KONSEP TIPOLOGI ILMU DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-FILOSOFIS

A. Perspektif Islam Dalam al-Qur’an Tentang Ilmu.
Perspektif al-Qur’an (Islam) tentang ilmu, dapat diketahui dari wahyu pertama. Dari wahyu tersebut tersirat bahwa mu’jizat Islam yang paling utama adalah ilmu. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu kalimat yang terbentuk dari akar katanya ‘alima, ya’lamu mempunyai arti kejelasan. Kata ‘alima, ya’lamu berbeda dengan ‘a’rafa, ya’rafu (mengetahui), arif (yang mengetahui), dan ma’rifah (pengetahuan). Allah SWT tidak dinamakan arif (yang mengetahui), tetapi ‘alim (yang mengetahui). ‘Alima, ya’lamu digunakan Allah SWT dalam al-Qur’an untuk hal-hal yang diketahui-Nya, walaupun ghaib, tersembunyi atau dirahasiakan. Hal ini bisa diperhatikan pada beberapa ayat al-Qur’an antara lain sebagai berikut: Ya’lamu mā fi al-arhām (mengetahui sesuatu yang berda di dalam rahim), ya’lamu mā fi al-samāwati wa mā fi al-ardhi (mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi).
Dalam perspektif Islam, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul dari makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhafilahan. Manusia menurut al-Qur’an, memilki potensi untuk meraih ilmu dan memerintahkan manusia untuk mencari ilmu. Dan berkali-kali pula al-Qur’an dan hadits Rasullulah SAW menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang mukmin yang mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-mujadilah ayat 11:
        

Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.

B. Aliran-Aliran Utama Dalam Pemikiran Pendidikan Islam (Tokoh, Pemikiran, Dan Implikasinya).

1. Aliran Konservatif (al-Muhafidz)
a. Tokoh
Tokoh-tokoh aliran pemikiran pendidikan ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnuu Jama’ah, Sahnun, ibnuu Hajar al-Haitamid al-Qabisi.

b. Pemikiran
Aliran ini dalam bergumul dengan persoalan pendidikan cenderung bersikap murni keagamaan. Mereka memaknai ilmu dengan pengertian sempit, yakni hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang (hidup di dunia) yang jelas-jelas akan membawa manfaat kelak di akhirat.
Penuntut ilmu berkeharusan mengawali belajarnya dengan Kitabullah al-Qur’an. Ia berusaha menghafalkan dan mampu menafsirkannya. Ulumul Qur’an karena itu merupakan induk dari semua ilmu, lalu dilanjutkan belajar al-Hadits dan Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu, dan Sharaf.
Ragam ilmu, menurut ilmu ini diklasifikasikan menjadi:
Pertama, ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu, yaitu ilmu tentang tata cara melakukan kewajiban ilmu yang sudah tiba saatnya dan ilmu-ilmu tentang kewajiban-kewajiban agama (Ulum al-Fara’idl al-Diniyyah).
Kedua, ilmu yang wajib kifayah untuk dipelajari, yaitu ilmu yang dibutuhkan demi tegaknya urusan kehidupan dunia, semisal ilmu Kedokteran yang sangat krusial bagi pemeliharaan kesehatan badan, ilmu tentang pembekamanhujamah dan ilmu Hitung.
Al-Thusi menganalogikan jenis ilmu yang pertama dengan makanan pokok, sedangkan jenis ilmu yang kedua dianalogikan dengan obat yang hanya dimakan sewaktu terpaksa.
Pandangan “konservatif” tersebut mengarah pada konsep hierarki nilai yang menstrukturkan ragam ilmu secara vertikal sesuai dengan penilaian mereka tentang keutamaan masing-masing ilmu . Hierarki tersebut menyingkap “arti penting” yang mereka sandarkan pada masing-masing ilmu. Setelah memabgi potensi manusia yang mengejawantah ke dalam ragam pengetahuan berdasar prinsip tujuan keagamaan, menjadikan fungsinya sebagai parameter keutamaan di antara berbagai ilmu, al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan, yaitu pengetahuan tentang jalan menuju akhirat, hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal busi. Rasio adalah sifat manusia mampu menerima amanat dari Allah dan dengannya pula mampu “mendekat” di sisi-Nya.

c. Implikasi
Menurut al-Ghazali ilmu-ilmu cabang, ilmu-ilmu alat dan ilmu-ilmu pelengkap termasuk di dalamnya Filsafat dibagi menjadi empat bidang:
Pertama, ilmu Ukur dan ilmu Hitung. Disiplin ilmu ini diperbolehkan untuk mempelajari dan dilarang hanya bila jelas-jelas membahayakan bagi yang bersangkutan karena dapat mengantarkannya ke ilmu yang tercela. Kedua, ilmu Mantik (Logika), yaiut ilmu yang berkenaan dengan bentuk dalil (argumentasi), syarat-syaratnya, bentuk beragumentasi dan syarat-syaratnya. Unsure dasar ilmu ini masuk ke dalam ilmu Kalam. Ketiga, ilmu ketuhanan (Teologi), yaitu ilmu yang berisi kajian tentang zdat Tuhan. Keempat, ilmu kealaman. Sebagian ilmu ini bertentangan dengan ilmu syara’, agama dan kebenaran. Inilah bentuk kebodohan dan bukan ilmu pengetahuan; sebagian lainnya mengkaji tentang anatomui tubuh, rincian organ-organ dan perubahan-perubahannya. Hal ini mirip dengan pandangan para dokter. Hanya saja dokter ilmu lebih unggul dan lebih dibutuhkan.

2. Aliran Religius-Rasional (al-Diniy-al-‘Aqlani)
a. Tokoh
Di antara tokoh aliran Religius-Rasional yang dapat disebutkan adalah: kelompok Ikhwan al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih. Diakui bahwa, kelompok Ikhwan al-Shafa, banyak bicara atas nama aliran ini mereka secara “ensiklopedis” telah mengkolaborasi gagasan-gagasan penting, aliran Relegius Rasional. Karena itu, sudah sepantasnya jika kelompok Ikhwan mendapat porsi ulasan yang lebih banyak.

b. Pemikiran
Tidak jauh berbeda pemikiran kalangan Relegius Rasional dengan pemikiran kalangan “tradisonalis-tekstualis” (Naqliyyun) atau konservatif dalam hal realisasi pendidikan dengan tujuan agamawi. Ikhwan al-Shafa mengakui bahwa semua ilmu dan sastra yang tidak mengantarkan pemiliknya menuju concern terhadap akhirat, dan tidak memberikan makna sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian hanya akan menjadi boomerang bagi si pemilik tadi kelak di akhirat. Namun kalangan Relegius Rasional tampak punya punya perbedaan sewaktu “mengngumuli” persoalan pendidikan, karena cenderung bersikap rasionalis-filosofis. Kecenderungan rasionalis-filosofis itu secara eksplisit terungkap dalam rumusan mereka tentang ilmu dan belajar yang jauh berbeda dengan rumusan kalangan tradisionalis-tekstualis.
Ikhwan al-Shafa merumuskan ilmu sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui”. Lawan dari ilmu adalah kebodohan, yaitu tiadanya gmbaran yang diketahui pada jiwanya. Ketahuilah bahwa para ilmuwan secara riil-aktual berilmu, sedangkan jiwa para pelajar itu, berilmu secara potensial. Belajar dan mengajar tiada lain adalah mengaktualisasikan hal-hal potensial, melahirkan hal-hal yang “terpendam” dalam jiwa. Aktivitas seperti itu bagi guru (orang yang berilmu) dinamakan dengan mengajar, dan bagi pelajar dinamakan dengan belajar.
Aliran Relegius-Rasional benyak membangun konsep-konsepnya dari pemikiran filsafat Yunani dengan pandangan-pandangan dasar dari orientasi keagamaan mereka.
Hal pertama yang menjadi sasaran pbidik memperhati atau pengkaji pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa dan tokoh-tokoh lain yang sealiran adalah pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani dalam berbagai segi, sampai-sampai mereka dijuluki “pemburu” hikmah (filsafat) Yunani di belahan dunia Timur.
Ikhwan al-shafa mengambil ajaran-ajaran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, mereka memahami ajaran agama secara rasional. Filsafat, menurut mereka, diawali dengan mencintai ilmu pengetahuan, kemudian dengan filsafat juga memahami hakikat segala sesuatu dan diakhiri dengan beramal sesuai dengan pengetahuan.

c. Implikasi
Tampak jelas bahwa mereka berkeinginan kuat agar pola dan sistem mereka menjadi model-acuan dan media tranmisi ragam ilmu pengetahuan, khususnya dari Yunani dan karenanya mereka berusaha serius merkonsisiasi di antara ragam ilmu pengetahuan tadi dengan visi epistimologi Islam.

3. Aliran Pragmatis (al-Dzara’iy)
a. Tokoh
Ibnuu Khaldun adalah tokoh satu-satunya dari aliran ini.
b. Pemikiran
Pemikirannya meskipun tidak kurang komprehensifnya disbanding kalangan Rasionalis, dilihat dari sudut pandang tujuan pendidikan, lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi aplikatif-praktis.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibanya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”
Ibnuu Khaldun sejalan dengan kalangan Rasionalis dalam hal pengakuan rasio (al-‘aql) atau daya pikir (a-Fikr) sebagai sumber otonom dari sumber-sumber pengetahuan lainnya dan menjadikan kajian tentang realitas kebenaran sebagai penentu utama eksistensi manusia. Bahwa manusia mempunyai dengan hewa dalam banyak hal kepekaan, terhadap rangsangan, gerak, makan-minum dan sebagainya, namun berbeda dengan hewan pada daya pikirnya yang menjadi instrument pemerolehan penghidupan dan kooperasi dengan sesama. Dari daya pikir itu, muncul ragam ilmu dan keterampilan manufaktur. Dalam kerangka daya pikir dan watak dasar manusia, bahkan juga hewan, yang cenderung ingin mendapatkan basic need (kebutuhan kodrati), wajar bila daya pikir lebih cenderung memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru yang belum dimiliki, dengan merujuk pada orang yang lebih dulu tahu atau merujuk pada generasi terdahulu dari kalangan para nabi yang telah menyampaikan warta kebenaran. Selanjutnya eksplorasi daya pikir (rasio) mengarah pada satu per satu realitas kebenaran dan mencermati hal-hal yang didapatinya secara berulang, sehingga tumbuh capability intelektual dan menghasilkan pengetahuan istimewa.
Walaupun Ibnuu Khaldun telah berusaha memadukan antara peran rasio dengan naql dalam hal perkembangan pengetahuan manusia, namun terkesan adanya kecenderungan rasionalisnya sewaktu mengungkapkan, entah disadari atau tidak, peran rasio yang sangat menentukan dalam perkembangan pengetahuan manusia.
Dalam banyak hal aliran progressivisme identik dengan pragmatisme. Apabila orang menyebut pragmatisme, maka berarti progressivisme, begitu pula sebaliknya. Karena aliran ini dianggap pelaksana terbesar dari progressivisme dan merupakan petunjuk pelaksanaan pendidikan agar lebih maju dari sebelumnya.
Progressivisme adlgerkan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan disekolah berpusat pada anak (child-centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidkan yang masih berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered).
Dari pemikiran demikian, maka tidak heran kalau pendidikan progressivisme selalu mengembangkan pada tumbuh kembangnya pemikiran dan sikap mental, baik dalam pemecahan masalah maupun kepercayaan diri peserta didik. Progress atau kemajuan menimbulkan perubahan, sedangkan perubahan menghasilkan pembaruan. Kemajuan juga adalah di dalamnya mengandung nilai yng dapat mendorong untuk mencapai tujuan. Kemajuan tampak, kalau tujuan telah tercapai. Nilai suatu tujuan dapat menjadi alat, jika ingin dipakai untuk mencapai tujaun lain lagi. Misalnya, faedah kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

c. Implikasi
Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansialnya semata. Dengan hal itu, ia membagi ragam lmu yang perlu dimsukkan ke dalam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian:
1. Ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik, semisal ilmu-ilmu syar’iyyat (keagamaan): Tafsir, Hadis, Fikih, Kalam, ontology, dan Teologi dari cabang Filsafat.
2. Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis pertama, semisal kebahasa-Araban, Ilmu Hitung dan sejenisnya bagi ilmu syar’iy. Logika bagi filsafat dan bahkan menurut ulama Muta’akhirin, dimasukkan pula ilmu Kalam dan Usul Fikih.
Berangkat dari orientasi kepraktisan (‘amaliy), Ibnuu Khaldun membolehkan ilmu yang bernilai instrinsik. Sebab hal demikian dapat meningkatkan intelektualitas-akademik seseorang. Adqapun ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental tidak boleh diskursus rasional tentang ilmu ini, ecuali bila diletakkan dalam kerangka kegunaan bagi jenis ilmu yang bernilai instrinsik.
Atas dasar pertimbangan praktis itu, Ibnuu Khaldun mengecam kalangan ahli nahwu, ahli logika, dan ahli fikih masanya, karena mereka telah memperluas lingkup kajian dan memperbanyak topic bahasan dan argumentasibagi disiplin ilmu mereka, hingga keluar dari maksud semula sebagai ilmu Bantu menjadi ilmu instrinsik.

C. Implementasi dalam belajar mengajar.

1. Aliran Konservatif (al-Muhafidz)
Untuk metode ia misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadlah. Pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli, serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat digunakan dalam pengajaran. Beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia.
Mengenai proses pembelajaran, al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode, dan media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat menumbuhkembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang hidup penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajran yang justreu merusak akidah dan akhlaknya.anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak yang mulia. Adapun ilmu yang bbaik diberikan pada tahap pertama ialah ilmu agama dan syyariat, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode dan media yang diterpkan juga harus mendukung baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis bagi keberhasilan proses pengajaran.

2. Aliran Religius-Rasional (al-Diniy-al-‘Aqlani)
Menurut Ikhwan al-Shofa, pendidikan merupakan suatu aktivitas yang berhubungan dengan kebijaksanaan. Ibarat seorang raja, pendidikan akan dikatakan bijaksana apabila memberikan pendidikan yang terbaik kepada peserta didik, sebagai bekal baginya menjadi raja berikutnya. Di sini, tujuan pendidkan di samping melatih keterampilan juga berupaya membekali peserta didik dengan akhlak yang terpuji. Keberhasilan dari sebuah proses pendidikan akan dapat terlihat dari pengamalan semua materi pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, menuntut ilmu adalah wajib. Kewajiban ini disebabkan karena dengan ilmu pengetahuan manusia akan dapat mendekatkan diri kepada Tuhan mengenal dan beribadah kepadanya. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan kepada orang lain merupakan kewajiban pula bagi pendidik. Hal ini disebabkan tanggung jawab sosial dan etis yang dapat membawa peserta didik sebagai anggota masyarakat yang baik dan berilmu diperlukan sentuhan pendidik. Oleh karenanya, pendidik, peserta didik, dan masyarakat hendaknya bekerja sama dan saling membantu dalam membangun kehidupan keagamaan yang baik dan mendukung tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Melalui proses ini, pendidikan akan dapat mengantarkan peserta didik pada kesejahteraan hidup, baik secara vertical maupun horizontal.

3. Aliran Pragmatis (al-Dzara’iy)
Ibnu Khaldun menganjurkan agar para pendidik mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan metode yang baik dan mengetahui faedah yang dipergunakan dan seterusnya. Terhadap peserta didik, hendaknya tidak boleh diajar dengan kasar dan dengan makian. Bila hal tersebut dilakukan, maka akan menyebabkan anak menjadi pemalas, pembohong, tidak bisa mandiri, kasar, tidak berakhlak mulia, keras kepala, suka membantah, dan lain sebagainya.
Ibnu Khaldun menganjurkan agar pendidik bersikap sopan dan bijaksana terhadap peserta didiknya. Demikian pula halnya dengan orang tua agar memiliki sikap tersebut dalam menghadapi anaknya. Hal ini sangat urgen karena orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utamadlm upaya pembentkan kepribadan seorang anak. Namun demikian, jika dalam keadaan memaksa yang menuntut harus memukul si anak, maka pukulan tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali, tidak boleh membahayakan, dan lebih ditekankan pada aspek edukasi.
Dalam proses belajar mengajar, ia menganjurkan untuk mempergunakan jalan pengajaran konsentris untuk mata pelajaran tertentu. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah peserta didik diberi pelajaran tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan yang dipelajarinya. Keterangan terhadap materi pelajaran yang diberikan hendaknya bersifat umum, yaitu dengan memperhatikan kekuatan pikiran peserta didik dan kesanggupannya memahami apa yang diberikan kepadanya.

0 comments:

Post a Comment