikar yaitu: mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
Dalam hal praktik tidak terpuji tersebut, maka Islam yang sifatnya rahmatan lil a’alamin mengajarkan intervensi otoritas resmi dan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan pengendalian harga (price fixing). Bila ada kenaikan harga barang diatas batas kemampuan masyarakat, maka pemerintah melakukan pengaturan dengan operasi pasar. Sedangkan, bila harga terlalu turun sehingga merugikan produsen, maka pemerintah meningkatkan pembelian atas produk tersebut dari pasar.
Dalam fiqih Islam dikenal dua istilah berbeda mengenai harga suatu barang, yaitu ats-tsaman dan ats-si’r. as-saman adalah patokan harga satuan barang, sedangkan as-si’r adalah harga yang berlaku secara aktual di pasar.
1. Al-Tsaman
Mencari keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan syara’. Dalam al-Qu’an dan hadits tidak ditemukan berapa persen keuntungan atau laba (patokan harga satuan barang) yang diperbolehkan. Tingkat laba atau keuntungan berapa pun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa kali lipat. Firma Allah Firman Allah swt. Dalam al-Qur’ân Surat al-Nisa’ ayat 29:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka.”
2. Al-tsi’r
Ulama fiqih membagi as-si’r menjadi dua macam:
a. Harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan pemerintah. Dua dari empat mazhab terkenal, Hambali dan Syafi’i, menyatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga.
b. Harga suatu komoditas yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan modal dan keuntungan wajar bagi pedagang ataupun produsen serta melihat keadaan ekonomi riil dan daya beli masyarakat. Mekanisme ini lazim al-Tas’ir al-Jabari.
Islam menghargai hak penjual dan pembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi hak keduanya. Dalam rangka melindungi hak penjual dan pembeli, Islam membolehkan bahkan mewajibkan pemerintah melakukan penetapan harag bila kenaikan harga disebabkan adanya penyimpangan antara permintaan dan penawaran.
Konsep harga yang adil telah dikenal oleh rasullulah, yang kemudian banyak menjadi pembahasan dari para ulama di masa kemudian. Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang Islami. Secara umum harga yang adil adalah : harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan (kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Penentuan harga dalam Islam ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan yang terjadi secara alami.
Dari uraian di atas dapat penulis pahami bahwa diperbolehkan bagi siapapun untuk mencari keuntungan tanpa ada batasan keuntungan tertentu selama mematuhi hukum-hukum Islam. Serta menentukan standar harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat. Namun bila terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan harga dengan merugikan pihak konsumen, tidak ada halangan bagi pihak penguasa, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, untuk membatasi keuntungan pedagang atau mematok harga. Tindakan ini dilakukan harus melalui konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait agar tidak ada yang dilangkahi maupun dirugikan hak-haknya.
Daftar Pustaka
Ash-Shawi, Abdullah al-Mushlih dan Shalah. Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluh., terj. Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004.
Anshori, Abdul Ghofur. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Citra Media, 2006.
At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam Prinsip, Dasar, dan Tujuan. terj. M. Irfan Syofwani, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004.
Shonhaji, Abdullah. Terjemahan Sunan Ibn Mâjja., Vol.3 Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993.
A Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Karim, Adiwarman Azwar. Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan. Jakarta: IIIT Indonesia, 2003.
Basyir, Ahmad Azhar. Azas-Azas Hukum Muamalat Hukum Perdata Islam. Yogyakarta: UII Press, 2000.
Ibn Hajar, Al-Hafid. Bulûgh al-Marâm. Semarang: Toha Putra, tt.
A. Mas’adi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia,2003.
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta: CV. Adipura, 2002.
Syafi’I, Racmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunah. Jilid XII, terj. Kamaludin, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1987.
Utomo, Setiawan Budi. Fiqih Aktual. Jakarta: Gema Insani, 2003.
K. Lubis, Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Abdillah, Syamsuddin Abu. Fathul Qarib Al Mujib. terj. Abu H.F. Ramadhan, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami Wa’adilatuh. Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment