In:
INFO SEHAT
GANGGUAN MOOD PADA ANAK
Anak-anak yang mengalami kecemasan sulit terdeteksi. Gangguan psikis tersebut berisiko tak tertangani dengan baik. Berdasar data Departemen kesehatan AS, satu di antara 10 anak berusia 9-17 tahun, terutama remaja putrid, pernah mengalami gangguan mood. Lebih dari separo di antara mereka tak mendapatkan terapi.
Anak dengan gangguan kecemasan dan depresi tanpa pengobatan merupakan masalah serius. Sebab, depresi pada anak bias tumbuh menjadi masalah mental yang lebih serius di kemudian hari. “Kita tahu bahwa 25 persen anak yang mengalami kalinan depresi mayoitas menjadi bipolar saat dewasa,” Kata Dr Jon shaw, pakar psikiatri anak dari Universitas of Miami Miller School of Medicine. Sekitar 3-4 persen tetap mengalami depresi di usia dewasa.
Depresi sering tak dikenali dan akhirnya tak diobati. “Kami selalu menekankan bahwa yang muncul itu dari yang dipikirkan anak. Itu merupakan reaksi atas masalah jangka pendek,” Kata Dr Scott Benson, pakar psikiatri anak di Pensacola, Florida.
Anak terkadang tak mampu mengungkapkan perasaan. Benson mengatakan, masalah tersebut diselesaikan dengan konsep kesadaran diri. “Anak belum bias mengonsolidasi dirinya akan perasaan yang dirasakan,” Katanya sebagaimana dilansir dari Health Day News.
Anak dengan gangguan mood lebih suka menyimpan masalah sendiri , tertutup, serta pendiam. “Mereka juga tak menunjukkan prestasi bagus agar para guru memperhatikannya”.
Anak yang ayah atau ibunya mengalami depresi berpeluang 25% menderita gangguan mood. Jika ayah dan ibunya sama-sama depresi, kemungkinannya lebih dari 50%.
Anak dengan gangguan kecemasan dan depresi tanpa pengobatan merupakan masalah serius. Sebab, depresi pada anak bias tumbuh menjadi masalah mental yang lebih serius di kemudian hari. “Kita tahu bahwa 25 persen anak yang mengalami kalinan depresi mayoitas menjadi bipolar saat dewasa,” Kata Dr Jon shaw, pakar psikiatri anak dari Universitas of Miami Miller School of Medicine. Sekitar 3-4 persen tetap mengalami depresi di usia dewasa.
Depresi sering tak dikenali dan akhirnya tak diobati. “Kami selalu menekankan bahwa yang muncul itu dari yang dipikirkan anak. Itu merupakan reaksi atas masalah jangka pendek,” Kata Dr Scott Benson, pakar psikiatri anak di Pensacola, Florida.
Anak terkadang tak mampu mengungkapkan perasaan. Benson mengatakan, masalah tersebut diselesaikan dengan konsep kesadaran diri. “Anak belum bias mengonsolidasi dirinya akan perasaan yang dirasakan,” Katanya sebagaimana dilansir dari Health Day News.
Anak dengan gangguan mood lebih suka menyimpan masalah sendiri , tertutup, serta pendiam. “Mereka juga tak menunjukkan prestasi bagus agar para guru memperhatikannya”.
Anak yang ayah atau ibunya mengalami depresi berpeluang 25% menderita gangguan mood. Jika ayah dan ibunya sama-sama depresi, kemungkinannya lebih dari 50%.
MENGHAPUS TATO PERMANEN DI TUBUH
Manfaat alat laser untuk kecantikan sedah lama diketahui. Bahkan, saat ini berkembang alat-alat laser dengan teknologi yang lebih canggih. Tentu, makin banyak indikasi medis yang dapat diterapi dengan alat tersebut. “manfaatnya tidak untuk hanya skin rejuvenation.tepai itu juga dapat menangani kelainan vascular di bawah kulit. Bahkan tattoo removal pun bias dilakukan.” Kata dr Enrina Diah SpBP, spesialis bedah plastic dari Jakarta.
Enrina mengatakan, ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum pasien menjalani terapi laser. Pertama, dokter perlu memastikan kondisi pasien. Agar ekspektasi antara pasien dan dokter bias sama. Jangan lupa dokter juga menjelaskan efek samping terapi laser ini. Salah satu efek sampingnya adalah kulit kemerahan. Dalam kondisi lanjut, efek samping yang mungkin muncul adalah kelainan pigmentasi. Namun, bila terapi dilakukan dengan benar dan operator sudah berpengalaman, efek samping tersebut dapat diminimalkan.
Setelah terapi, pasien diminta mengurangi paparan sinar ultraviolet. Samapai kapan? Sebaiknya dilakukan seumur hidup. Kalau keluar ruangan atau bepergian, jangan lupa mengoleskan sunblok dan diberi obat kortikosterid serta pelembab agar kulit tidak mudah kering.
Pada pasien Tomo, bagian yang bertato dibersihkan, kemudian diberi gel khusus. Mata pasien ditutup dengan kacamata khusus. Sebab, sinar laser mempengaruhi mata. Setelah itu, bagian yang tatonya hendak dihilangkan disinar laser.
Pasien tak perlu dianestesi. Lama prosesnya tergantung berapa luas dan banyak tatonya. Bila seluruh rangkainan selesai, bagian kulit tempat tato berada diberi salep untuk mengurangi efek samping.
Enrina mengatakan, ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum pasien menjalani terapi laser. Pertama, dokter perlu memastikan kondisi pasien. Agar ekspektasi antara pasien dan dokter bias sama. Jangan lupa dokter juga menjelaskan efek samping terapi laser ini. Salah satu efek sampingnya adalah kulit kemerahan. Dalam kondisi lanjut, efek samping yang mungkin muncul adalah kelainan pigmentasi. Namun, bila terapi dilakukan dengan benar dan operator sudah berpengalaman, efek samping tersebut dapat diminimalkan.
Setelah terapi, pasien diminta mengurangi paparan sinar ultraviolet. Samapai kapan? Sebaiknya dilakukan seumur hidup. Kalau keluar ruangan atau bepergian, jangan lupa mengoleskan sunblok dan diberi obat kortikosterid serta pelembab agar kulit tidak mudah kering.
Pada pasien Tomo, bagian yang bertato dibersihkan, kemudian diberi gel khusus. Mata pasien ditutup dengan kacamata khusus. Sebab, sinar laser mempengaruhi mata. Setelah itu, bagian yang tatonya hendak dihilangkan disinar laser.
Pasien tak perlu dianestesi. Lama prosesnya tergantung berapa luas dan banyak tatonya. Bila seluruh rangkainan selesai, bagian kulit tempat tato berada diberi salep untuk mengurangi efek samping.
PENDIDIKAN SEKS UNTUK ANAK ABG
Beberapa kasus saat ini terjadi pada anak sekitar masa puber. Di antaranya, pelecehan seksual, kekerasan seksual, pemerkosaan, kehamilan remaja, hingga pengguguran buah kehamilan. Kasus lainya, pembunuhan yang tekait dengan masalah seksualitas.
Pelecehan dapat dilakukan lawan jenis yang hampir seumur. tapi, hal tersebut sering juga dilakukan orang yang berusia lebih dewasa. Sebagian besar kasus berkaitan dengan ketidaktahuan masalahpubertas, seksualitas, dan reproduksi. Ketidak tahuan tentang kehamilan dengan segala konsekuensinya membuat anak-anak menjadi korban beberapa masalah dan pihak yang dirugikan.
Anak sekitar puber perlu dibekali pendidikan seksualitas. Hal itu dilakukan untuk proteksi agar anak tidak menjadi korban dari beberapa masalah tersebut. Apalagi, paparan seksualitas di era globalisasi, informasi, dan teknologi demikian deras.
Ada beberapa materi seksualitas yang sebaiknya diberikanuntuk anak sekitar masa puber. Di antaranya, kasih sanyang yang bertanggung jawab terhadap lawan jenis, pengenalan organ pribadi yang tak boleh disentuh orang lain, masalah reproduksi dan kehamilan, infeksi menular seks, serta kontrasepsi.
Materi pendidikan seks harus diberikan secara komulatif, santai, dan tidak bersifat menggurui. Inti pendidikan seks untuk anak adalah pendidikan karakter seksualitas. Tujuannya, anak tahu yang benar dan baik serta bias bertanggung jawab atas perilaku seksual yang dipilih.
Orang tua tak akan bias mengawasi dan mendampingi anak terus. Anak harus dibekali ilmu agar mampu melawan pengaruh jelek yang akan dialami. Komunikasi suami isteri yang baik, orang tua dan anak yang saling menghargai, dan ketekunan dalam ibadah adalah bagian dari pendidikan seksualitas secara verbal.
Pelecehan dapat dilakukan lawan jenis yang hampir seumur. tapi, hal tersebut sering juga dilakukan orang yang berusia lebih dewasa. Sebagian besar kasus berkaitan dengan ketidaktahuan masalahpubertas, seksualitas, dan reproduksi. Ketidak tahuan tentang kehamilan dengan segala konsekuensinya membuat anak-anak menjadi korban beberapa masalah dan pihak yang dirugikan.
Anak sekitar puber perlu dibekali pendidikan seksualitas. Hal itu dilakukan untuk proteksi agar anak tidak menjadi korban dari beberapa masalah tersebut. Apalagi, paparan seksualitas di era globalisasi, informasi, dan teknologi demikian deras.
Ada beberapa materi seksualitas yang sebaiknya diberikanuntuk anak sekitar masa puber. Di antaranya, kasih sanyang yang bertanggung jawab terhadap lawan jenis, pengenalan organ pribadi yang tak boleh disentuh orang lain, masalah reproduksi dan kehamilan, infeksi menular seks, serta kontrasepsi.
Materi pendidikan seks harus diberikan secara komulatif, santai, dan tidak bersifat menggurui. Inti pendidikan seks untuk anak adalah pendidikan karakter seksualitas. Tujuannya, anak tahu yang benar dan baik serta bias bertanggung jawab atas perilaku seksual yang dipilih.
Orang tua tak akan bias mengawasi dan mendampingi anak terus. Anak harus dibekali ilmu agar mampu melawan pengaruh jelek yang akan dialami. Komunikasi suami isteri yang baik, orang tua dan anak yang saling menghargai, dan ketekunan dalam ibadah adalah bagian dari pendidikan seksualitas secara verbal.
In:
Makalah Syari'ah
ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Lafal “Muhkam” dan “Mutasyabih” adalah bentuk mudzakar untuk menyifati kata-kata yang mudzakar, sedangkan lafal “Muhkamah” dan “Mutasyabihat” adalah bentuk muannats untuk menyifati kata-kata yang muannats pula. Kedua lafal tersebut mempunyai banyak arti, baik dari segi etimologi maupun terminologi.
Secara etimologi, berasal dari kata Ihkam berarti banyak, tetapi dalam banyak arti tersebut mempunyai satu pengertian, yaitu menolak dari kerusakan. Selain itu, juga berasal dari kata hakama-hukm yang artinya memutuskan antara dua hal atau lebih perkara. Hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang bertikai. Firman Allah:
Artinya : “Inilah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Tuhan yang maha bijaksana dan maha tahu”. (QS. Huud,11 : 1)
Sedangkan mutasyabih berasal dari kata syahada, yaitu dua hal yang serupa dengan yang lain. Syubhah ialah dua hal yang tidak dapat dibedakan karena adanya kemiripan baik konkrit maupun abstrak (kitaban mutasyabihan matsani). Firman Allah :
• • (الروم : 23).
Artinya : ”Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang mutasyabih dan berulang-ulang karenanya bergetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.
Secara terminologi, pengertian kedua istilah tersebut dikemukakan sebagai berikut:
1. Menurut Husain bin Muhammad bin Hubaib al-Nisabur, membagi dalam tiga masalah:
a. Ayat-ayat yang muhkam (QS. Hud: 1).
b. Ayat-ayat yang mutasyabih (QS. al-Zumar: 23).
c. Membenarkan bahwa ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih terdapat dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran: 7).
Muhkam adalah perkara yang mencegah atau menolak dan menjelaskan antara halal dan haram. Mutasyabih adalah lafad yang secara dhahir dan maknanya berbeda.
2. Menurut sebagian ulama, ayat-ayat muhkam tidak memerlukan penjelasan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya atau masih memerlukan penjelasan.
3. Ulama golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang diketahui maksudnya, baik sudah jelas artinya maupun karena dita’wilkan. Lafal mutasyabih adalah lafal yang pengetahuannya dimonopoli oleh Allah SWT. Misal, hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf muqaththa’ah.
4. Imam Fakhrudin Ar-Razi berpendapat, lafal muhkam ialah lafal menunjukkan makna kuat, seperti nash yang jelas. lafal mutasyabih adalah petunjuknya tidak kuat, seperti lafal global, musykil dan dita’wilkan.
5. Ikrimah dan Qatadah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang maknanya dapat diamalkan karena jelas dan tegas. Lafal mutasyabih adalah lafal yang maknanya tidak perlu diamalkan, cukup diimani atau diyakini eksistensinya saja.
Jadi kesimpulan dari pengertian di atas bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya, menolak atau membedakan yang halal dan haram, menunjukkan makna yang kuat serta dapat diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang belum dapat dibedakan karena ada kemiripan, yang masih memerlukan penjelasan karena hanya Allah yang mengetahui maksudnya, serta tidak kuat petunjuknya dan tidak perlu diamalkan.
B. Sebab-sebab Adanya Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat muhkam sudah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali Imran: 7 dan QS. Hud: 1, serta kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat al-Qur’an itu rapi dan urut, mudah dipahami, tidak menyulitkan serta tidak samar artinya, dan dapat diterima akal.
Sebab adanya ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an ialah karena kesamaran maksud syarak ayat-ayatnya yang sulit dipahami, dita’wilkan dan peetnjuknya tidak tegas, karena pengetahuannya dimonopoli oleh Allah.
Menurut al-Raghib al-Asfahani, membagi mutasyabih dalam tiga hal:
1. Kesamaran Lafal
a. Kesamaran dalam lafal mufrad, yaitu tidak jelasnya gharib atau musytarak.
Contoh :
Pada ayat (QS. Abasa : 31), berarti dan buah-buahan serta rerumputan. Tetapi dalam ayat • (QS. Abasa : 32), berarti untuk kesenanganmu dan binatang-binatang ternakmu. Sehingga jelas bahwa arti adalah rerumputan.
Pada ayat باليمين فراغ عليهم ضربا ( QS. Shaad: 93), berarti lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya atau dengan kuatnya atau sesuai dengan sumpahnya. Kata اليمين ada argumen mengartikan sebagai sumpah Nabi Ibrahim yang akan menghapus berhala Raja Namrud, sebagaiman ditegaskan dalam QS. al-Anbiya : 57.
•
Artinya: “Demi Allah, Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.
Adapun ayat mutasyabih karena samar dalam lafalnya yaitu huruf muqaththa’ah, seperti الم طه، حم، يس، كهعس، dsb.
b. Kesamaran lafal murakkab (lafal yang tersusun dalam kalimat)
Contoh Tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas (QS. an-Nisa : 3)
Ayat ini sukar dipahami terjemahannya, dan apabila ayatnya diperpanjang (ditambah), maka keterangannya lebih jelas.
لوتزوجتموهنّ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”.
Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu karena terlalu luas, seperti dalam ayat-ayat لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ (tidak ada sesuatupun yang seperti-Nya). Ayat tersebut kelebihan huruf (ك) sehingga menjadi samar artinya.
Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab karena susunannya kurang tertib. (QS. al-Kahfi : 1)
“ Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan[871] di dalamnya”.
Ayat tersebut kurang tertib, kemudian dirubah menjadi:
قَيِّمًا
2. Kesamaran makna ayat
Contohnya, makna dari sifat-sifat Allah SWT, seperti Rahman Rahim-Nya, sifat Qudrat Iradatnya, hari kiamat, kenikmatan kubur, surga, neraka, dan sebagainya. Hal-hal tersebut samar karena lafalnya tidak terjangkau oleh akal.
3. Kesamaran lafal dan makna ayat
Contoh : QS. Al-Baqarah : 189.
•
Artinya: “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa”.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kebiasaan (adat istiadat) bangsa Arab pada masa Jahiliyyah. Apabila ayat tersebut ditambah menjadi
ان كنتم محرمين حج او عمرةlebih mudah dimengerti.
C. Macam-macam Ayat Mutasyabih
1. Ayat atau lafad yang tidak dapat diketahui hakikatnya, seperti hari kiamat, daabhatul-ardhi (sejenis binatang yang akan muncul pada saat menjelang kehancuran alam semesta), (QS. an-Naml: 82).
2. Ayat mutasyabih yang diketahui maknanya oleh manusia, seperti lafadz-lafadz yang aneh dan hukum-hukum yang tertutup. Misalnya merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak menqayidkan yang mutlak dan sebagainya.
3. Ayat-ayat mutasyabih yang khusus hanya diketahui maknanya oleh orang-orang yang ilmunya dalam dan tidak diketahui selain mereka (QS. Ali Imran: 7).
D. Pandangan Mengenai Ayat-ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Allah di antaranya:
1. ”....... Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy Qs. At-Thaha : 5 الرحمن على العرشاستوى
2. ”Dan datanglah Tuhanmu, sedang Malaikat berbaris”. Qs. Al-Fajr : 2 وجاء ربّك والملك صفا صفا
3. “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahman: 27) ويبقى وجه ربك دو الجلال والإكرام
4. ”......Dan supaya diasuh atas mataku”. ولتصنع عيخى
5. ”Tangan Allah di atas tangan mereka”. يد الله فوق ايديهم
6. ”Dan Allah memperingatkan kamu terhadap dirinya”. (QS. Ali- Imron : 28). ويخذركم الله نفسه
Dari ayat-ayat di atas jelaslah terdapat kat-kata “bersemayam”, “dating”, “di atas”,”sisi”, “wajah”, “mata”, “tangan”, dan “diri”, yang dijadikan sifat bagi Allah (Mutasyabih al-Shifat). Shubhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam 2 madzhab:
1. Madzhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah. Mereka mensucikan Allah dan mengimani serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya pada Allah sendiri. Mereka juga disebut madzhab mufawwidah (Tafwid). Ketika Imam Malik ditanya tentang istiwa’, dia berkata:
اَلاِْسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَاَظُنُّكَ رَجُلَ السُّوْءِ اَخْرِجُوْهُ عَنِّى
”Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat, keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya”.
Secara lahir makna, istiwa’ jelas diketahui setiap orang. Akan tetapi pengertian yang demikian akan membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil dengan Allah. Karena itulah, bagaimana cara istiwa’ di sisi Allah tidak diketahui, kemudian mempertanyakannya untuk mengetahui maksud sebenarnya menurut syyariat dipandang bid’ah (mengada-ada). Dalam menrapkan sistem ini mereka berargumen aqli dan naqli. Argumen Aqli adalah menentukan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya di kalangan bangsa Arab. Adapun argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar sahabat, di antaranya: HR. Bukhari Muslim, hadits yang dikeluarkan oleh Mardawaih, hadits yang dikeluarkan al-Darimi.
2. Madzhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan dzat Allah. Karena itu disebut ”Muawwilah” (Madzhab Takwil). Mereka memaknakan istiwa’ dengan ketinggian abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan kedatangan perintah-Nya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, ”sisi” Allah dengan hak Allah, ”wajah” dengan zat, ”mata” dengan pengawasan, ” tangan” dengan kekuasaan, dan ”diri” dengan siksa. Semua lafal yang mengandung makna ”cinta”, ’murka”, dan ”malu”, bagi Allah ditakwilkan dengan makna majaz yang terdekat. Mereka berkata:
كُلُّ صِفَةٍ يَسْتَحِيْلُ حَقِيْقَتُهَا عَلَى اللهِ تَعَالَى تُفَسَّرُ بِلاَزِمِهَا
”setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Allah ditafsirkan (ditakwilkan) dengan kelazimannya”.
E. Faedah Ayat Muhkam dan Mutasyabih
1. Hikmah ayat muhkam.
a. Menjadi rahmat bagi manusia.
b. Memudahkan untuk mengetahui makna dan maksudnya.
c. Mengamalkan isi kandungan al-Qur’an.
d. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan.
e. Mempermudah penafsiran.
f. Membantu berdakwah.
g. Mempermudah menghafal al-Qur’an.
2. Hikmah ayat mutasyabih.
a. Rahmat Allah SWT.
b. Ujian iman umat manusia.
c. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia.
d. Menjadikan giat dalam belajar.
e. Memperlihatkan kemu’jizatan al-Qur’an.
f. Memudahkan pemahaman al-Qur’an.
g. Menambah pahala.
h. Membantu mempelajari disiplin ilmu pengetahuan.
i. Menggunakan dalil aqli dan naqli.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Abu. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Penerbit AMZAH, 2002.
DJalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2002.
Dkk, Saifullah. Ulumul Qur’an. Ponorogo: Prodial Pertama Sejati (PPS) Press, 2004.
Shalih, Subhi. Mahabits fi Ulumil-Qur’an, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: pustaka Firdaus, 1999.
Syafi’I, Jalaludin As Suyuti. Al Itqan fi ‘Ulumul Qur’an 3. Libanon: Mu’sasatul Kitab as Saqafih, 1996.
Zarqani, Muhammad Abd al-‘Adzim. Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur’an 2. Darul Fikr.
Fadhil, Fadhil Abdul Rohmah bil. Al-Qur’an al-Karim. Kudus: Menara Kudus, 2006.
Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an 2 (Libanon: Darul fikr, 1988), 79.
Izzan, Ahmad. ‘Ulumul Qur’an telaah Tekstualitas dan Kontestualitas Al-Qur’an. Bandung: Humaniora, 2009.
Rofi’I, Ahmad Syadali dan Ahmad. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Lafal “Muhkam” dan “Mutasyabih” adalah bentuk mudzakar untuk menyifati kata-kata yang mudzakar, sedangkan lafal “Muhkamah” dan “Mutasyabihat” adalah bentuk muannats untuk menyifati kata-kata yang muannats pula. Kedua lafal tersebut mempunyai banyak arti, baik dari segi etimologi maupun terminologi.
Secara etimologi, berasal dari kata Ihkam berarti banyak, tetapi dalam banyak arti tersebut mempunyai satu pengertian, yaitu menolak dari kerusakan. Selain itu, juga berasal dari kata hakama-hukm yang artinya memutuskan antara dua hal atau lebih perkara. Hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang bertikai. Firman Allah:
Artinya : “Inilah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Tuhan yang maha bijaksana dan maha tahu”. (QS. Huud,11 : 1)
Sedangkan mutasyabih berasal dari kata syahada, yaitu dua hal yang serupa dengan yang lain. Syubhah ialah dua hal yang tidak dapat dibedakan karena adanya kemiripan baik konkrit maupun abstrak (kitaban mutasyabihan matsani). Firman Allah :
• • (الروم : 23).
Artinya : ”Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang mutasyabih dan berulang-ulang karenanya bergetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.
Secara terminologi, pengertian kedua istilah tersebut dikemukakan sebagai berikut:
1. Menurut Husain bin Muhammad bin Hubaib al-Nisabur, membagi dalam tiga masalah:
a. Ayat-ayat yang muhkam (QS. Hud: 1).
b. Ayat-ayat yang mutasyabih (QS. al-Zumar: 23).
c. Membenarkan bahwa ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih terdapat dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran: 7).
Muhkam adalah perkara yang mencegah atau menolak dan menjelaskan antara halal dan haram. Mutasyabih adalah lafad yang secara dhahir dan maknanya berbeda.
2. Menurut sebagian ulama, ayat-ayat muhkam tidak memerlukan penjelasan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya atau masih memerlukan penjelasan.
3. Ulama golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang diketahui maksudnya, baik sudah jelas artinya maupun karena dita’wilkan. Lafal mutasyabih adalah lafal yang pengetahuannya dimonopoli oleh Allah SWT. Misal, hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf muqaththa’ah.
4. Imam Fakhrudin Ar-Razi berpendapat, lafal muhkam ialah lafal menunjukkan makna kuat, seperti nash yang jelas. lafal mutasyabih adalah petunjuknya tidak kuat, seperti lafal global, musykil dan dita’wilkan.
5. Ikrimah dan Qatadah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang maknanya dapat diamalkan karena jelas dan tegas. Lafal mutasyabih adalah lafal yang maknanya tidak perlu diamalkan, cukup diimani atau diyakini eksistensinya saja.
Jadi kesimpulan dari pengertian di atas bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya, menolak atau membedakan yang halal dan haram, menunjukkan makna yang kuat serta dapat diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang belum dapat dibedakan karena ada kemiripan, yang masih memerlukan penjelasan karena hanya Allah yang mengetahui maksudnya, serta tidak kuat petunjuknya dan tidak perlu diamalkan.
B. Sebab-sebab Adanya Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat muhkam sudah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali Imran: 7 dan QS. Hud: 1, serta kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat al-Qur’an itu rapi dan urut, mudah dipahami, tidak menyulitkan serta tidak samar artinya, dan dapat diterima akal.
Sebab adanya ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an ialah karena kesamaran maksud syarak ayat-ayatnya yang sulit dipahami, dita’wilkan dan peetnjuknya tidak tegas, karena pengetahuannya dimonopoli oleh Allah.
Menurut al-Raghib al-Asfahani, membagi mutasyabih dalam tiga hal:
1. Kesamaran Lafal
a. Kesamaran dalam lafal mufrad, yaitu tidak jelasnya gharib atau musytarak.
Contoh :
Pada ayat (QS. Abasa : 31), berarti dan buah-buahan serta rerumputan. Tetapi dalam ayat • (QS. Abasa : 32), berarti untuk kesenanganmu dan binatang-binatang ternakmu. Sehingga jelas bahwa arti adalah rerumputan.
Pada ayat باليمين فراغ عليهم ضربا ( QS. Shaad: 93), berarti lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya atau dengan kuatnya atau sesuai dengan sumpahnya. Kata اليمين ada argumen mengartikan sebagai sumpah Nabi Ibrahim yang akan menghapus berhala Raja Namrud, sebagaiman ditegaskan dalam QS. al-Anbiya : 57.
•
Artinya: “Demi Allah, Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.
Adapun ayat mutasyabih karena samar dalam lafalnya yaitu huruf muqaththa’ah, seperti الم طه، حم، يس، كهعس، dsb.
b. Kesamaran lafal murakkab (lafal yang tersusun dalam kalimat)
Contoh Tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas (QS. an-Nisa : 3)
Ayat ini sukar dipahami terjemahannya, dan apabila ayatnya diperpanjang (ditambah), maka keterangannya lebih jelas.
لوتزوجتموهنّ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”.
Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu karena terlalu luas, seperti dalam ayat-ayat لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ (tidak ada sesuatupun yang seperti-Nya). Ayat tersebut kelebihan huruf (ك) sehingga menjadi samar artinya.
Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab karena susunannya kurang tertib. (QS. al-Kahfi : 1)
“ Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan[871] di dalamnya”.
Ayat tersebut kurang tertib, kemudian dirubah menjadi:
قَيِّمًا
2. Kesamaran makna ayat
Contohnya, makna dari sifat-sifat Allah SWT, seperti Rahman Rahim-Nya, sifat Qudrat Iradatnya, hari kiamat, kenikmatan kubur, surga, neraka, dan sebagainya. Hal-hal tersebut samar karena lafalnya tidak terjangkau oleh akal.
3. Kesamaran lafal dan makna ayat
Contoh : QS. Al-Baqarah : 189.
•
Artinya: “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa”.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kebiasaan (adat istiadat) bangsa Arab pada masa Jahiliyyah. Apabila ayat tersebut ditambah menjadi
ان كنتم محرمين حج او عمرةlebih mudah dimengerti.
C. Macam-macam Ayat Mutasyabih
1. Ayat atau lafad yang tidak dapat diketahui hakikatnya, seperti hari kiamat, daabhatul-ardhi (sejenis binatang yang akan muncul pada saat menjelang kehancuran alam semesta), (QS. an-Naml: 82).
2. Ayat mutasyabih yang diketahui maknanya oleh manusia, seperti lafadz-lafadz yang aneh dan hukum-hukum yang tertutup. Misalnya merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak menqayidkan yang mutlak dan sebagainya.
3. Ayat-ayat mutasyabih yang khusus hanya diketahui maknanya oleh orang-orang yang ilmunya dalam dan tidak diketahui selain mereka (QS. Ali Imran: 7).
D. Pandangan Mengenai Ayat-ayat Mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Allah di antaranya:
1. ”....... Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy Qs. At-Thaha : 5 الرحمن على العرشاستوى
2. ”Dan datanglah Tuhanmu, sedang Malaikat berbaris”. Qs. Al-Fajr : 2 وجاء ربّك والملك صفا صفا
3. “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahman: 27) ويبقى وجه ربك دو الجلال والإكرام
4. ”......Dan supaya diasuh atas mataku”. ولتصنع عيخى
5. ”Tangan Allah di atas tangan mereka”. يد الله فوق ايديهم
6. ”Dan Allah memperingatkan kamu terhadap dirinya”. (QS. Ali- Imron : 28). ويخذركم الله نفسه
Dari ayat-ayat di atas jelaslah terdapat kat-kata “bersemayam”, “dating”, “di atas”,”sisi”, “wajah”, “mata”, “tangan”, dan “diri”, yang dijadikan sifat bagi Allah (Mutasyabih al-Shifat). Shubhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam 2 madzhab:
1. Madzhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah. Mereka mensucikan Allah dan mengimani serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya pada Allah sendiri. Mereka juga disebut madzhab mufawwidah (Tafwid). Ketika Imam Malik ditanya tentang istiwa’, dia berkata:
اَلاِْسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَاَظُنُّكَ رَجُلَ السُّوْءِ اَخْرِجُوْهُ عَنِّى
”Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat, keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya”.
Secara lahir makna, istiwa’ jelas diketahui setiap orang. Akan tetapi pengertian yang demikian akan membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil dengan Allah. Karena itulah, bagaimana cara istiwa’ di sisi Allah tidak diketahui, kemudian mempertanyakannya untuk mengetahui maksud sebenarnya menurut syyariat dipandang bid’ah (mengada-ada). Dalam menrapkan sistem ini mereka berargumen aqli dan naqli. Argumen Aqli adalah menentukan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya di kalangan bangsa Arab. Adapun argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar sahabat, di antaranya: HR. Bukhari Muslim, hadits yang dikeluarkan oleh Mardawaih, hadits yang dikeluarkan al-Darimi.
2. Madzhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan dzat Allah. Karena itu disebut ”Muawwilah” (Madzhab Takwil). Mereka memaknakan istiwa’ dengan ketinggian abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan kedatangan perintah-Nya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, ”sisi” Allah dengan hak Allah, ”wajah” dengan zat, ”mata” dengan pengawasan, ” tangan” dengan kekuasaan, dan ”diri” dengan siksa. Semua lafal yang mengandung makna ”cinta”, ’murka”, dan ”malu”, bagi Allah ditakwilkan dengan makna majaz yang terdekat. Mereka berkata:
كُلُّ صِفَةٍ يَسْتَحِيْلُ حَقِيْقَتُهَا عَلَى اللهِ تَعَالَى تُفَسَّرُ بِلاَزِمِهَا
”setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Allah ditafsirkan (ditakwilkan) dengan kelazimannya”.
E. Faedah Ayat Muhkam dan Mutasyabih
1. Hikmah ayat muhkam.
a. Menjadi rahmat bagi manusia.
b. Memudahkan untuk mengetahui makna dan maksudnya.
c. Mengamalkan isi kandungan al-Qur’an.
d. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan.
e. Mempermudah penafsiran.
f. Membantu berdakwah.
g. Mempermudah menghafal al-Qur’an.
2. Hikmah ayat mutasyabih.
a. Rahmat Allah SWT.
b. Ujian iman umat manusia.
c. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia.
d. Menjadikan giat dalam belajar.
e. Memperlihatkan kemu’jizatan al-Qur’an.
f. Memudahkan pemahaman al-Qur’an.
g. Menambah pahala.
h. Membantu mempelajari disiplin ilmu pengetahuan.
i. Menggunakan dalil aqli dan naqli.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Abu. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Penerbit AMZAH, 2002.
DJalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2002.
Dkk, Saifullah. Ulumul Qur’an. Ponorogo: Prodial Pertama Sejati (PPS) Press, 2004.
Shalih, Subhi. Mahabits fi Ulumil-Qur’an, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: pustaka Firdaus, 1999.
Syafi’I, Jalaludin As Suyuti. Al Itqan fi ‘Ulumul Qur’an 3. Libanon: Mu’sasatul Kitab as Saqafih, 1996.
Zarqani, Muhammad Abd al-‘Adzim. Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur’an 2. Darul Fikr.
Fadhil, Fadhil Abdul Rohmah bil. Al-Qur’an al-Karim. Kudus: Menara Kudus, 2006.
Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an 2 (Libanon: Darul fikr, 1988), 79.
Izzan, Ahmad. ‘Ulumul Qur’an telaah Tekstualitas dan Kontestualitas Al-Qur’an. Bandung: Humaniora, 2009.
Rofi’I, Ahmad Syadali dan Ahmad. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
ILMU MUNASABAH
A. Pengertian Ilmu Munasabah
Menurut bahasa munasabah berasal dari kata ناسب – يناسب - مناسبة yang berarti dekat, serupa, mirip, rapat, dan persesuaian atau persambungan, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat menurut ulama:
1. Manna’ul Qathathan
Sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan didalam satu ayat atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surah didalam Al-Qur’an.
2. Ibn ‘Arabi
Keterkaitan antar ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna.
3. Al-Biqa’i
Suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an.
4. As-Suyuthin
Merumuskan yang dimaksud munasabah adalah hubungan yang mencakup antar ayat ataupun antar surat.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa Munasabah ialah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antara ayat atau surah yang dapat diterima oleh akal.
B. Macam-macam Ilmu Munasabah
Munasabah atau persambungan bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya.
a. Macam-macam Sifat Munasabah
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:
a) Persambungan yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persambungan yang tampak jelas, yaitu yang persambungan antara bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat.
Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra
Artinya:
”Maha suci Alloh, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho”
Ayat tersebut menerangkan tentang isra’ Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra tersebut yang berbunyi:
Artinya:
”Dan kami berikan kepadaMusa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi bani Israel”
Ayat tersebut menjelaskan tentang diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s.
Persambungan antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/Rasul tersebut.
b) Persambungan yang tidak jelas (Khaffiyul Irtibath) atau samarnya persambungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dalam Al-Qur’an, sehingga tidak tampak adanya persambungan untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 dengan ayat 190 surah Al-Baqoroh. Ayat 189 Al-Baqoroh berbunyi:
Artinya:
”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakanlah, bulan tsabit itu adalan tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”
Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit atau tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Sedang ayat 190 surah Al-Baqoroh berbunyi:
Artinya:
”Dan perngilah di jalan Alloh orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.”
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 menerangkan bahwa sebenarnya, waktu haji itu, umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
b. Macam-macam Materi Munasabah
Dilihat dari segi materinya, maka munasabah itu ada dua macam, sebagai berikut:
a) Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Munasabah ini bisa berbenuk persambungan-persambungan, sebagai berikut:
1) Diathafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain. Faedah dari munasabah dengan athaf ini adalah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama.
2) Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain. Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang pertama dengan ayat yang kedua.
3) Digabungkannya dua hal yang sama. Seperti hubungan antara ayat 5 dengan ayat 4 surah Al-Anfal. Menerangkan kebenaran bahwa Nabi diperintah hijrah dan ayat 4 menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin
4) Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi. Pada hubungan antara ayat 94 dengan ayat 95 surah Al-A’raf. Ayat 94 menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tapi ayat 95 menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan
5) Dialihkannya suatu pembicaraan. Pada hubungan antara surah Shaad ayat 55 dengan ayat 54. Dialihkannya pembicaraan kepada nasib orang-orang yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 yang membicarakan rezeki dari para ahli surga.
b) Munasabah antar surah, yaitu munasabah antara surah yang satu dengan surah yang lain. Munasabah ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:
1) Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah yang satu sama dengan materi surah yang lain.
Contohnya, seperti surah kedua Al-Baqoroh sama dengan isi surah yang pertama Al-Fatihah, yakni sama-sama menerangkan 3 hal dalam kandungan Al-Qur’an, yaitu masalah akidah , ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman.
2) Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya.
Contohnya, seperti awalan surat Al-An’am yang berbunyi:
Artinya:
”Segala puji bagi Alloh yang telah menciptakan langit dan bumi.”
Awalan surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Maidah yang berbunyi:
Artinya:
”Kepunyaan Alloh kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
3) Persesuaian antara pembukaan dan akhiran suatu surah. Sebab, semua ayat dari suatu surah dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan bersesuaian.
Contohnya, seperti persesuaian antara awal surah Al-Mukminun: yang menjanjikan orang yang beriman itu akan bahagia, dengan akhiran surah tersebut: yang menegaskan bahwa orang-orang yang tidak beriman itu tidak akan bahagia.
C. Kegunaan Ilmu Munasabah
Kegunaan mempelajari Ilmu Munasabah ini banyak sekali, antara lain sebagai berikut:
a) Mengetahui persambungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain.
b) Dapat diketahui tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan persesuaian ayat atau surahnya yang satu dengan yang lainnya.
c) Membantu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut bahasa munasabah berasal dari kata ناسب – يناسب - مناسبة yang berarti dekat, serupa, mirip, rapat, dan persesuaian atau persambungan, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat menurut ulama:
1. Manna’ul Qathathan
Sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan didalam satu ayat atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surah didalam Al-Qur’an.
2. Ibn ‘Arabi
Keterkaitan antar ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna.
3. Al-Biqa’i
Suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an.
4. As-Suyuthin
Merumuskan yang dimaksud munasabah adalah hubungan yang mencakup antar ayat ataupun antar surat.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa Munasabah ialah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antara ayat atau surah yang dapat diterima oleh akal.
B. Macam-macam Ilmu Munasabah
Munasabah atau persambungan bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya.
a. Macam-macam Sifat Munasabah
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:
a) Persambungan yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persambungan yang tampak jelas, yaitu yang persambungan antara bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat.
Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra
Artinya:
”Maha suci Alloh, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho”
Ayat tersebut menerangkan tentang isra’ Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra tersebut yang berbunyi:
Artinya:
”Dan kami berikan kepadaMusa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi bani Israel”
Ayat tersebut menjelaskan tentang diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s.
Persambungan antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/Rasul tersebut.
b) Persambungan yang tidak jelas (Khaffiyul Irtibath) atau samarnya persambungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dalam Al-Qur’an, sehingga tidak tampak adanya persambungan untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 dengan ayat 190 surah Al-Baqoroh. Ayat 189 Al-Baqoroh berbunyi:
Artinya:
”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakanlah, bulan tsabit itu adalan tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”
Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit atau tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Sedang ayat 190 surah Al-Baqoroh berbunyi:
Artinya:
”Dan perngilah di jalan Alloh orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.”
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 menerangkan bahwa sebenarnya, waktu haji itu, umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
b. Macam-macam Materi Munasabah
Dilihat dari segi materinya, maka munasabah itu ada dua macam, sebagai berikut:
a) Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Munasabah ini bisa berbenuk persambungan-persambungan, sebagai berikut:
1) Diathafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain. Faedah dari munasabah dengan athaf ini adalah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama.
2) Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain. Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang pertama dengan ayat yang kedua.
3) Digabungkannya dua hal yang sama. Seperti hubungan antara ayat 5 dengan ayat 4 surah Al-Anfal. Menerangkan kebenaran bahwa Nabi diperintah hijrah dan ayat 4 menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin
4) Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi. Pada hubungan antara ayat 94 dengan ayat 95 surah Al-A’raf. Ayat 94 menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tapi ayat 95 menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan
5) Dialihkannya suatu pembicaraan. Pada hubungan antara surah Shaad ayat 55 dengan ayat 54. Dialihkannya pembicaraan kepada nasib orang-orang yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 yang membicarakan rezeki dari para ahli surga.
b) Munasabah antar surah, yaitu munasabah antara surah yang satu dengan surah yang lain. Munasabah ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:
1) Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah yang satu sama dengan materi surah yang lain.
Contohnya, seperti surah kedua Al-Baqoroh sama dengan isi surah yang pertama Al-Fatihah, yakni sama-sama menerangkan 3 hal dalam kandungan Al-Qur’an, yaitu masalah akidah , ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman.
2) Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya.
Contohnya, seperti awalan surat Al-An’am yang berbunyi:
Artinya:
”Segala puji bagi Alloh yang telah menciptakan langit dan bumi.”
Awalan surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Maidah yang berbunyi:
Artinya:
”Kepunyaan Alloh kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
3) Persesuaian antara pembukaan dan akhiran suatu surah. Sebab, semua ayat dari suatu surah dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan bersesuaian.
Contohnya, seperti persesuaian antara awal surah Al-Mukminun: yang menjanjikan orang yang beriman itu akan bahagia, dengan akhiran surah tersebut: yang menegaskan bahwa orang-orang yang tidak beriman itu tidak akan bahagia.
C. Kegunaan Ilmu Munasabah
Kegunaan mempelajari Ilmu Munasabah ini banyak sekali, antara lain sebagai berikut:
a) Mengetahui persambungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain.
b) Dapat diketahui tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan persesuaian ayat atau surahnya yang satu dengan yang lainnya.
c) Membantu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Sifat 20 Allah
Ilmu Tauhid (Aqidah/Iman) adalah hal yang paling penting yang harus dipelajari setiap Muslim. Bahkan harus dipelajari lebih dulu sebelum kita mempelajari/melakukan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Bagaimana kita bisa tergerak untuk melakukan ibadah jika dalam hati kita tidak ada iman? Bagaimana kita bisa ikhlas dan khusyuk beribadah jika kita tidak tahu/tidak yakin akan Allah dan sifat-sifatNya?
Banyaknya ummat Islam di Indonesia yang menjadi murtad itu karena mereka nyaris tidak mempelajari dan meyakini ilmu Tauhid sehingga akhirnya tidak tahu Sifat-sifat Tuhan yang asli/sejati. Akhirnya mereka menyembah Tuhan yang sifatnya berlawanan dari sifat Allah seperti menyembah 3 Tuhan dan sebagainya.
Pada Ilmu Tauhid ini diasumsikan orang belum memiliki iman yang kuat kepada Allah, apalagi Al Qur’an. Oleh karena itu dalilnya pun yang pertama dipakai adalah dalil Akal/Logika (Aqli). Setelah beriman, baru dalil Naqli (Al Qur’an) dikemukakan. Pada ilmu tentang Iman, maka Akal harus digunakan. Ada pun jika sudah beriman dan mengenai fiqih misalnya kenapa kalau kentut bukan (maaf) pantat yang dibasuh, tapi harus mencuci anggota badan lainnya, maka dalil Naqli (Al Qur’an dan Hadits) yang harus dipakai. Pada Tauhid, Aqli harus dipakai. Pada Fiqih, Naqli yang dipakai.
Karena itulah Allah dalam Al Qur’an juga kerap menggunakan dalil Akal/Logika kepada kaum yang kafir atau imannya masih lemah. Hanya orang yang berakal saja yang dapat pelajaran.
“…Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran 7]
Allah juga kerap memakai ilmu pengetahuan seperti penciptaan langit dan bumi sebagai tanda bagi orang yang berakal:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [Ali ‘Imran 190]
“dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” [Al Jaatsiyah 5]
Lihat ayat Al Waaqi’ah ayat 58 hingga 72. Allah menggunakan logika kepada manusia (termasuk kita yang membaca surat tersebut) agar menggunakan akal kita:
“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” [Al Waaqi’ah 58-59]
“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?” [Al Waaqi’ah 72]
Allah menggunakan logika dan perumpamaan-perumpamaan (Tamtsil/Ibarat) agar orang yang berakal/berilmu meski dia belum beriman jadi berfikir dan beriman kepada Allah.
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” [Al ‘Ankabuut 43]
Baca juga ayat Al Hasyr 21, Al Kahfi 45, Al Kahfi 54, Ar Ruum 58, Az Zumar 27, dsb. Ada 58 ayat lebih tentang perumpamaan yang dikenal sebagai logika analogi.
Contoh perumpamaan itu adalah ayat Al A’raaf 176, Al ‘Ankabuut 41, Al Baqarah 17, Al Baqarah 171, Al Baqarah 261, Al Baqarah 264, dan sebagainya.
Keliru sekali jika ada orang yang menolak sama sekali penggunaan dalil Akal atau Logika apalagi jika itu ditujukan pada orang yang belum atau masih tipis imannya. Karena itu, banyak orang-orang yang dulunya kafir, akhirnya masuk Islam. Bayangkan, bagaimana mungkin orang mau mempercayai Al Qur’an (firman Allah) jika kepada Allah saja dia belum beriman? Karena itulah pendekatan akal digunakan.
Berbagai firman Allah seperti Afalaa Ta’qiluun, La’allakum Tatafakkaruun, Ulil Albaab merupakan perintah Allah pada manusia untuk menggunakan akal atau fikiran termasuk dalam beragama.
Sifat Allah itu banyak/tidak terhitung. Namun seandainya ditulis 1 juta, 1 milyar, atau 1 trilyun, tentu kita tidak akan sanggup mempelajarinya bukan? Seorang ulama menulis 20 sifat yang wajib (artinya harus ada) pada Tuhan/Allah. Jika tidak memiliki sifat itu, berarti dia bukan Tuhan atau Allah. Minimal kita bisa memahami dan meyakini 13 dari sifat tersebut agar tidak tersesat. Setelah itu kita bisa mempelajari sifat Allah lainnya dalam Ama’ul Husna (99 Nama Allah yang Baik)
Sifat-sifat itu adalah:
1. Wujud (ada)
Allah itu Wujud (ada). Tidak mungkin/mustahil Allah itu ‘Adam (tidak ada).
Memang sulit membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Tapi jika kita melihat pesawat terbang, mobil, TV, dan lain-lain, sangat tidak masuk akal jika kita berkata semua itu terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pembuatnya.
Jika benda-benda yang sederhana seperti korek api saja ada pembuatnya, apalagi dunia yang jauh lebih komplek.
Bumi yang sekarang didiami oleh sekitar 8 milyar manusia, keliling lingkarannya sekitar 40 ribu kilometer panjangnya. Matahari, keliling lingkarannya sekitar 4,3 juta kilometer panjangnya. Matahari, dan 8 planetnya yang tergabung dalam Sistem Tata Surya, tergabung dalam galaksi Bima Sakti yang panjangnya sekitar 100 ribu tahun cahaya (kecepatan cahaya=300 ribu kilometer/detik!) bersama sekitar 100 milyar bintang lainnya. Galaksi Bima Sakti, hanyalah 1 galaksi di antara ribuan galaksi lainnya yang tergabung dalam 1 “Cluster”. Cluster ini bersama ribuan Cluster lainnya membentuk 1 Super Cluster. Sementara ribuan Super Cluster ini akhirnya membentuk “Jagad Raya” (Universe) yang bentangannya sejauh 30 Milyar Tahun Cahaya!
Harap diingat, angka 30 Milyar Tahun Cahaya baru angka estimasi saat ini, karena jarak pandang teleskop tercanggih baru sampai 15 Milyar Tahun Cahaya.
Bayangkan, jika jarak bumi dengan matahari yang 150 juta kilometer ditempuh oleh cahaya hanya dalam 8 menit, maka seluruh Jagad Raya baru bisa ditempuh selama 30 milyar tahun cahaya. Itulah kebesaran ciptaan Allah! Jika kita yakin akan kebesaran ciptaan Tuhan, maka hendaknya kita lebih meyakini lagi kebesaran penciptanya.
Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bintang, matahari, bulan, dan lain-lain:
“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” [Al Furqoon:61]
Karena kita tidak bisa melihat Tuhan, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Tuhan ada. Meski kita tidak bisa melihatNya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya.” Pernyataan bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena panca indera manusia tidak bisa mengetahui keberadaan Tuhan adalah pernyataan yang keliru.
Berapa banyak benda yang tidak bisa dilihat atau didengar manusia, tapi pada kenyataannya benda itu ada?
Betapa banyak benda langit yang jaraknya milyaran, bahkan mungkin trilyunan cahaya yang tidak pernah dilihat manusia, tapi benda itu sebenarnya ada?
Berapa banyak zakat berukuran molekul, bahkan nukleus (rambut dibelah 1 juta), sehingga manusia tak bisa melihatnya, ternyata benda itu ada? (manusia baru bisa melihatnya jika meletakkan benda tersebut di bawah mikroskop yang amat kuat).
Berapa banyak gelombang (entah radio, elektromagnetik. Listrik, dan lain-lain) yang tak bisa dilihat, tapi ternyata hal itu ada?
Benda itu ada, tapi panca indera manusia lah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaannya.
Kemampuan manusia untuk melihat warna hanya terbatas pada beberapa frekuensi tertentu, demikian pula suara. Terkadang sinar yang amat menyilaukan bukan saja tak dapat dilihat, tapi dapat membutakan manusia. Demikian pula suara dengan frekuensi dan kekerasan tertentu selain ada yang tak bisa didengar juga ada yang mampu menghancurkan pendengaran manusia. Jika untuk mengetahui keberadaan ciptaan Allah saja manusia sudah mengalami kesulitan, apalagi untuk mengetahui keberadaan Sang Maha Pencipta!
Ada jutaan orang yang mengatur lalu lintas jalan raya, laut, dan udara. Mercusuar sebagai penunjuk arah di bangun, demikian pula lampu merah dan radar. Menara kontrol bandara mengatur lalu lintas laut dan udara. Sementara tiap kendaraan ada pengemudinya. Bahkan untuk pesawat terbang ada Pilot dan Co-pilot, sementara di kapal laut ada Kapten, juru mudi, dan lain-lain. Toh, ribuan kecelakaan selalu terjadi di darat, laut, dan udara. Meski ada yang mengatur, tetap terjadi kecelakaan lalu lintas.
Sebaliknya, bumi, matahari, bulan, bintang, dan lain-lain selalu beredar selama milyaran tahun lebih (umur bumi diperkirakan sekitar 4,5 milyar tahun) tanpa ada tabrakan. Selama milyaran tahun, tidak pernah bumi menabrak bulan, atau bulan menabrak matahari. Padahal tidak ada rambu-rambu jalan, polisi, atau pun pilot yang mengendarai. Tanpa ada Tuhan yang Maha Mengatur, tidak mungkin semua itu terjadi. Semua itu terjadi karena adanya Tuhan yang Maha Pengatur. Allah yang telah menetapkan tempat-tempat perjalanan (orbit) bagi masing-masing benda tersebut. Jika kita sungguh-sungguh memikirkan hal ini, tentu kita yakin bahwa Tuhan itu ada.
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” [Yunus:5]
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” [Yaa Siin:40]
Sungguhnya orang-orang yang memikirkan alam, insya Allah akan yakin bahwa Tuhan itu ada:
“Allah lah Yang meninggi-kan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia berse-mayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” [Ar Ra’d:2]
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [Ali Imron:191]
Artikel lengkap tentang Bukti Tuhan itu Ada dapat anda lihat di www.media-islam.or.id
Hikmah: Kunci Iman menyembah Allah. Kalau orang tidak mempercayai Allah itu ada, maka dia adalah Atheist. Tidak mungkin bisa ikhlas dan khusyu’ menyembah Allah.
2. Qidam (Terdahulu)
Allah itu Qidam (Terdahulu). Mustahil Allah itu Huduts (Baru).
“Dialah Yang Awal …” [Al Hadiid:3]
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Allah yang menciptakan langit, bumi, serta seluruh isinya termasuk tumbuhan, binatang, dan juga manusia.
“Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu..?” [Al Mu'min:62]
Oleh karena itu, Allah adalah awal. Dia sudah ada jauh sebelum langit, bumi, tumbuhan, binatang, dan manusia lainnya ada. Tidak mungkin Tuhan itu baru ada atau lahir setelah makhluk lainnya ada. Sebagai contoh, tidak mungkin lukisan Monalisa ada lebih dulu sebelum pelukis yang melukisnya, yaitu Leonardo Da Vinci. Demikian juga Tuhan. Tidak mungkin makhluk ciptaannya muncul lebih dulu, kemudian baru muncul Tuhan.
3. Baqo’ (Kekal)
Allah itu Baqo’ (Kekal). Tidak mungkin Allah itu Fana’ (Binasa).
Allah sebagai Tuhan Semesta Alam itu hidup terus menerus. Kekal abadi mengurus makhluk ciptaannya. Jika Tuhan itu Fana’ atau mati, bagaimana nasib ciptaannya seperti manusia?
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati…” [Al Furqon 58]
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [Ar Rahman:26-27]
Karena itu jika ada “Tuhan” yang wafat atau mati, maka itu bukan Tuhan. Tapi manusia biasa. Hikmah: Jika kita mencintai Allah yang Maha Kekal dan selalu ada dan menjadikanNya teman serta pelindung, niscaya kita akan tetap sabar meski kehilangan segala yang kita cintai.
4. Mukhollafatuhu lil hawaadits (Tidak Serupa dengan MakhlukNya)
Allah itu berbeda dengan makhlukNya (Mukhollafatuhu lil hawaadits). Mustahil Allah itu sama dengan makhlukNya (Mumaatsalaatuhu lil Hawaadits). Kalau sama dengan makhluknya misalnya sama lemahnya dengan manusia, niscaya “Tuhan” itu bisa mati dikeroyok atau disalib oleh manusia. Mustahil jika “Tuhan” itu dilahirkan, menyusui, buang air, tidur, dan sebagainya. Itu adalah manusia. Bukan Tuhan!
Allah itu Maha Besar. Maha Kuasa. Maha Perkasa. Maha Hebat. Dan segala Maha-maha yang bagus lainnya.
“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…” [Asy Syu’aro:11]
Misalnya sifat “Hidup” Allah beda dengan sifat “Hidup” makhluknya. Allah itu dari dulu, sekarang, kiamat, dan hingga hari akhirat nanti tetap hidup. Sebaliknya makhluknya seperti manusia dulu mati (tidak ada). Setelah itu baru dilahirkan dan hidup. Namun itu pun hanya sebentar. Paling lama 1000 tahun. Setelah itu mati lagi dan dikubur. Jadi meski sekilas sama, namun sifat “Hidup” Allah beda dengan makhlukNya.
Demikian juga dengan sifat lain seperti “Kuat.” Allah selalu kuat dan kekuatannya bisa menghancurkan alam semesta. Sementara manusia itu dulu ketika bayi lemah dan ketika mati juga tidak berdaya. Saat hidup pun jika kena tsunami atau gempa apalagi kiamat, dia akan mati.
5. Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya)
Allah itu Qiyamuhi Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya). Mustahil Allah itu Iftiqoorullah (Berhajat/butuh) pada makhluknya.
“.. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Al ‘Ankabuut:6]
“Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” [Al Israa’ 111]
Di dunia ini, semua orang saling membutuhkan. Bahkan seorang raja pun butuh penjahit pakaian agar dia tidak telanjang. Dia butuh pembuat bangunan agar istananya bisa berdiri. Dia butuh tukang masak agar bisa makan. Dia butuh pengawal agar tidak mati dibunuh orang. Dia butuh dokter jika dia sakit. Saat bayi, dia butuh susu ibunya, dan sebagainya.
Sebaliknya Allah berdiri sendiri. Dia tidak butuh makhluknya. Seandainya seluruh makhluk memujiNya, niscaya tidak bertambah sedikitpun kemuliaanNya. Sebaliknya jika seluruh makhluk menghinaNya, tidaklah berkurang sedikitpun kemuliaanNya.
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” [ Faathir 15]
Hikmah: Tidak sombong dan memohon hanya kepada Allah. Karena Manusia ketika lahir butuh bantuan. Demikian pula ketika mati meski dia kaya dan berkuasa
6. Wahdaaniyah (Esa)
Allah itu Wahdaaniyah (Esa/Satu). Mustahil Allah itu banyak (Ta’addud) seperti 2, 3, 4, dan seterusnya.
Allah itu Maha Kuasa. Jika ada sekutuNya, maka Dia bukan yang Maha Kuasa lagi. Jika satu Tuhan Maha Pencipta, maka Tuhan yang lain kekuasaannya terbatas karena bukan Maha Pencipta.
”Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu” [Al Mu’minuun:91]
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” [Al Ikhlas:1-4]
Oleh karena itu, ummat Islam harus menyembah Tuhan Yang Maha Esa/Satu, yaitu Allah. Tidak pantas bagi ummat Islam untuk menyembah Tuhan selain Allah seperti Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Roh Kudus. Tidak pantas juga bagi ummat Islam untuk menyembah 3 Tuhan di mana satu adalah yang Menciptakan, satu lagi yang merusak, dan terakhir yang memelihara.
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An Nisaa’:48]
Hikmah: Tidak mempersekutukan Allah
7. Qudrat (Kuasa)
Sifat Tuhan yang lain adalah Qudrat atau Maha Kuasa. Tidak mungkin Tuhan itu ‘Ajaz atau lemah. Jika lemah sehingga misalnya bisa ditangkap, disiksa, dan disalib, maka itu bukan Tuhan yang sesungguhnya. Hanya manusia biasa.
”… Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” [Al Baqarah:20]
”Jika Dia kehendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian tidak sulit bagi Allah.” [Fathiir:16-17]
Hikmah: menyadari kekuasaan Allah dan tawakal kepada Allah.
8. Iroodah (Berkehendak)
Sifat Allah adalah Iroodah (Maha Berkehendak). Allah melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Mustahil Allah itu Karoohah (Melakukan sesuatu dengan terpaksa).
“…Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” [Huud:107]
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak untuk menciptakan sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” Lalu jadilah ia.” [Al Baqarah:117]
“…Katakanlah : “Maka siapakah yang dapat menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al Fath:11]
Hikmah: tawakal kepada Allah dan selalu berdoa kepada Allah
9. Ilmu (Mengetahui)
Allah itu berilmu (Maha Mengetahui). Mustahil Allah itu Jahal (Bodoh). Allah Maha Mengetahui karena Dialah yang menciptakan segala sesuatu.
Sedangkan manusia tahu bukan karena menciptakan, tapi sekedar melihat, mendengar, dan mengamati. Itu pun terbatas pengetahuannya sehingga manusia tetap saja tidak mampu menciptakan meski hanya seekor lalat.
“Dan Allah memiliki kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” [Al An’aam:59]
“Katakanlah: Sekiranya lautan jadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis ditulis kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu.” [Al Kahfi:109]
“Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’:176]
10. Hayaat (Hidup)
Allah itu Hayaat (Maha Hidup). Tidak mungkin Tuhan itu Maut (Mati). Jika Tuhan mati, maka bubarlah dunia ini. Tidak patut lagi dia disembah. Maha Suci Allah dari kematian/wafat.
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup kekal Yang tidak mati…” [Al Furqaan:58]
11. Sama’ (Mendengar)
Allah bersifat Sama’ (Maha Mendengar). Mustahil Tuhan bersifat Shomam (Tuli).
Allah Maha Mendengar. Mustahil Allah tuli.
“… Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah:256]
12. Bashor (Melihat)
Allah bersifat Melihat. Mustahil Allah itu ‘Amaa (Buta).
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al Hujuraat:18]
Hikmah: takut berbuat dosa karena Allah selalu melihat kita
13. Kalam
Allah bersifat Kalam (Berkata-kata). Mustahil Allah itu Bakam (Bisu)
“…Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” [An Nisaa’ 164]
Jika kita meyakini ini, tentu kita tidak akan menyembah berhala yang tidak bisa bicara sebagai Tuhan [Al Anbiyaa’ 63-65]
Demikianlah sifat-sifat Allah yang penting yang wajib kita ketahui agar kita tahu mana Tuhan yang asli dan mana yang bukan. Jika sifat-sifat Tuhan itu kita pahami dan yakini, niscaya kita tidak akan menyembah 3 Tuhan atau Tuhan yang Mati atau Tuhan yang Lemah, dan sebagainya. Kita hanya mau menyembah Allah yang memiliki sifat-sifat di atas dengan sempurna.
Ada pun sifat-sifat ke 14-20 sesungguhnya merupakan bentuk Subyektif/Pelaku dari Sifat nomor 7-13 yaitu:
14. Qoodirun: Yang Memiliki sifat Qudrat
15. Muriidun: Yang Memiliki Sifat Iroodah
16. ‘Aalimun: Yang Mempunyai Ilmu
17. Hayyun: yang Hidup
18. Samii’un: Yang Mendengar
19. Bashiirun: Yang Melihat
20. Mutakallimun: Yang Berkata-kata
Sifat jaiz
Sifat jaiz bagi Allah hanya satu yaitu Allah SWT bebas berbuat atau tidak berbuat yang menjadi wewenang sepenuhnya bagi Allah SWT untuk menentukannya sendiri. Bagi Allah menjadikan ala mini tidak sepenuhnya wajib, tetapi semata-mata boleh saja hukumnya, sebab jika Allah menjadikannya wajib, berarti semua mahkluk menjadi suatu hal yang wajib adanya. Padahalah yang wajib adalah Allah semata. Sebaliknya, Allah SWT boleh saja tidak menjadikan alam dan seluruh isinya ini. Dan tidak mustahil jika Allah SWT tidak menjadikan ala mini.
Sifat yang mustahil bagi ALLah Taala.
Dan apabila telah pasti dengan segala dalil akal dan kewajaran, maka seperti mana sifat yang wajib bukanlah akal yang menentukan ALLah Taala tidak bersifat dengan lawan sifat pasti (wajib) itu. Kerana telah pasti (wajib) ALLah Taala bersifat dengan segala sifat Kamalat yakni Kesempurnaan, maka pastilah juga Zat ALLah Taala itu tidak bersifat dengan lawan sifat yang pasti itu.
Adapun sifat yang mustahil Zat ALLah Taala bersifat dengannya iaitu:
1. Adam yakni tiada, lawan Ujud yakni Ada.
2. Huduth yakni baharu, lawan Qidam yakni Sedia.
3. Fana’ yakni binasa, lawan Baqa’ yakni Kekal.
4. Mumathalatuhu lilhawadith yakni bersamaan dengan segala yang baharu, lawan Mukhalafatuhu lihawadith yakni Bersalahan dengan sesuatu yang Baharu.
5. Qiamuhu bighairih yakni berdiri dengan yang lain, lawan Qiamuhu Binafsih yakni Berdiri dengan sendirinya.
6. Ta’addud yakni berbilang, lawan Wahdaniah yakni Esa.
7. Ajz yakni lemah, lawan Qudrah yakni Berkuasa.
8. Karahah yakni benci pada menentukan, lawan Iradah yakni Berkehendak pada Menentukan.
9. Jahl yakni jahil, lawan Ilmu yakni Mengetahui.
10. Maut yakni mati, lawan Hayah yakni Hidup.
11. Samam yakni pekak, lawan Sama’ yakni Mendengar.
12. Umi yakni buta, lawan Basar yakni Melihat.
13. Bukm yakni bisu, lawan Kalam yakni Berkata-kata.
14. Kaunuhu ajizan yakni berkeadaan yang lemah, lawan Kaunuhu Qaadiran yakni berkeadaan Yang Berkuasa.
15. Kaunuhu karihan yakni berkeadaan benci pada menentukan, lawan Kaunuhu Muridan yakni Berkeadaan Kehendak pada Menentukan.
16. Kaunuhu jahilan yakni berkeadaan yang bodoh, lawan Kaunuhu Aliman yakni Berkeadaan Yang Mengetahui.
17. Kaunuhu mayyitan yakni berkeadaan yang mati, lawan Kaunuhu Hayyan yakni Berkeadaan Yang Hidup.
18. Kaunuhu asam yakni berkeadaan yang pekak, lawan Kaunuhu Sami’an yakni Berkeadaan Yang Mendengar.
19. Kaunuhu a’ma yakni berkeadaan yang buta, lawan Kaunuhu Basiran yakni Berkeadaan Yang Melihat.
20. Kaunuhu abkam yakni berkeadaan yang bisu, lawan Kaunuhu Mutakalliman yakni Berkeadaan Yang Berkata-kata.
Banyaknya ummat Islam di Indonesia yang menjadi murtad itu karena mereka nyaris tidak mempelajari dan meyakini ilmu Tauhid sehingga akhirnya tidak tahu Sifat-sifat Tuhan yang asli/sejati. Akhirnya mereka menyembah Tuhan yang sifatnya berlawanan dari sifat Allah seperti menyembah 3 Tuhan dan sebagainya.
Pada Ilmu Tauhid ini diasumsikan orang belum memiliki iman yang kuat kepada Allah, apalagi Al Qur’an. Oleh karena itu dalilnya pun yang pertama dipakai adalah dalil Akal/Logika (Aqli). Setelah beriman, baru dalil Naqli (Al Qur’an) dikemukakan. Pada ilmu tentang Iman, maka Akal harus digunakan. Ada pun jika sudah beriman dan mengenai fiqih misalnya kenapa kalau kentut bukan (maaf) pantat yang dibasuh, tapi harus mencuci anggota badan lainnya, maka dalil Naqli (Al Qur’an dan Hadits) yang harus dipakai. Pada Tauhid, Aqli harus dipakai. Pada Fiqih, Naqli yang dipakai.
Karena itulah Allah dalam Al Qur’an juga kerap menggunakan dalil Akal/Logika kepada kaum yang kafir atau imannya masih lemah. Hanya orang yang berakal saja yang dapat pelajaran.
“…Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran 7]
Allah juga kerap memakai ilmu pengetahuan seperti penciptaan langit dan bumi sebagai tanda bagi orang yang berakal:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [Ali ‘Imran 190]
“dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” [Al Jaatsiyah 5]
Lihat ayat Al Waaqi’ah ayat 58 hingga 72. Allah menggunakan logika kepada manusia (termasuk kita yang membaca surat tersebut) agar menggunakan akal kita:
“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” [Al Waaqi’ah 58-59]
“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?” [Al Waaqi’ah 72]
Allah menggunakan logika dan perumpamaan-perumpamaan (Tamtsil/Ibarat) agar orang yang berakal/berilmu meski dia belum beriman jadi berfikir dan beriman kepada Allah.
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” [Al ‘Ankabuut 43]
Baca juga ayat Al Hasyr 21, Al Kahfi 45, Al Kahfi 54, Ar Ruum 58, Az Zumar 27, dsb. Ada 58 ayat lebih tentang perumpamaan yang dikenal sebagai logika analogi.
Contoh perumpamaan itu adalah ayat Al A’raaf 176, Al ‘Ankabuut 41, Al Baqarah 17, Al Baqarah 171, Al Baqarah 261, Al Baqarah 264, dan sebagainya.
Keliru sekali jika ada orang yang menolak sama sekali penggunaan dalil Akal atau Logika apalagi jika itu ditujukan pada orang yang belum atau masih tipis imannya. Karena itu, banyak orang-orang yang dulunya kafir, akhirnya masuk Islam. Bayangkan, bagaimana mungkin orang mau mempercayai Al Qur’an (firman Allah) jika kepada Allah saja dia belum beriman? Karena itulah pendekatan akal digunakan.
Berbagai firman Allah seperti Afalaa Ta’qiluun, La’allakum Tatafakkaruun, Ulil Albaab merupakan perintah Allah pada manusia untuk menggunakan akal atau fikiran termasuk dalam beragama.
Sifat Allah itu banyak/tidak terhitung. Namun seandainya ditulis 1 juta, 1 milyar, atau 1 trilyun, tentu kita tidak akan sanggup mempelajarinya bukan? Seorang ulama menulis 20 sifat yang wajib (artinya harus ada) pada Tuhan/Allah. Jika tidak memiliki sifat itu, berarti dia bukan Tuhan atau Allah. Minimal kita bisa memahami dan meyakini 13 dari sifat tersebut agar tidak tersesat. Setelah itu kita bisa mempelajari sifat Allah lainnya dalam Ama’ul Husna (99 Nama Allah yang Baik)
Sifat-sifat itu adalah:
1. Wujud (ada)
Allah itu Wujud (ada). Tidak mungkin/mustahil Allah itu ‘Adam (tidak ada).
Memang sulit membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Tapi jika kita melihat pesawat terbang, mobil, TV, dan lain-lain, sangat tidak masuk akal jika kita berkata semua itu terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pembuatnya.
Jika benda-benda yang sederhana seperti korek api saja ada pembuatnya, apalagi dunia yang jauh lebih komplek.
Bumi yang sekarang didiami oleh sekitar 8 milyar manusia, keliling lingkarannya sekitar 40 ribu kilometer panjangnya. Matahari, keliling lingkarannya sekitar 4,3 juta kilometer panjangnya. Matahari, dan 8 planetnya yang tergabung dalam Sistem Tata Surya, tergabung dalam galaksi Bima Sakti yang panjangnya sekitar 100 ribu tahun cahaya (kecepatan cahaya=300 ribu kilometer/detik!) bersama sekitar 100 milyar bintang lainnya. Galaksi Bima Sakti, hanyalah 1 galaksi di antara ribuan galaksi lainnya yang tergabung dalam 1 “Cluster”. Cluster ini bersama ribuan Cluster lainnya membentuk 1 Super Cluster. Sementara ribuan Super Cluster ini akhirnya membentuk “Jagad Raya” (Universe) yang bentangannya sejauh 30 Milyar Tahun Cahaya!
Harap diingat, angka 30 Milyar Tahun Cahaya baru angka estimasi saat ini, karena jarak pandang teleskop tercanggih baru sampai 15 Milyar Tahun Cahaya.
Bayangkan, jika jarak bumi dengan matahari yang 150 juta kilometer ditempuh oleh cahaya hanya dalam 8 menit, maka seluruh Jagad Raya baru bisa ditempuh selama 30 milyar tahun cahaya. Itulah kebesaran ciptaan Allah! Jika kita yakin akan kebesaran ciptaan Tuhan, maka hendaknya kita lebih meyakini lagi kebesaran penciptanya.
Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bintang, matahari, bulan, dan lain-lain:
“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” [Al Furqoon:61]
Karena kita tidak bisa melihat Tuhan, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Tuhan ada. Meski kita tidak bisa melihatNya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya.” Pernyataan bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena panca indera manusia tidak bisa mengetahui keberadaan Tuhan adalah pernyataan yang keliru.
Berapa banyak benda yang tidak bisa dilihat atau didengar manusia, tapi pada kenyataannya benda itu ada?
Betapa banyak benda langit yang jaraknya milyaran, bahkan mungkin trilyunan cahaya yang tidak pernah dilihat manusia, tapi benda itu sebenarnya ada?
Berapa banyak zakat berukuran molekul, bahkan nukleus (rambut dibelah 1 juta), sehingga manusia tak bisa melihatnya, ternyata benda itu ada? (manusia baru bisa melihatnya jika meletakkan benda tersebut di bawah mikroskop yang amat kuat).
Berapa banyak gelombang (entah radio, elektromagnetik. Listrik, dan lain-lain) yang tak bisa dilihat, tapi ternyata hal itu ada?
Benda itu ada, tapi panca indera manusia lah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaannya.
Kemampuan manusia untuk melihat warna hanya terbatas pada beberapa frekuensi tertentu, demikian pula suara. Terkadang sinar yang amat menyilaukan bukan saja tak dapat dilihat, tapi dapat membutakan manusia. Demikian pula suara dengan frekuensi dan kekerasan tertentu selain ada yang tak bisa didengar juga ada yang mampu menghancurkan pendengaran manusia. Jika untuk mengetahui keberadaan ciptaan Allah saja manusia sudah mengalami kesulitan, apalagi untuk mengetahui keberadaan Sang Maha Pencipta!
Ada jutaan orang yang mengatur lalu lintas jalan raya, laut, dan udara. Mercusuar sebagai penunjuk arah di bangun, demikian pula lampu merah dan radar. Menara kontrol bandara mengatur lalu lintas laut dan udara. Sementara tiap kendaraan ada pengemudinya. Bahkan untuk pesawat terbang ada Pilot dan Co-pilot, sementara di kapal laut ada Kapten, juru mudi, dan lain-lain. Toh, ribuan kecelakaan selalu terjadi di darat, laut, dan udara. Meski ada yang mengatur, tetap terjadi kecelakaan lalu lintas.
Sebaliknya, bumi, matahari, bulan, bintang, dan lain-lain selalu beredar selama milyaran tahun lebih (umur bumi diperkirakan sekitar 4,5 milyar tahun) tanpa ada tabrakan. Selama milyaran tahun, tidak pernah bumi menabrak bulan, atau bulan menabrak matahari. Padahal tidak ada rambu-rambu jalan, polisi, atau pun pilot yang mengendarai. Tanpa ada Tuhan yang Maha Mengatur, tidak mungkin semua itu terjadi. Semua itu terjadi karena adanya Tuhan yang Maha Pengatur. Allah yang telah menetapkan tempat-tempat perjalanan (orbit) bagi masing-masing benda tersebut. Jika kita sungguh-sungguh memikirkan hal ini, tentu kita yakin bahwa Tuhan itu ada.
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” [Yunus:5]
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” [Yaa Siin:40]
Sungguhnya orang-orang yang memikirkan alam, insya Allah akan yakin bahwa Tuhan itu ada:
“Allah lah Yang meninggi-kan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia berse-mayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” [Ar Ra’d:2]
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [Ali Imron:191]
Artikel lengkap tentang Bukti Tuhan itu Ada dapat anda lihat di www.media-islam.or.id
Hikmah: Kunci Iman menyembah Allah. Kalau orang tidak mempercayai Allah itu ada, maka dia adalah Atheist. Tidak mungkin bisa ikhlas dan khusyu’ menyembah Allah.
2. Qidam (Terdahulu)
Allah itu Qidam (Terdahulu). Mustahil Allah itu Huduts (Baru).
“Dialah Yang Awal …” [Al Hadiid:3]
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Allah yang menciptakan langit, bumi, serta seluruh isinya termasuk tumbuhan, binatang, dan juga manusia.
“Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu..?” [Al Mu'min:62]
Oleh karena itu, Allah adalah awal. Dia sudah ada jauh sebelum langit, bumi, tumbuhan, binatang, dan manusia lainnya ada. Tidak mungkin Tuhan itu baru ada atau lahir setelah makhluk lainnya ada. Sebagai contoh, tidak mungkin lukisan Monalisa ada lebih dulu sebelum pelukis yang melukisnya, yaitu Leonardo Da Vinci. Demikian juga Tuhan. Tidak mungkin makhluk ciptaannya muncul lebih dulu, kemudian baru muncul Tuhan.
3. Baqo’ (Kekal)
Allah itu Baqo’ (Kekal). Tidak mungkin Allah itu Fana’ (Binasa).
Allah sebagai Tuhan Semesta Alam itu hidup terus menerus. Kekal abadi mengurus makhluk ciptaannya. Jika Tuhan itu Fana’ atau mati, bagaimana nasib ciptaannya seperti manusia?
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati…” [Al Furqon 58]
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [Ar Rahman:26-27]
Karena itu jika ada “Tuhan” yang wafat atau mati, maka itu bukan Tuhan. Tapi manusia biasa. Hikmah: Jika kita mencintai Allah yang Maha Kekal dan selalu ada dan menjadikanNya teman serta pelindung, niscaya kita akan tetap sabar meski kehilangan segala yang kita cintai.
4. Mukhollafatuhu lil hawaadits (Tidak Serupa dengan MakhlukNya)
Allah itu berbeda dengan makhlukNya (Mukhollafatuhu lil hawaadits). Mustahil Allah itu sama dengan makhlukNya (Mumaatsalaatuhu lil Hawaadits). Kalau sama dengan makhluknya misalnya sama lemahnya dengan manusia, niscaya “Tuhan” itu bisa mati dikeroyok atau disalib oleh manusia. Mustahil jika “Tuhan” itu dilahirkan, menyusui, buang air, tidur, dan sebagainya. Itu adalah manusia. Bukan Tuhan!
Allah itu Maha Besar. Maha Kuasa. Maha Perkasa. Maha Hebat. Dan segala Maha-maha yang bagus lainnya.
“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…” [Asy Syu’aro:11]
Misalnya sifat “Hidup” Allah beda dengan sifat “Hidup” makhluknya. Allah itu dari dulu, sekarang, kiamat, dan hingga hari akhirat nanti tetap hidup. Sebaliknya makhluknya seperti manusia dulu mati (tidak ada). Setelah itu baru dilahirkan dan hidup. Namun itu pun hanya sebentar. Paling lama 1000 tahun. Setelah itu mati lagi dan dikubur. Jadi meski sekilas sama, namun sifat “Hidup” Allah beda dengan makhlukNya.
Demikian juga dengan sifat lain seperti “Kuat.” Allah selalu kuat dan kekuatannya bisa menghancurkan alam semesta. Sementara manusia itu dulu ketika bayi lemah dan ketika mati juga tidak berdaya. Saat hidup pun jika kena tsunami atau gempa apalagi kiamat, dia akan mati.
5. Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya)
Allah itu Qiyamuhi Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya). Mustahil Allah itu Iftiqoorullah (Berhajat/butuh) pada makhluknya.
“.. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Al ‘Ankabuut:6]
“Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” [Al Israa’ 111]
Di dunia ini, semua orang saling membutuhkan. Bahkan seorang raja pun butuh penjahit pakaian agar dia tidak telanjang. Dia butuh pembuat bangunan agar istananya bisa berdiri. Dia butuh tukang masak agar bisa makan. Dia butuh pengawal agar tidak mati dibunuh orang. Dia butuh dokter jika dia sakit. Saat bayi, dia butuh susu ibunya, dan sebagainya.
Sebaliknya Allah berdiri sendiri. Dia tidak butuh makhluknya. Seandainya seluruh makhluk memujiNya, niscaya tidak bertambah sedikitpun kemuliaanNya. Sebaliknya jika seluruh makhluk menghinaNya, tidaklah berkurang sedikitpun kemuliaanNya.
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” [ Faathir 15]
Hikmah: Tidak sombong dan memohon hanya kepada Allah. Karena Manusia ketika lahir butuh bantuan. Demikian pula ketika mati meski dia kaya dan berkuasa
6. Wahdaaniyah (Esa)
Allah itu Wahdaaniyah (Esa/Satu). Mustahil Allah itu banyak (Ta’addud) seperti 2, 3, 4, dan seterusnya.
Allah itu Maha Kuasa. Jika ada sekutuNya, maka Dia bukan yang Maha Kuasa lagi. Jika satu Tuhan Maha Pencipta, maka Tuhan yang lain kekuasaannya terbatas karena bukan Maha Pencipta.
”Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu” [Al Mu’minuun:91]
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” [Al Ikhlas:1-4]
Oleh karena itu, ummat Islam harus menyembah Tuhan Yang Maha Esa/Satu, yaitu Allah. Tidak pantas bagi ummat Islam untuk menyembah Tuhan selain Allah seperti Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Roh Kudus. Tidak pantas juga bagi ummat Islam untuk menyembah 3 Tuhan di mana satu adalah yang Menciptakan, satu lagi yang merusak, dan terakhir yang memelihara.
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An Nisaa’:48]
Hikmah: Tidak mempersekutukan Allah
7. Qudrat (Kuasa)
Sifat Tuhan yang lain adalah Qudrat atau Maha Kuasa. Tidak mungkin Tuhan itu ‘Ajaz atau lemah. Jika lemah sehingga misalnya bisa ditangkap, disiksa, dan disalib, maka itu bukan Tuhan yang sesungguhnya. Hanya manusia biasa.
”… Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” [Al Baqarah:20]
”Jika Dia kehendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian tidak sulit bagi Allah.” [Fathiir:16-17]
Hikmah: menyadari kekuasaan Allah dan tawakal kepada Allah.
8. Iroodah (Berkehendak)
Sifat Allah adalah Iroodah (Maha Berkehendak). Allah melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Mustahil Allah itu Karoohah (Melakukan sesuatu dengan terpaksa).
“…Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” [Huud:107]
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak untuk menciptakan sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” Lalu jadilah ia.” [Al Baqarah:117]
“…Katakanlah : “Maka siapakah yang dapat menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al Fath:11]
Hikmah: tawakal kepada Allah dan selalu berdoa kepada Allah
9. Ilmu (Mengetahui)
Allah itu berilmu (Maha Mengetahui). Mustahil Allah itu Jahal (Bodoh). Allah Maha Mengetahui karena Dialah yang menciptakan segala sesuatu.
Sedangkan manusia tahu bukan karena menciptakan, tapi sekedar melihat, mendengar, dan mengamati. Itu pun terbatas pengetahuannya sehingga manusia tetap saja tidak mampu menciptakan meski hanya seekor lalat.
“Dan Allah memiliki kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” [Al An’aam:59]
“Katakanlah: Sekiranya lautan jadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis ditulis kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu.” [Al Kahfi:109]
“Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’:176]
10. Hayaat (Hidup)
Allah itu Hayaat (Maha Hidup). Tidak mungkin Tuhan itu Maut (Mati). Jika Tuhan mati, maka bubarlah dunia ini. Tidak patut lagi dia disembah. Maha Suci Allah dari kematian/wafat.
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup kekal Yang tidak mati…” [Al Furqaan:58]
11. Sama’ (Mendengar)
Allah bersifat Sama’ (Maha Mendengar). Mustahil Tuhan bersifat Shomam (Tuli).
Allah Maha Mendengar. Mustahil Allah tuli.
“… Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah:256]
12. Bashor (Melihat)
Allah bersifat Melihat. Mustahil Allah itu ‘Amaa (Buta).
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al Hujuraat:18]
Hikmah: takut berbuat dosa karena Allah selalu melihat kita
13. Kalam
Allah bersifat Kalam (Berkata-kata). Mustahil Allah itu Bakam (Bisu)
“…Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” [An Nisaa’ 164]
Jika kita meyakini ini, tentu kita tidak akan menyembah berhala yang tidak bisa bicara sebagai Tuhan [Al Anbiyaa’ 63-65]
Demikianlah sifat-sifat Allah yang penting yang wajib kita ketahui agar kita tahu mana Tuhan yang asli dan mana yang bukan. Jika sifat-sifat Tuhan itu kita pahami dan yakini, niscaya kita tidak akan menyembah 3 Tuhan atau Tuhan yang Mati atau Tuhan yang Lemah, dan sebagainya. Kita hanya mau menyembah Allah yang memiliki sifat-sifat di atas dengan sempurna.
Ada pun sifat-sifat ke 14-20 sesungguhnya merupakan bentuk Subyektif/Pelaku dari Sifat nomor 7-13 yaitu:
14. Qoodirun: Yang Memiliki sifat Qudrat
15. Muriidun: Yang Memiliki Sifat Iroodah
16. ‘Aalimun: Yang Mempunyai Ilmu
17. Hayyun: yang Hidup
18. Samii’un: Yang Mendengar
19. Bashiirun: Yang Melihat
20. Mutakallimun: Yang Berkata-kata
Sifat jaiz
Sifat jaiz bagi Allah hanya satu yaitu Allah SWT bebas berbuat atau tidak berbuat yang menjadi wewenang sepenuhnya bagi Allah SWT untuk menentukannya sendiri. Bagi Allah menjadikan ala mini tidak sepenuhnya wajib, tetapi semata-mata boleh saja hukumnya, sebab jika Allah menjadikannya wajib, berarti semua mahkluk menjadi suatu hal yang wajib adanya. Padahalah yang wajib adalah Allah semata. Sebaliknya, Allah SWT boleh saja tidak menjadikan alam dan seluruh isinya ini. Dan tidak mustahil jika Allah SWT tidak menjadikan ala mini.
Sifat yang mustahil bagi ALLah Taala.
Dan apabila telah pasti dengan segala dalil akal dan kewajaran, maka seperti mana sifat yang wajib bukanlah akal yang menentukan ALLah Taala tidak bersifat dengan lawan sifat pasti (wajib) itu. Kerana telah pasti (wajib) ALLah Taala bersifat dengan segala sifat Kamalat yakni Kesempurnaan, maka pastilah juga Zat ALLah Taala itu tidak bersifat dengan lawan sifat yang pasti itu.
Adapun sifat yang mustahil Zat ALLah Taala bersifat dengannya iaitu:
1. Adam yakni tiada, lawan Ujud yakni Ada.
2. Huduth yakni baharu, lawan Qidam yakni Sedia.
3. Fana’ yakni binasa, lawan Baqa’ yakni Kekal.
4. Mumathalatuhu lilhawadith yakni bersamaan dengan segala yang baharu, lawan Mukhalafatuhu lihawadith yakni Bersalahan dengan sesuatu yang Baharu.
5. Qiamuhu bighairih yakni berdiri dengan yang lain, lawan Qiamuhu Binafsih yakni Berdiri dengan sendirinya.
6. Ta’addud yakni berbilang, lawan Wahdaniah yakni Esa.
7. Ajz yakni lemah, lawan Qudrah yakni Berkuasa.
8. Karahah yakni benci pada menentukan, lawan Iradah yakni Berkehendak pada Menentukan.
9. Jahl yakni jahil, lawan Ilmu yakni Mengetahui.
10. Maut yakni mati, lawan Hayah yakni Hidup.
11. Samam yakni pekak, lawan Sama’ yakni Mendengar.
12. Umi yakni buta, lawan Basar yakni Melihat.
13. Bukm yakni bisu, lawan Kalam yakni Berkata-kata.
14. Kaunuhu ajizan yakni berkeadaan yang lemah, lawan Kaunuhu Qaadiran yakni berkeadaan Yang Berkuasa.
15. Kaunuhu karihan yakni berkeadaan benci pada menentukan, lawan Kaunuhu Muridan yakni Berkeadaan Kehendak pada Menentukan.
16. Kaunuhu jahilan yakni berkeadaan yang bodoh, lawan Kaunuhu Aliman yakni Berkeadaan Yang Mengetahui.
17. Kaunuhu mayyitan yakni berkeadaan yang mati, lawan Kaunuhu Hayyan yakni Berkeadaan Yang Hidup.
18. Kaunuhu asam yakni berkeadaan yang pekak, lawan Kaunuhu Sami’an yakni Berkeadaan Yang Mendengar.
19. Kaunuhu a’ma yakni berkeadaan yang buta, lawan Kaunuhu Basiran yakni Berkeadaan Yang Melihat.
20. Kaunuhu abkam yakni berkeadaan yang bisu, lawan Kaunuhu Mutakalliman yakni Berkeadaan Yang Berkata-kata.
AQSAM
A. PENGERTIAN AQSAM
Aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al yamin, yakni sumpah oleh karena qasam banyak terjadi dalam pembicaraan, dia diringkaskan yaitu dengan membuang fiil qasam dan cukup dengan ba saja. Kemudian ba diganti dengan wawu pada isim-isim dhahir, seperti :
( اليل : 1 )
” Demi malam apabila dia menutupi siang”
Namun ada juga qasam dengan ”ta” ini jarang digunakan seperti :
• ..........( الانبياء : 57)
”Demi Allah sungguh aku akan membuat suatu tipu daya terhadap berhala-berhalamu.......”
Qasam dan yamin adalah dua kata sinonim, yang mempunyai makna yang sama. Qasam di definisikan sebagai ”mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu dengan ”suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu”. Bersumpah juga dinamakan dengan yamin (tangan kanan), karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang tangan kanan sahabatnya.
B. FAEDAH QASAM DALAM AL-QUR’AN
Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuanya, lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebut adrubul khabar as-salasah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita : ibtida’i, talagi dan ingkari.
Mukhatab seorang berhati kosong, sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan (hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid). Penggunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya, maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya. Perkataan demikian dinamakan talabi.
Dan terkadang ia ingkar atau menolak isi pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai kadar keingkaraanya, kuat atau lemah. Pembicaraan demikian dinamakan ingkari.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyur untuk memantabkan dan memperkuat kebenaran sesuatu didalam jiwa Qur’an al karim diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusui. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah fahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
C. MUQSAM BIH DALAM AL-QUR’AN
Allah bersumpah dengan zat-Nya yang kudus dan mempunyai sifat-sifat khusus, atau dengan ayat-ayat-Nya yang memantabkan eksistensi dan sifat-sifat-Nya. Dan sumpah-Nya dengan sebagian makhluk menunjukkan bahwa makhluk itu termasuk salah satu ayat-ayat-Nya yang besar.
Allah telah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri dalam Qur’an pada tujuh tempat :
1. ”Orang-orang kafir menyangka bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah : tidak demikian , demi Tuhanku, benar-benar kamu akan di bangkitkan” (at-taghabun : 7).
2. ”Dan orang-orang kafir berkata : Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami, Katakanlah : pasti datang demi Tuhanku, sungguh kiamat itu pasti akan datang kepadamu”. (Saba’ : 3)
3. ”Dan mereka menanyakan kepadamu : Benarkah (azab yang dijanjikan) itu ? Katakanlah : Ya demi Tuhanku sesungguhnya azab itu benar”. (Yunus : 53)
Dalam ketiga ayat ini Allah memerintahkan Nabi agar bersumpah dengan-Nya.
4. ”Demi Tuhanku, sungguh kami akan membangkitkan mereka bersama syaitan”. (Maryam : 68)
5. ”Maka demi Tuhanmu, kami akan menanyai mereka semua!”. (al-Hijr : 65)
6. ”Maka demi Tuhanmu mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan”. (an-Nisa’ : 65)
7. ”Maka aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki timur dan barat”. (al-Ma’arjj : 40)
Sumpah dengan makhlukNya inilah yang paling banyak dalam al-Qur’an seperti :
” Demi matahari dan cahayanya dipagi hari, dan bulan apabila mengisinya......( asy-syamsi 1-7)
Allah dapat saja bersumpah dengan apa yang Dia kehenaki, akan tetapi sumpah manusia dengan selain Allah merupakan salah satu bentuk kemusyrikan.
Rosulullah bersabda :
مَنْ خَلَفَ ِبعَيمِ اللهِ َفقَدْ كَفَرَ اعَوْ اءَ شَرَك ( رواه الترمنى )
”Barang siapa bersumpah dengan selain (nama) Allah, Maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah)
D. MACAM-MACAM QASAM
Aqsam atau qasam itu ada kalanya zahir (jelas) dan ada kalanya mudmar (tidak jelas).
1) Zahir ialah sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il qasam dan mugsamgih. Dan di antaranya ada yang dihilangkan fi’il aqsamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jarr berupa ”ba” , ”wawu” dan ”ta”.
2) Mudmar yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsambih, tetapi ia ditunjukkan oleh ”lam tauhid) yang masuk kedalam jawab aqsam seperti firman Allah :
……..
”Kamu sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu” (al-Imran : 186). Maksudnya demi Allah kamu akan diuji.
Aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al yamin, yakni sumpah oleh karena qasam banyak terjadi dalam pembicaraan, dia diringkaskan yaitu dengan membuang fiil qasam dan cukup dengan ba saja. Kemudian ba diganti dengan wawu pada isim-isim dhahir, seperti :
( اليل : 1 )
” Demi malam apabila dia menutupi siang”
Namun ada juga qasam dengan ”ta” ini jarang digunakan seperti :
• ..........( الانبياء : 57)
”Demi Allah sungguh aku akan membuat suatu tipu daya terhadap berhala-berhalamu.......”
Qasam dan yamin adalah dua kata sinonim, yang mempunyai makna yang sama. Qasam di definisikan sebagai ”mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu dengan ”suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu”. Bersumpah juga dinamakan dengan yamin (tangan kanan), karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang tangan kanan sahabatnya.
B. FAEDAH QASAM DALAM AL-QUR’AN
Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuanya, lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebut adrubul khabar as-salasah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita : ibtida’i, talagi dan ingkari.
Mukhatab seorang berhati kosong, sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan (hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid). Penggunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya, maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya. Perkataan demikian dinamakan talabi.
Dan terkadang ia ingkar atau menolak isi pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai kadar keingkaraanya, kuat atau lemah. Pembicaraan demikian dinamakan ingkari.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyur untuk memantabkan dan memperkuat kebenaran sesuatu didalam jiwa Qur’an al karim diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusui. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah fahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
C. MUQSAM BIH DALAM AL-QUR’AN
Allah bersumpah dengan zat-Nya yang kudus dan mempunyai sifat-sifat khusus, atau dengan ayat-ayat-Nya yang memantabkan eksistensi dan sifat-sifat-Nya. Dan sumpah-Nya dengan sebagian makhluk menunjukkan bahwa makhluk itu termasuk salah satu ayat-ayat-Nya yang besar.
Allah telah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri dalam Qur’an pada tujuh tempat :
1. ”Orang-orang kafir menyangka bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah : tidak demikian , demi Tuhanku, benar-benar kamu akan di bangkitkan” (at-taghabun : 7).
2. ”Dan orang-orang kafir berkata : Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami, Katakanlah : pasti datang demi Tuhanku, sungguh kiamat itu pasti akan datang kepadamu”. (Saba’ : 3)
3. ”Dan mereka menanyakan kepadamu : Benarkah (azab yang dijanjikan) itu ? Katakanlah : Ya demi Tuhanku sesungguhnya azab itu benar”. (Yunus : 53)
Dalam ketiga ayat ini Allah memerintahkan Nabi agar bersumpah dengan-Nya.
4. ”Demi Tuhanku, sungguh kami akan membangkitkan mereka bersama syaitan”. (Maryam : 68)
5. ”Maka demi Tuhanmu, kami akan menanyai mereka semua!”. (al-Hijr : 65)
6. ”Maka demi Tuhanmu mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan”. (an-Nisa’ : 65)
7. ”Maka aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki timur dan barat”. (al-Ma’arjj : 40)
Sumpah dengan makhlukNya inilah yang paling banyak dalam al-Qur’an seperti :
” Demi matahari dan cahayanya dipagi hari, dan bulan apabila mengisinya......( asy-syamsi 1-7)
Allah dapat saja bersumpah dengan apa yang Dia kehenaki, akan tetapi sumpah manusia dengan selain Allah merupakan salah satu bentuk kemusyrikan.
Rosulullah bersabda :
مَنْ خَلَفَ ِبعَيمِ اللهِ َفقَدْ كَفَرَ اعَوْ اءَ شَرَك ( رواه الترمنى )
”Barang siapa bersumpah dengan selain (nama) Allah, Maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah)
D. MACAM-MACAM QASAM
Aqsam atau qasam itu ada kalanya zahir (jelas) dan ada kalanya mudmar (tidak jelas).
1) Zahir ialah sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il qasam dan mugsamgih. Dan di antaranya ada yang dihilangkan fi’il aqsamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jarr berupa ”ba” , ”wawu” dan ”ta”.
2) Mudmar yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsambih, tetapi ia ditunjukkan oleh ”lam tauhid) yang masuk kedalam jawab aqsam seperti firman Allah :
……..
”Kamu sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu” (al-Imran : 186). Maksudnya demi Allah kamu akan diuji.
Subscribe to:
Posts (Atom)