ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Lafal “Muhkam” dan “Mutasyabih” adalah bentuk mudzakar untuk menyifati kata-kata yang mudzakar, sedangkan lafal “Muhkamah” dan “Mutasyabihat” adalah bentuk muannats untuk menyifati kata-kata yang muannats pula. Kedua lafal tersebut mempunyai banyak arti, baik dari segi etimologi maupun terminologi.
Secara etimologi, berasal dari kata Ihkam berarti banyak, tetapi dalam banyak arti tersebut mempunyai satu pengertian, yaitu menolak dari kerusakan. Selain itu, juga berasal dari kata hakama-hukm yang artinya memutuskan antara dua hal atau lebih perkara. Hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang bertikai. Firman Allah:
           

Artinya : “Inilah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Tuhan yang maha bijaksana dan maha tahu”. (QS. Huud,11 : 1)
Sedangkan mutasyabih berasal dari kata syahada, yaitu dua hal yang serupa dengan yang lain. Syubhah ialah dua hal yang tidak dapat dibedakan karena adanya kemiripan baik konkrit maupun abstrak (kitaban mutasyabihan matsani). Firman Allah :
 •     •       (الروم : 23).
Artinya : ”Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang mutasyabih dan berulang-ulang karenanya bergetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.
Secara terminologi, pengertian kedua istilah tersebut dikemukakan sebagai berikut:
1. Menurut Husain bin Muhammad bin Hubaib al-Nisabur, membagi dalam tiga masalah:
a. Ayat-ayat yang muhkam (QS. Hud: 1).
b. Ayat-ayat yang mutasyabih (QS. al-Zumar: 23).
c. Membenarkan bahwa ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih terdapat dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran: 7).
Muhkam adalah perkara yang mencegah atau menolak dan menjelaskan antara halal dan haram. Mutasyabih adalah lafad yang secara dhahir dan maknanya berbeda.
2. Menurut sebagian ulama, ayat-ayat muhkam tidak memerlukan penjelasan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya atau masih memerlukan penjelasan.
3. Ulama golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang diketahui maksudnya, baik sudah jelas artinya maupun karena dita’wilkan. Lafal mutasyabih adalah lafal yang pengetahuannya dimonopoli oleh Allah SWT. Misal, hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf muqaththa’ah.
4. Imam Fakhrudin Ar-Razi berpendapat, lafal muhkam ialah lafal menunjukkan makna kuat, seperti nash yang jelas. lafal mutasyabih adalah petunjuknya tidak kuat, seperti lafal global, musykil dan dita’wilkan.
5. Ikrimah dan Qatadah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang maknanya dapat diamalkan karena jelas dan tegas. Lafal mutasyabih adalah lafal yang maknanya tidak perlu diamalkan, cukup diimani atau diyakini eksistensinya saja.
Jadi kesimpulan dari pengertian di atas bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya, menolak atau membedakan yang halal dan haram, menunjukkan makna yang kuat serta dapat diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang belum dapat dibedakan karena ada kemiripan, yang masih memerlukan penjelasan karena hanya Allah yang mengetahui maksudnya, serta tidak kuat petunjuknya dan tidak perlu diamalkan.

B. Sebab-sebab Adanya Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat muhkam sudah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali Imran: 7 dan QS. Hud: 1, serta kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat al-Qur’an itu rapi dan urut, mudah dipahami, tidak menyulitkan serta tidak samar artinya, dan dapat diterima akal.
Sebab adanya ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an ialah karena kesamaran maksud syarak ayat-ayatnya yang sulit dipahami, dita’wilkan dan peetnjuknya tidak tegas, karena pengetahuannya dimonopoli oleh Allah.
Menurut al-Raghib al-Asfahani, membagi mutasyabih dalam tiga hal:
1. Kesamaran Lafal
a. Kesamaran dalam lafal mufrad, yaitu tidak jelasnya gharib atau musytarak.
Contoh :
 Pada ayat   (QS. Abasa : 31), berarti dan buah-buahan serta rerumputan. Tetapi dalam ayat   • (QS. Abasa : 32), berarti untuk kesenanganmu dan binatang-binatang ternakmu. Sehingga jelas bahwa arti  adalah rerumputan.
 Pada ayat باليمين فراغ عليهم ضربا ( QS. Shaad: 93), berarti lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya atau dengan kuatnya atau sesuai dengan sumpahnya. Kata اليمين ada argumen mengartikan sebagai sumpah Nabi Ibrahim yang akan menghapus berhala Raja Namrud, sebagaiman ditegaskan dalam QS. al-Anbiya : 57.
 •      
Artinya: “Demi Allah, Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.
Adapun ayat mutasyabih karena samar dalam lafalnya yaitu huruf muqaththa’ah, seperti الم طه، حم، يس، كهعس، dsb.
b. Kesamaran lafal murakkab (lafal yang tersusun dalam kalimat)
 Contoh Tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas (QS. an-Nisa : 3)
              
Ayat ini sukar dipahami terjemahannya, dan apabila ayatnya diperpanjang (ditambah), maka keterangannya lebih jelas.
      لوتزوجتموهنّ         
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”.
 Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu karena terlalu luas, seperti dalam ayat-ayat لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ (tidak ada sesuatupun yang seperti-Nya). Ayat tersebut kelebihan huruf (ك) sehingga menjadi samar artinya.
 Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab karena susunannya kurang tertib. (QS. al-Kahfi : 1)
           
“ Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan[871] di dalamnya”.
Ayat tersebut kurang tertib, kemudian dirubah menjadi:
       قَيِّمًا    

2. Kesamaran makna ayat
Contohnya, makna dari sifat-sifat Allah SWT, seperti Rahman Rahim-Nya, sifat Qudrat Iradatnya, hari kiamat, kenikmatan kubur, surga, neraka, dan sebagainya. Hal-hal tersebut samar karena lafalnya tidak terjangkau oleh akal.
3. Kesamaran lafal dan makna ayat
Contoh : QS. Al-Baqarah : 189.
          • 
Artinya: “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa”.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kebiasaan (adat istiadat) bangsa Arab pada masa Jahiliyyah. Apabila ayat tersebut ditambah menjadi
ان كنتم محرمين حج او عمرةlebih mudah dimengerti.
C. Macam-macam Ayat Mutasyabih
1. Ayat atau lafad yang tidak dapat diketahui hakikatnya, seperti hari kiamat, daabhatul-ardhi (sejenis binatang yang akan muncul pada saat menjelang kehancuran alam semesta), (QS. an-Naml: 82).
2. Ayat mutasyabih yang diketahui maknanya oleh manusia, seperti lafadz-lafadz yang aneh dan hukum-hukum yang tertutup. Misalnya merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak menqayidkan yang mutlak dan sebagainya.
3. Ayat-ayat mutasyabih yang khusus hanya diketahui maknanya oleh orang-orang yang ilmunya dalam dan tidak diketahui selain mereka (QS. Ali Imran: 7).

D. Pandangan Mengenai Ayat-ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Allah di antaranya:
1. ”....... Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy Qs. At-Thaha : 5 الرحمن على العرشاستوى
2. ”Dan datanglah Tuhanmu, sedang Malaikat berbaris”. Qs. Al-Fajr : 2 وجاء ربّك والملك صفا صفا
3. “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahman: 27) ويبقى وجه ربك دو الجلال والإكرام
4. ”......Dan supaya diasuh atas mataku”. ولتصنع عيخى
5. ”Tangan Allah di atas tangan mereka”. يد الله فوق ايديهم
6. ”Dan Allah memperingatkan kamu terhadap dirinya”. (QS. Ali- Imron : 28). ويخذركم الله نفسه
Dari ayat-ayat di atas jelaslah terdapat kat-kata “bersemayam”, “dating”, “di atas”,”sisi”, “wajah”, “mata”, “tangan”, dan “diri”, yang dijadikan sifat bagi Allah (Mutasyabih al-Shifat). Shubhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam 2 madzhab:
1. Madzhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah. Mereka mensucikan Allah dan mengimani serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya pada Allah sendiri. Mereka juga disebut madzhab mufawwidah (Tafwid). Ketika Imam Malik ditanya tentang istiwa’, dia berkata:
اَلاِْسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَاَظُنُّكَ رَجُلَ السُّوْءِ اَخْرِجُوْهُ عَنِّى
”Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat, keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya”.
Secara lahir makna, istiwa’ jelas diketahui setiap orang. Akan tetapi pengertian yang demikian akan membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil dengan Allah. Karena itulah, bagaimana cara istiwa’ di sisi Allah tidak diketahui, kemudian mempertanyakannya untuk mengetahui maksud sebenarnya menurut syyariat dipandang bid’ah (mengada-ada). Dalam menrapkan sistem ini mereka berargumen aqli dan naqli. Argumen Aqli adalah menentukan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya di kalangan bangsa Arab. Adapun argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar sahabat, di antaranya: HR. Bukhari Muslim, hadits yang dikeluarkan oleh Mardawaih, hadits yang dikeluarkan al-Darimi.
2. Madzhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan dzat Allah. Karena itu disebut ”Muawwilah” (Madzhab Takwil). Mereka memaknakan istiwa’ dengan ketinggian abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan kedatangan perintah-Nya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, ”sisi” Allah dengan hak Allah, ”wajah” dengan zat, ”mata” dengan pengawasan, ” tangan” dengan kekuasaan, dan ”diri” dengan siksa. Semua lafal yang mengandung makna ”cinta”, ’murka”, dan ”malu”, bagi Allah ditakwilkan dengan makna majaz yang terdekat. Mereka berkata:
كُلُّ صِفَةٍ يَسْتَحِيْلُ حَقِيْقَتُهَا عَلَى اللهِ تَعَالَى تُفَسَّرُ بِلاَزِمِهَا
”setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Allah ditafsirkan (ditakwilkan) dengan kelazimannya”.

E. Faedah Ayat Muhkam dan Mutasyabih
1. Hikmah ayat muhkam.
a. Menjadi rahmat bagi manusia.
b. Memudahkan untuk mengetahui makna dan maksudnya.
c. Mengamalkan isi kandungan al-Qur’an.
d. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan.
e. Mempermudah penafsiran.
f. Membantu berdakwah.
g. Mempermudah menghafal al-Qur’an.
2. Hikmah ayat mutasyabih.
a. Rahmat Allah SWT.
b. Ujian iman umat manusia.
c. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia.
d. Menjadikan giat dalam belajar.
e. Memperlihatkan kemu’jizatan al-Qur’an.
f. Memudahkan pemahaman al-Qur’an.
g. Menambah pahala.
h. Membantu mempelajari disiplin ilmu pengetahuan.
i. Menggunakan dalil aqli dan naqli.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Abu. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Penerbit AMZAH, 2002.
DJalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2002.
Dkk, Saifullah. Ulumul Qur’an. Ponorogo: Prodial Pertama Sejati (PPS) Press, 2004.
Shalih, Subhi. Mahabits fi Ulumil-Qur’an, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: pustaka Firdaus, 1999.
Syafi’I, Jalaludin As Suyuti. Al Itqan fi ‘Ulumul Qur’an 3. Libanon: Mu’sasatul Kitab as Saqafih, 1996.
Zarqani, Muhammad Abd al-‘Adzim. Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur’an 2. Darul Fikr.
Fadhil, Fadhil Abdul Rohmah bil. Al-Qur’an al-Karim. Kudus: Menara Kudus, 2006.
Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an 2 (Libanon: Darul fikr, 1988), 79.
Izzan, Ahmad. ‘Ulumul Qur’an telaah Tekstualitas dan Kontestualitas Al-Qur’an. Bandung: Humaniora, 2009.
Rofi’I, Ahmad Syadali dan Ahmad. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

0 comments:

Post a Comment